Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Event Fiksi Mini FC] Tarzan Kota

7 Juli 2019   23:05 Diperbarui: 7 Juli 2019   23:51 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini bukan julukan si Benyamin Sueb, yang aktor Betawi tulen. Tetapi julukan untuk diriku yang diberikan teman teman di lingkungan rumah.

Iya, Tarzan kota. Aneh ya? Soalnya aku anak perempuan. Masa mendapat julukan seperti itu. Cocoknya kan untuk anak laki-laki.

Ini gegara aku kelewat tomboy, sifatku seperti anak lelaki. Aku liar, kuat dan tidak cengeng. Hobiku yang senang memanjat pohon itulah yang menyebabkan aku dijuluki Tarzan kota.

Bagaimana tidak, aku bisa memanjat pohon lebih tinggi dari anak laki-laki. Aku lebih berani dari mereka, batang yang lebih kecil aku pijak tanpa takut jatuh.

Pohon pohon rambutan yang tinggi dan lebat di belakang masjid adalah tempat aku memanjat. Cuma, kalau ketahuan bapak, aku langsung melarikan diri. Kebetulan bapak adalah imam masjid. Beliau sering lewat di bawah pohon.

Pernah aku tak sadar bahwa bapak sedang lewat. Aku sedang asyik memetik rambutan yang kulitnya masih hijau dan memakannya di atas.

"Ti, koe ngapain. Rambutan mentah dipangan. Ojo gragasan. Ayo mudun!" Teriak bapak dengan nada marah.

Aku terkejut hingga rambutan yang kupegang jatuh ke bawah. Segera aku meluncur turun, pulang ke rumah.

Tapi aku juga pernah kepergok main layangan di atas genteng. Aku berdua dengan mas-ku (kakak lelaki yang persis di atasku). Kami menggunakan tangga yang disenderkan pada batang pohon belimbing di belakang rumah.

Nah, main layangan kan memang maju-mundur, mengikuti arah angin. Kami lupa bahwa sebagian genteng tidak berada pada jalur berpaku. Terinjak beberapa genteng yang langsung berbunyi berderak.

Kami kaget bukan kepalang. Wah, ada yang pecah. Bagaimana ini kalau ketahuan? Kami diam seribu bahasa. Takut terdengar oleh bapak dan ibu yang sedang di dalam rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun