Mohon tunggu...
SURAT TERBUKA
SURAT TERBUKA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pingin Masuk Syurga Bi Ghoiri Hisab

Mencari Doa

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Salim Kancil Cerita Presiden dan Tangisan Anak

22 Oktober 2015   23:32 Diperbarui: 22 Oktober 2015   23:40 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Dio (13 tahun), bersama nasibnya yang melihat langsung tragedi pembunuhan Ayah tercinta. Ditengah perhatian pemerintah terhadap Anak dan Lingkungan Hidup. Dio menjadi catatan sejarah anak bangsa yang kian hari semakin meng-Elegi.

Salim kurang lebih maknanya selamat. Namun jika melakukan search di google dengan kata Salim maka yang akan muncul adalah Salim Kancil. Kancil adalah nama inisialnya. Jika mencari tujuan berbeda, misalnya untuk mengetahui gambar Kancil dan kehidupannya, maka pencarian akan beralih kepada pristiwa naas aktivis lingkungan hidup yang menolak tambang pasir di Kabupaten Lumajang Jawa Timur yang kini menjadi isu Nasional.

Lengkap terkait berita Salim Kancil silahkan pembaca cari sendiri yang semoga bisa menjadi kontemplasi bermanfaat agar kejadian serupa, semoga jauh dan tak terjadi lagi di negeri yang semakin mengundang Elegi. Sedangkan Tambang Pasir sepertinya tak asing di masyarakat NTB, mungkin saja nasib tambang di daerah ini mirip serupa dengan apa yang diperjuangkan Salim dan kawan-kawan. Entahlah, apa hendak dikata.

Agustus bulan lalu, Presiden RI Joko Widodo bercerita tentang Rusa. Sementara rusa agak mirip dengan Kancil dan kancil sekali lagi merupakan inisial Salim. Berceritanya pula pada puncak peringatan hari Anak Nasional. Uniknya cerita itu berkaitan dengan lingkungan hidup, lokasinya pun di istana Bogor yang mengingatkan kita terkait Kebun Raya Bogor. Bahkan dalam acara itu, ada sejarah pula untuk Anak NTB yang berhasil mengalungkan selendang bertuliskan Rinjani kepada Presiden, nama anak itu adalah Hidayatul Azkia.

Berbeda dengan di NTB, khususnya Lombok Timur. Ini terkait tambang yang merupakan salahsatu kronologi pembunuhan Salim Kancil. Tambang di NTB juga ada yang menyisakan persoalan untuk anak, dan nasibnya. Ada yang ditinggal Ayah karena cerita Ayah yang tenggelam di tambang emas, adapula cerita pulang sekolah Anak mesti bekerja memotong batu untuk melanjutkan hidup dan biaya pendidikan. Entah cerita apalagi, yang penulis nilai sesungguhnya lebih tragis menimpa Anak, terlepas cerita itu benar atau tidak. Tapi yang paling benar untuk Lombok Timur adalah upaya pemerintah yang kini sedang memberlakukan penarikan pajak dari hasil mineral bukan logam dan batu. Apakah itu hasil tambang juga?. Silahkan pembaca maknakan sendiri. Lebih lengkapnya upaya ini diatur melalui peraturan Bupati Nomor 18 tahun 2015.

Terlepas dari retorika di atas yang semoga tidak dinilai berlebihan sebagai pembukaan. Maka mari melirik perhatian kepada anak, perhatian kepada lingkungan hidup. Lalu bagaimana perhatian kepada Dio, putra bungsu Salim Kancil dan keluarganya. Mengutip pemberitaan laman http://www.republika.co.id, sungguh sedih membacanya. Dio bercerita, di rumah hanya ada dia dan bapaknya. Sementara ibunya, Tijah, sedang mencari rumput di tegalan semak jauh dari rumah.

Saat itu, kata Dio, sebagaimana berita Republika, bapaknya sedang mengeluarkan motor hendak pergi bersamanya untuk ikut demonstrasi menolak tambang pasir. Ketika itu, menurut Dio, sekitar pukul 07.30 WIB, rombongan sepeda motor menyerbu ke halaman rumahnya. Lebih dari 30 orang menghambur ke arah sang Bapak. Dio saat itu mengaku kalut dan menangis, lalu berlari ke arah samping menuju rumah pamannya.

Dio kemudian berteriak memanggil pamannya untuk keluar. Tapi, salah seorang preman kemudian meneriakinya agar tidak macam-macam. Dio mengaku hanya sanggup menangis melihat sang Bapak diikat tangannya ke belakang. Ia melihat bapaknya diimpit di motor untuk dibawa ke balai desa. Dio sempat mengejar hingga jalan raya, ia menangis sejadi-jadinya.

Tangisan Anak karena diperkosa, sepertinya tak asing lagi. Tangisan anak yang menjadi pengemis, bukan hal yang langka lagi. Tangisan anak yang ingin belanja dan dipaksa kerja mungkin banyak yang mengalami. Kini terdengar lagi tangisan Anak untuk orang tuanya yang dibunuh rame-rame. Jika 30 orang dalam sekali aksi, di waktu pagi pula, sebagaimana pengakuan Dio; tega melihat tangis Anak untuk nasib pedih yang menimpa orang tuanya, dan kasus – kasus lain terkait Anak, lalu dimana letak keberhasilan bangsa ini dalam perhatiannya kepada Anak?

Bisa saja menjawab, banyak Anak yang berprestasi. Anak disediakan sekolah. Anak disediakan beasiswa dan banyak lagi keberhasilan sebagai orasi menutupi tangisan Anak dibalik proyek-proyek bangsa atas nama peduli terhadap nasib Anak. Terlepas dari apapun nama proyek itu, Penulis mendukung dan mengajak serta berharap akan kesadaran bersama bahwa nasib Anak tidak akan pernah baik apabila hanya diperhatikan melalui diskusi dan sebatas program saja.

Butuh sebuah gerakan dan tindakan, karena selama ini waktu kita habis dengan diskusi dan program seremonial saja. Kita butuh gerakan yang berorientasi sosial bukan berorientasi bisnis, sehingga bisa melahirkan kesadaran bahwa selama ini, kepada Anak, kita lebih banyak memberi intervensi, bukan motivasi, lebih sering memberi cemoohan bukan bimbingan. Dan marilah, untuk Anak, beri Mereka didikan bukan ledekan, beri mereka pimpinan bukan desakan, beri mereka solusi bukan konflikasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun