Mohon tunggu...
Ena Nurjanah
Ena Nurjanah Mohon Tunggu... -

Ena Nurjanah, S.Psi., M.Si Penulis Anak Indonesia Hebat (Official Facebook Page) www.anakindonesiahebat.com Penulis, Pengamat, Relawan, dan Pekerja Sosial bagi Anak dan Perempuan || Menggeluti dunia Psikologi, Perkembangan Anak, Perlindungan Anak & Perempuan, serta kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman Bagi Anak, Benarkah Diperlukan?

8 Maret 2016   07:31 Diperbarui: 8 Maret 2016   07:47 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghukum anak dalam Parenting, apakah sebuah langkah yang tepat untuk diambil?
Apa yang harus diketahui dan diperhatikan orangtua mengenai 'hukuman' dalam mendidik anak?

[caption caption="Ilmu Parenting: Hukuman dalam Mendidik Anak"][/caption]

Berikut cerita selengkapnya,
"Hukuman", kata yang sering kali kita dengar, dalam konteks apapun itu. Konteks yang paling dekat dan kerap kali kita temui adalah tindakan pemberian hukuman yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya di rumah atau seorang guru yang menghukum  muridnya di sekolah. Dalam konteks yang lebih luas adalah tindakan hukuman yang diberikan oleh seorang hakim kepada sang terdakwa di meja pengadilan. 


Hukuman yang dilakukan hakim kepada terdakwa adalah tindakan yang sudah ada aturannya dalam undang-undang. Pemberian hukuman dilakukan dalam konteks negara hukum. Hukum harus ditegakkan untuk melindungi seluruh warga negaranya.
Hukuman yang dilakukan di rumah ataupun disekolah jelas berbeda dengan hukuman dalam konteks negara hukum tadi. Hukuman yang dilakukan di rumah maupun di sekolah seringkali justru terjadi tidak dilandasi dengan aturan yang dibuat sebelumnya. Hukuman yang diberikan lebih sering  bersifat reaktif, tidak terencana dan tidak ada ukuran/batasan yang jelas mengenai berat-ringannya hukuman. Hukuman yang dilakukan di rumah maupun di sekolah biasanya dilakukan dengan alasan sebagai upaya mendidik dan mengasuh anak.  Denga kata lain "Hukuman" menjadi salah satu strategi para orangtua dan guru dalam mendidik anak atau murid. 


Menjadikan "hukuman" sebagai salah satu cara dalam mendidik anak, nampaknya sudah menjadi suatu yang  lumrah di kalangan masyarakat.  Menghukum anak terlihat menjadi sesuatu yang wajar, bisa diterima begitu saja, tidak perlu lagi mencari alasan mengapa harus menghukum dan tidak perlu dipikirkan dampaknya. Hukuman menjadi 'cara pintas' mendidik anak.
Tindakan menghukum yang dilakukan oleh  orang tua maupun guru biasanya mulai dari tindakan verbal seperti meneriaki, memarahi, dll; maupun hukuman fisik seperti memukul, menampar, dll.  Mulai dari hukuman yang kadarnya ringan hingga hukuman tingkatan yang 'lebih berat'.
Satu hal yang sudah pasti terjadi ketika anak mendapat hukuman adalah bahwa hukuman akan meninggalkan bekas pada anak, baik fisik maupun psikis. Tentu saja dengan kualitas yang sangat beragam tergantung dari apa yang dirasakan maupun yang dipersepsikan oleh si anak yang mendapat hukuman tersebut.


Dalam Undang-undang Perlindungan anak no.35 tahun 2014, dalam rangka memberikan perlindungan maksimal bagi anak diantara isi undang-undang tersebut adalah negara melindungi setiap anak Indonesia dari tindakan kekerasan baik fisik maupun psisik. Pelaku tindakan kekerasan akan mendapat sanksi hukuman berupa pemidanaan maupun denda. Bahkan jika pelakunya adalah orang tua, guru, pendidik, keluarga maka hukuman bisa ditambah sepertiga dari hukuman yang diberikan.


Masyarakat yang selama ini permisif dengan pemberian hukuman cenderung menjadi resah, karena merasa kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka.  Gencarnya sosialisasi Undang-undang Perlindungan anak justru membuat banyak orang tua, guru, maupun masyarakat yang menjadi kebingungan bahkan ada yang ketakutan. Kenapa? karena  tindakan menghukum anak yang memberi dampak fisik maupun psikis justru akan menjerat mereka ke meja hijau. Para guru banyak yang mengeluh. Mereka merasa kesulitan untuk mendidik murid-murid mereka yang mereka katakan "nakal". Mereka tidak lagi bisa berlaku keras (kasar) terhadap murid-murid mereka, karena perbuatan mereka bisa diadukan ke kepolisian karena dianggap telah melakukan tindakan kekerasan fisik/psikis terhadap anak.


Para orangtua maupun guru sering berdalih bahwa dulu mereka sering mendapat hukuman namun tidak ada masalah bagi mereka, tidak ada yang kemudian mendapat sanksi hukum, bahkan mereka merasa menjadi semakin baik dengan diberikan hukuman oleh orang tua atau guru mereka. Mengapa sekarang mereka tidak boleh menghukum anak atau murid mereka? Padahal " kenakalan" anak sekarang sudah sangat kelewatan.
Dalam mendidik sesungguhnya banyak sekali metode yang bisa dilakukan. Hukuman hanyalah salah satu jenis dari cara mendidik yang sebaiknya tidak dilakukan, tidak menjadi prioritas, atau dilakukan tapi mengkombinasikannya dengan metode lain secara  tepat.  Jadi, para pendidik seharusnya tidak kehabisan akal dalam memberikan didikan yang tepat dan bermartabat bagi anak. 


Kondisi dulu dan sekarang ternyata memang tidak bisa disamakan. Banyak faktor yang membuat kondisinya menjadi berbeda. Faktor terpenting dari perubahan paradigma tentang anak adalah saat Indonesia meratifikasi kebijakan dunia dalam hal memberikan perlindungan bagi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) PBB tahun 1990. Sebagai konsekuensi dari meratifikasi KHA maka Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dan atau memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak  yang diakui di dalam KHA. Wujud nyata dari ratifikasi KHA adalah Indonesia telah membuat UU Perlindungan Anak yang menjadi landasan hukum bagi semua pihak dalam memperlakukan anak dengan baik dan tepat.

 
"Hukuman" dari Sudut Pandang Para Ahli
Alasan utama para orang tua atau guru memberikan  hukuman pada anak adalah agar anak tidak mengulangi perbuatannya atau sebisa mungkin  menghilangkan perilaku buruk tersebut. Menghukum sebagai cara mereka mendidik anak dan murid mereka.
Para pakar teori belajar seperti Skinner dan Thorndike memiliki pendapat yang sama tentang efektivitas hukuman. Menurut mereka hukuman tidak akan menurunkan peluang terulangnya perilaku yang tidak diinginkan. Walaupun hukuman bisa menekan munculnya perilaku yang tidak diharapkan selama hukuman diterapkan, namun hukuman tidak akan melemahkan perilaku tersebut.


Skinner sangat menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk menghilangkan perbuatan yang tidak di kehendaki, ada beberapa alasan yang beliau kemukakan, yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun