Mohon tunggu...
Endah Kurniati
Endah Kurniati Mohon Tunggu... Penulis - Pendidik, Penulis

Penulis buku Non Fiksi yang sedang belajar jadi Novelis di platform digital. Menulis sebagai Katarsis, aktif sebagai Duta Kesehatan Mental DANDIAH CARE

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Transisi Demokrasi dan Pembatasan Sosial Media

23 Mei 2019   10:36 Diperbarui: 23 Mei 2019   10:55 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo credit : www.tatkala.co

Tahun 2013 kita melihat apa yang terjadi di Mesir, konflik yang berujung pada tewasnya banyak pihak baik itu dari pendukung Ikhwanul Muslimin, militer maupun kalangan oposisi. Lalu Indonesia sebagai pengamat, saat itu mengatakan  "apa yang terjadi di Mesir adalah suatu pemandangan umum dari transisi demokrasi yang tidak berjalan baik"

Sekarang Indonesia sedang merasakan transisi demokrasi itu, apa kita ingin kembali pada masa lalu dimana kebebasan pers serba dibatasi?  Ada kemiripan dengan apa yang terjadi di Mesir, Indonesia  mengalami deadlock kebuntuan politik.  Yaitu semakin tajamnya polarisasi antara kubu Islamis dan kubu Nasionalis hingga cara-cara kekerasan digunakan sebagai strategi untuk mencapai tujuan politik, rakyat mendengar apa yang dikatakan oleh petinggi hukum dan keamanan dalam mengantisipasi demo 22 mei 2019 seperti "tembak di tempat", atau pernyataan seperti "sudah disiapkan anjing-anjing terlatih untuk menghalau peserta demo."

Pemerintah terlalu represif

Bagaimanapun penggunaan kekuatan dan senjata militer dalam menghadapi para pengunjuk rasa tentulah bertentangan dengan nilai demokrasi dan kemanusiaan. 

Semestinya kepolisian tidak bersikap represif terhadap elemen masyarakat yang melakukan protes atau unjuk rasa pemilu, karena yang diprotes adalah hal kecurangan dalam pemilu, namun yang sekarang terjadi seperti tidak terkendali, aparat kelihatan terlalu represif, padahal rakyat berdemo itu diperbolehkan dan konstitusional. 

Anggap demo itu sebagai ungkapan kekecewaan. Masuk logika apa yang dikatakan Fahri Hamzah "orang main bola aja ada kekecewaan, apalagi orang pilpres."

Tak semestinya pemerintah terlalu represif terhadap oposisi, karena oposisi itu hal normal, tak semestinya pemerintah merasa terganggu, justru bila keberadaan oposisi dianggap mengganggu, berarti entitas pemerintah seperti kurang percaya diri.

Kegamangan demokrasi 

Indonesia sudah berubah,  pikiran ideal dimokrasi, kebebasan mimbar, kebebasan kampus, sejak tahun 1998 konstitusinya sudah berubah, dulu negara  dianggap lebih penting dari rakyat.  Sedangkan di negeri demokrasi, rakyat lebih penting diatas negara.  

Negara tidak dapat menakut-nakuti rakyat dengan kriminalisi hoax dengan pasal terorisme. Negara mesti siap untuk perang naratif, menjelaskan kepada rakyat atas ketidakpuasan, kecurigaan, ketidakadilan yang terjadi, bukannya malah membatasi sosial media. Karena kecurigaan terhadap negara, itu adalah acara dari rakyat demokrasi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun