Mohon tunggu...
SURAT TERBUKA
SURAT TERBUKA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pingin Masuk Syurga Bi Ghoiri Hisab

Mencari Doa

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bukan Salah Kak Seto, Anak dan Orang Tua yang Melaporkan Guru

4 Juli 2016   00:28 Diperbarui: 4 Juli 2016   17:30 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terimaksih Pak Guru yang mendidik

Guru hari ini bukan guru zaman dulu, bukan guru zaman umar bakri. Andai anak kami dicubit atau dipukul guru ngaji, maka kami ikhlas, tapi kalau guru bergaji dan tersertifikasi yang dulunya meninggalkan bahkan menolak dan memanfaatkan apa yang kami perjuangkan, dalam minat, bakat dan potensi kami, maka bukan salah orang tua dan anak yang melaporkan guru.

Bukan salah kak Seto, bukan salah Undang – undang Perlindungan Perempuan dan Anak, apalagi  salah aparat penegak hukum yang memutuskan oknum guru untuk persoalan hukum. Guru hari ini adalah profesi. Banyak yang menginginkannya bahkan bisa jadi sebagai rebutan, bahkan untuk menjadi ASN guru, tak sedikit yang siap menyuap. (Maaf Kak Seto muncul karena Kak Seto juga jadi bahan ejeken di group facebook ini  

Tapi bagi kami, sungkan disebut guru jika kami tak bisa digugu dan ditiru.  Adalah sebuah pengalaman pribadi saat masih putih abu-abu. Pernah menantang Guru PPL ke ruang Bimbingan dan Konseling untuk memarahi dan menasihati di ruang khusus itu. Di ruang khusus tersebut sampai Saya  persilahkan pihaknya marah, asal jangan di depan banyak orang atau teman-teman kelas. 

Walau masih dibawah umur, ketika mengerjakan urusan pengembangan diri yang saat itu Saya menjadi pengurus PMR dan Ketua OSIS, Saya seolah-olah menjadi  tulang punggung dalam mengurus teman-teman yang seminat, sebakat dan sepotensi (sama-sama menginginkan itu) dalam keadaan beberapa guru Saya yang bergaji, tergolong apatis. Pembina ini menyuruh itu, tapi guru ini memarahi itu. Singkatnya, banyak miskomunikasi di dunia pendidikan. 

Sisi lainnya adalah ketika dalam urusan pelajaran, kok saya tak bisa ditoleransi?. Pelajaran yang bukan tempat otak saya, bukan tempat kemampuan saya, bukan pula menjadi idaman atau cita-cita. Saya dipermalukan di depan semua teman-teman kelas. Hingga yang maha kuasa, Allah SWT pun memberikan Saya kemampuan untuk mengangkat bangku, kemudian meminta maaf sambil mengajak guru yang bersangkutan ke ruang BK.

Di ruang BK ada dua sikap guru yang Saya temukan. Guru yang satuan membela dan memotivasi. Guru yang satuan lagi mengintimidasi. Guru yang memotivasi, mengatakan, Nak ini adalah ujianmu, Nanda sabar ya. Saya tau kondisi nanda sehingga Nanda melakukan itu, lain kali direnungkan dulu ya, jika mau berbuat demikian. Terimakasih pak guru. Pak guru tetap di hati siswa-siswimu. Dan engkaulah Guru bangsa sejati.

Dan guru yang satuan (mengintimidasi) mengatakan, sekali lagi Anda berbuat demikian, maka Saya keluarkan Anda dari sekolah ini. Jika pembaca dalam posisi seperti itu, guru manakah yang lebih pantas disebut guru?. Guru yang membuat pikiran lebih dewasa atau guru yang membunuh mental dan karakter?.

Bukan Salah Kak Seto,  Pak Guru, Orang Tua dan Anak

Sedih melihat perang komentar karena persoalan orang tua yang melaporkan dan guru yang dilaporkan. Semakin sedih ketika membaca pembelaan berlebihan terhadap guru bersangkutan atas nama sebatas cubitan, sebatas bentakan tanpa tulisan berimbang, bagaimana upaya kita untuk lebih menghalalakan gaji dengan bersabar mengenal dan membimbing anak, potensi anak, kemampuan anak, minat dan bakat anak  yang membuatnya perlahan sadar sesuai dengan terapan-terapan yang dijalankan pendidikan lain. 

Semakin sedih lagi ketika ada photo dan berita anak yang dicubit disebarluaskan dan tentu saja semakin akan membuat mental anak tersebut terbunuh. Semakin sedih lagi membaca postingan yang menyudutkan kak Seto. Dan juga postingan yang seolah mengintervensi hukum. Sedih yang tak kalah lagi adalah ketika terdapat informasi sepihak dari postingan di medsos yang tidak mengindahkan berita damai antara pelapor dan terlapor. Ada pembelaan berlebihan, ada laporan berlebihan, namun preventif untuk upaya ini terlihat sangat minim. "Mari Fokus pemikiran kita di dunia pendidikan bukan pada soal maraknya orang tua yang melaporkan guru, tapi juga soal bagaimana upaya tindak lanjut membina anak terindikasi nakal berlebihan" 

Mengapa pada saat kejadian seperti ini semua terlibat, dan mengapa bukan dari pra kejadian yang bagaikan makan buah simalakama ini. Pada pengalaman yang kami mencoba untuk tidak menutupinya. Kajiannya adalah jika Pak Guru adalah terlapor yang sampai tersebar ke pelosok Indonesia dilaporkan karena mencubit anak yang tak mau Shalat Dhuha, maka Pak Guru semoga adalah guru yang peduli, namun saat itu adalah ujiannya sehingga waktunya tersita untuk persoalan hukum. Benar tidaknya Wallahua'lam, karena keterangan Anak berbeda lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun