Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Lawu, Episode Mendaki Melarung Rindu

23 September 2014   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:48 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari berbilang cukup pagi ketika kaki melangkah di tanjakan super terjal menuju Candi Cetho. Ojekku tak cukup kuat menapakinya, padahal sudah tukar abang ojek plus motornya di tengah perjalanan sebelumnya karena ojek default-ku sudah menyerah dengan medan tanjakannya. Masih untung pemandangan kebun teh menghampar cantik mengobati kegondokan hati akibat buruknya servis ojek. Dua temanku yang berangkat bersama dari terminal Tirtonadi; Adhi dan Shopie, sudah lebih dahulu bergabung bersama dua belas anggota team kami di dalam basecamp pendakian. Hanya berjeda tak sampai sepuluh menit, barangkali. Kuucapkan salam memasuki basecamp, malu-malu menyapa anggota team yang baru kukenal; Duo Arif, Anto, Galuh, Yungky, Zee, Alex dan Johan. Selebihnya Dhanny, Nina, Lia, Peppy sudah menjadi pemain lama di hadapanku.

Terharu. Mereka sudah mempersiapkan sarapan untuk kami bertiga, padahal aku sudah membeli nasi pecel seharga Rp. 5000,00 per bungkus di Pasar Karangpandan tadi. Isinya? Sudah sangat lengkap, nasi segambreng dengan telur bulat, pecel khas daerah Solo dan sekitarnya dengan varian gendar basah (semacem lontong, tapi ndak dibungkus dan lebih kenyal, bahannya dari nasi yang diolah dengan garam. Kalau versi keringnya kita biasa jumpai menjadi produk kerupuk puli, dalam nama lain karak atau gendar). Untukku yang terbiasa hidup di Kota Surabaya, harga lima ribu rupiah dengan porsi seperti ini sudah sangat terbilang murah pakai banget.

Breakfast session is done. Kami berkemas, nasi bungkus tetap terangkut, setidaknya masih bisa dimakan untuk nanti siang, meninggalkan Basecamp Candi Cetho yang mulai ramai dikunjungi peziarah menyambut nyepi esok hari. Udara sejuk menyapa. Puncak Hargo Dumilah terpampang di depan mata. Kami memulai langkah, meniti pelataran Candi Cetho dengan serak bebatuan arca yang tertata entah mengikuti pola apa. Belakangan baru aku tersadar, ternyata lambang lingga-yoni terhampar ketika kita melihatnya dari atas.

[caption id="attachment_325192" align="aligncenter" width="432" caption="lingga yoni"]

14114468521809172012
14114468521809172012
[/caption]

Dan perjalanan kami berlalu dalam hitungan jam. Lelah? Tentu saja. Kapok? Selalu menghampiri ketika mendaki, tetapi jeda satu minggu sudah lupa dan selalu ingin mendaki lagi. Pos I, Pos II, Pos III dilalui dengan tawa dan senda gurau di antara tarikan nafas yang terengah. Nutrijel, nutrisari, manisan buah ciremai menjadi pelengkap logistik kami sepanjang pendakian.

141144737320458425
141144737320458425
pos II

“Nanti di Pos II kita bongkar kompor dan nesting buat bikin teh hangat.” kalimat ini seolah menjadi penyemangat kami untuk segera mencapai Pos II. Sederhana, tetapi pendakian selalu mengingatkanku mensyukuri hal-hal kecil yang lebih sering terlupa. Bahkan untuk sekedar mendapatkan secangkir teh hangat yang minumnya pun harus berbagi tetap membutuhkan perjuangan lebih.

Pos IV hanya menyisakan sepetak lahan kecil yang sepertinya tidak mencukupi untuk mendirikan tenda untuk menampung anggota team kami. Sebuah shelter alakadarnya yang hanya cukup menampung empat orang dengan ketinggian atap minimalis, hanya bisa diakses dalam posisi duduk lesehan, juga tidak akan cukup membantu. Menurut informasi Dhanny selaku komandan team ini, perjalanan kami menuju warung “Mbok Yem”, pos terakhir sebelum puncak masih sangat jauh. Jalur Candi Cetho adalah trek pendakian Lawu yang terpanjang dibanding jalur Cemoro Sewu maupun Cemoro Kandang. Sementara terang langit sudah mulai menyisakan kelabu oleh kabut, terlebih karena waktu maghrib sudah menghampiri. Dhanny memandu kami untuk tetap berjalan sampai batas titik lelah.

Hujan yang semakin menderas menjadi tantangan lebih untuk laju langkah kaki. Dingin semakin menjadi ketika pekat malam benar-benar menjadi perangkap. Tidak semua peserta membawa headlamp atau senter, dua tiga orang harus berjalan dan berbagi dengan satu alat penerangan. Team mulai terpisah-pisah. Aku di depan masih bersama Peppy dan beberapa teman, ketika sampai pada site dengan kontur cukup datar, hampir saja kami memutuskan untuk membuka tenda, sayangnya sudah ada beberapa tenda tereksisting. Aku dan Peppy berunding cepat, menurutnya, setelah ini akan bertemu padang savana dengan pilihan tempat mendirikan tenda yang lebih banyak. Jadi kami pun memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Ternyata setelah ini, jalur masih jauh dari bersahabat, berkontur tajam, naik-turun tanpa lahan datar yang bisa dipilih untuk membuka tenda.

Dhanny pada posisi sweper ternyata tertinggal jauh dari rombonganku di depan. Kami beberapa kali berhenti supaya tidak terpisah jauh. Aku tak kuat menahan dingin ketika berhenti terlalu lama, ancaman hypothermia membayangiku. Kaku, lemas, dan seolah energi merosot begitu saja. Posisiku kini benar-benar berada di depan, bergerak perlahan untuk mengusir dingin, sembari tetap memperhatikan kerlip headlamp di belakangku untuk menjaga jarak. Tak urung keputusanku ini membuat Adhi menegurku tegas untuk berhenti menanti seluruh anggota team terkumpul. Aku menurut dan dihinggapi rasa bersalah, menahan dingin yang menusuk. Tidak hanya aku, semua juga berjibaku dengan hawa dingin. Dhanny tak bisa menyembunyikan emosinya ketika team kami utuh berkumpul. Sedikit rasa kesal membuatnya enggan untuk memberi masukan dimana sebaiknya kami membuka tenda. Aroma savana sudah di depan mata, tetapi contour site masih belum cukup datar untuk nenda. Cukup lama kami dilanda kegalauan karena Adhi dan beberapa teman mencoba mengexplore area sekitar, mencari tempat datar dengan bantuan penerangan yang sangat minimal. Sampai akhirnya, Dhanny kembali memandu kami, meneruskan sedikit langkah, dan bertemu lembah dengan plank bertuliskan Pos 5.

Alhamdulillah, meski dingin luar biasa, teman-teman cowok berhasil mendirikan flysheet besar dengan perkuatan dua kayu yang tertancap di tanah, sisa pendaki sebelum kami. Hujan semakin menderas, lebih dari dua jam ke depan kami masih harus bertahan meringkuk di dalam flysheet karena tenda beberapa kali gagal didirikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun