Mohon tunggu...
SURAT TERBUKA
SURAT TERBUKA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pingin Masuk Syurga Bi Ghoiri Hisab

Mencari Doa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gerhana yang Diundang 1 (Saciko Sacinawa Pos 8)

9 Maret 2016   01:11 Diperbarui: 9 April 2016   14:17 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kenalan dong,” ujarnya sambil menyodorkan tangan.[caption caption="Masalalu"][/caption]“Iiih, dari tadi ke, dong batal whuduqnya kalau salaman,”

“Oke, Shalat dulu ya, udah 3 tahun, baru hari ini Saya Shalat lagi, makasih yah,”  tertawa bahagia.

****

Senja hari itu menyapa teduh bersama kepuasan yang tak mampu terlukis rasa. Menatap indah sujud gadis cantik yang belum jelas identitasnya. Puas menjadi perantara karena Ia mau Shalat di tengah perangainya yang masih mencurigakan.

Bersama itu, renungan siapa sesungguhnya Ibu Tini, datang kembali menyeruak. Terlintas pula bayangan Saciko yang hilang membawa baju Ibuku. Baju penggantinya saat pertemuan telanjang di Pantai Labuan Haji.

Bertanya dalam benak. Mengapa hari ini yang kuasa menyuguhkan perkara yang tak diundang. Mengapa gejolak beban yang datang bersemayam bersama perasaan yang tak ingin aku rasakan. Namun, ini sudah menjadi keputusannya.

Aku harus siap berjalan menatap gerhana. Walau hati silau menerka. Aku harus mampu menghadapi orang-orang yang mengundang nafsu itu, walau birahi kadang tak terbendung. Aku harus percaya, walau mereka dalam gelap, pasti ada keindahan yang disipakan pencipta untuknya. Selama mereka tak gengsi untuk bersujud.

“Astagfirullah ya Allah, ampuni dosa hamba,” suara gadis itu lirih memudarkan lamunan. Ia sudah selesai Shalat. Terlihat mata indahnya mengeluarkan kristal putih, bahkan sampai membasahi mukenanya. Merasa dirinya dilihat, Dia segera menghapus air matanya sambil membuang mukena.

Terlihat ada jiwa baja dibalik tingkahnya yang seksi, karena sesudah itu, Ia berlari ke ruang kecil. Sepertinya bukan untuk pipis, namun untuk menumpahkan air matanya. Cara yang salah, pikirku. Ku gedor pintu ruang kecil itu dan kutawarkan Dia menangis di Pundakku sambil mendesaknya bahwa Aku segara mau pulang.

Dia keluar dan langsung menggeretku ke Mobil. Sambil terlihat senyum sedihnya. Dibukakan Aku pintu Mobil itu layaknya seorang Bos, Di dalam Mobil ada 3 temannya yang sudah menunggu. Rata-rata semuanya tak ada yang berpakaian sopan. Sopirnya juga cewek.

Sambil menunggu Gadis yang belum ku kenal itu menutup pintu rumah asing itu, perasaan ini dag-dig-dug tak karuan. Duduk dalam mobil bersama wanita-wanita seksi yang ramah, grogi juga rasanya. Namun untung itu tak lama, karena cewek yang entah masih gadis atau tidak itu segara datang dan melarang teman-temannya untuk menyapaku.

“Syutt….ini bukan berondong biasa, kalian jangan bicara sampai datang di lokasi, biar Aku sendiri yang nganterin dia pulang,” celetuknya sambil duduk di dekatku.

“Ceille,,,mentang-mentang. Kenalan aja masa g’ boleh,” sindir temannya yang lain.

“Besok kapan-kapan dah, Kita ikuti perintah Bos dulu, ayoo jalan,”tegas Cewek itu.

Kami terdiam, dari Narmada sampai mobil masuk lagi di sebuah rumah mewah di Kota Mataram. Mereka bertiga keluar. Drivernya diganti langsung oleh cewek itu. Makin penasaran, siapa mereka, tapi belum waktunya untuk bertanya.

Kami berjalan melaju kearah Lombok Timur. Tak ada yang saling sapa. Pristiwa di Rumah Narmada itu masih membekas. Kaku menghinggapi kami, sampai akhirnya Aku yang menyapa duluan dan secara bersamaan ternyata Dia juga ingin menyapa. Kami saling tatap, saling melempar senyum.

“Oya sampai saat ini, kita belum saling tau nama ya?” ujarku memahami kondisinya.

“Enggak, Aku sudah kenal kamu,”

“Berarti g’ adil dong, kalau gitu nama kamu Siapa?

“Fitri, tapi Aku g’ suci,” cetusnya.

“Kok bilang gitu,?

Ia terdiam. Air matanya kembali keluar. Dia tidak terlihat konsentrasi menyetir Mobilnya. Akupun menyuruhnya berhenti dan memintanya untuk menangis sepuasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun