Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Hari di Rumah Bunda Maria

23 Desember 2020   18:17 Diperbarui: 23 Desember 2020   20:36 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Bunda Maria (dok.cengiz istidar)

Langit tampak murung, tapi aku tetap bertekad mengunjungi rumah Bunda Maria. Toh, tidak begitu jauh dari Ephesus, hanya sembilan kilometer saja. Agar tidak ada waktu yang tersia-sia, setelah puas berkeliling Ephesus, aku meluncur ke sana.

Rumah Bunda Maria terletak di atas gunung, atau lebih tepatnya bukit Bulbul. Tempat ini menjadi tujuan wisata nomor satu umat Nasrani dalam hari besar mereka. Misalnya, Natal dan paskah. Karena itu aku justru menghindari saat ramai oleh turis.

Sayangnya, mobil yang aku sewa untuk ke rumah Bunda Maria hanya bisa mengantar hingga kaki bukit. Sang supir harus pulang ke rumah karena ada telepon mendadak dari istrinya.  Pantang surut langkah, aku melanjutkan perjalanan.

Kepalang tanggung aku memutuskan berjalan kaki ke atas bukit, maklum masih merasa sebagai pendaki gunung. Aku yakin kaki ini masih kuat menanjak bukit yang tak seberapa tinggi itu.

Matahari begitu cepat bergulir ke Barat, padahal aku baru separuh perjalanan. Tetiba aku merasa langit mulai gelap. Apalagi kabut muncul dari pepohonan rindang. Aku bergegas agar bisa sampai sebelum Maghrib.

Jalan menuju ke sana begitu sepi. Maklum bukan musim wisatawan. Mungkin hanya aku yang berniat ke rumah Bunda Maria. Di bawah tadi hanya satu atau dua toko yang buka, dan tidak ada ojek yang mau ke atas.

Tengah melangkah, mendadak ada dua orang lelaki muncul dari semak-semak. Aku terkejut dan mempercepat langkah. Ternyata mereka menyusul dan kemudian menghadang. Wajah mereka kasar dan tidak ramah.

"Serahkan tasmu," teriak lelaki yang berewok.  Tubuhnya tinggi dan kekar.

"Maaf, saya tidak bisa," aku menolak. Dalam hati aku berhitung, apakah mereka memiliki kekuatan fisik yang besar.

Lelaki yang satu tak berbasa-basi, langsung maju merenggut tas yang aku pegang.  Secara  spontan aku menghindar dan mengayunkan tendangan ke  dadanya. Bagaimana pun aku seorang karateka.  Ia terhentak mundur dan menggeram.

"Kurang ajar," bentaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun