Salah satu "mata pencaharian" unggulan pada saat saya menjadi mahasiswa Universitas Pasundan Bandung adalah  "menjual" naskah artikel, sajak, cerbung, opini, cerpen, kartun, atau esai ke berbagai media cetak lokal dan nasonal. Dari hasil "jualan" naskah ke berbagai media cetak tersebut, saya memperoleh banyak honorarium.Â
Honorarium yang saya peroleh dari berbagai media cetak tersebut, alhamdulillah bisa  membayar SPP kuliah, makan, dan bayar kontrakan selama di Bandung. Selain itu, saya menjadi produktif menulis. Itulah sebabnya, sehari-hari saya lebih banyak membaca dan menulis untuk koran dan majalah.
Memasarkan Ulang Naskah yang Ditolak
Menulis artikel untuk koran dan majalah tidak serta merta selalu dimuat oleh redaktur. Berkali-kali tulisan saya ditolak redaksi. Meskipun demikian, saya tidak pernah putus asa, kecewa atau berhenti menulis. Saya terus mengirim tulisan tanpa kenal lelah. Jika diurut, ketika saya mengirim sepuluh naskah ke media cetak paling banter satu atau dua tulisan yang dimuat. Nah, satu atau dua tulisan inilah sebagai motivasi utama saya tetap menulis.Â
Terus, bagaimana nasib naskah saya yang ditolak redaksi? Dibuang? Disobek? Oh, tidak! Naskah tersebut saya simpan kemudian saya kirim lagi pada tahun berikutnya seraya ditambah data terbaru pada tahun tersebut. Setelah itu saya "jual" lagi ke koran. Hasilnya? ya kadang dimuat, kadang tidak. Naskah yang tidak dimuat saya simpan untuk nanti diperbaiki lagi hingga naskah itu berhasil diterima redaksi. Demikian rahasia saya dalam proses kreatif "memasarkan naskah ulang" artikel yang ditolak redaksi.
Catatan Akhir
Menulis artikel ke media cetak harus pas "time" dan momennya. Bisa jadi tulisan kita ditolak redaksi karena tidak pas pada saat kita mengirim tulisan tersebut. Saya yakin tidak ada tulisan yang jelek. Yang ada adalah tulisan yang kita kirim tidak pas "time-nya" pada kita "menjual" ke koran tersebut.
Majalengka, 31 Maret 2022
Tulisan ke-11 dari 1000 tulisan yang akan disajikan.