Mohon tunggu...
Lukman Riadus Solikhin
Lukman Riadus Solikhin Mohon Tunggu... -

arts painting

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

WAYANG OTOK OBROL WAYANG KULIT KEDU KHAS WONOSOBO Wayang Otok Obrol, Wayang Kulit Kedu khas Wonosobo

16 Juni 2012   12:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

WAYANG OTOK OBROL

WAYANG KULIT KEDU KHAS  WONOSOBO

Oleh ; Lukman Riadus S

2009017

PBB melalui UNESCO sejak 27 April 2007 telah menetapkan wayang sebagai Masterpiece Etangable Heritage Humanity, pengakuan dunia internasional bahwa wayang merupakan warisan mahakarya bangsa. Dalam wayang termuat nilai-nilai sosiologis, etika dan humanism serta filsafat hidup yang bersifat sosio-spiritual. Dan wayang kedu adalah salah satunya dari puluhan jenis wayang di tanah air.

Dalam buku Kota Jogjakarta 200 Tahun, diterangkan bahwa bentuk wayang Kedu dibuat pertamakali oleh seorang bernama Ki Atak dari Desa Danaraja, Kabupaten Wonosobo pada zaman perang Giyanti sekitar tahun 1755 Masehi. Pada masa perang Giyanti, Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I) lolos dari Surakarta diikuti oleh abdi pênatah bernama Ki Jayaprana beserta anaknya yang bernama Jaka Penatas menuju daerah Kedu. Di daerah tersebut Ki Jayaprana dan Jaka Penatas menginap di rumah Ki Atak di Desa Danaraja. Selama tinggal di rumah Ki Atak kebutuhan hidupnya dicukupi oleh Ki Atak. Sebagai balas budi, Ki Jayaprana memberi pelajaran membuat wayang pada Ki Atak. Persaudaraan menjadi erat setelah Jaka Penatas dikawinkan dengan Sutiyah anak Ki Atak. Dari perkawinan itu lahir Bagus Riwong yang pada waktu berikutnya menurunkan dalang-dalang daerah Yogyakarta. Setelah perang Giyanti berakhir, Ki Jayaprana dan Jaka Penatas mengabdi di Yogyakarta, sedangkan Ki Atak melanjutkan membuat wayang di Wonosobo. Wayang buatan Ki Atak ini berciri kak-kong dan merupakan awal mula bentuk wayang Kedu. Kata kak-kong berasal dari bahasa Jawa tungkak-bokong, yang berarti tumit-pantat. Maksud kata kak-kong disini adalah jarak antara tumit dengan pantat dekat. Lawan kata kak-kong adalah kong-ngêl (pantat-tengkuk), artinya jarak pantat dekat dengan tengkuk.

Hal ini dibenarkan oleh pak Sagio alias Mas Lurah Perwitawiguna (pemberian gelar nama dari Kraton Jogya) adalah seorang ahli tatah sungging wayang Kulit Purwa gagrag (corak/gaya) Jogyakarta yang tinggal di Bangunjiwa Kasihan Bantul, saat acara Bincang-bincang Seni di Bentara Budaya Jogyakarta, Jumat 20 April 2012. Bahkan ia mengatakan bahwa jayaprana dan jaka panatas sebagai Perintis seni tatah sungging wayang kulit gagrag Jogyakarta. Karena munculnya wayang kulit purwa (wayang yang menggambarkan tokoh-tokoh dari cerita Ramayana dan Mahabarata). gagrag Jogyakarta ini seiring dengan berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menyusul Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua (palihan negari) yaitu Surakarta dan Jogyakarta. Salah satu isi dari perjanjian tersebut bahwa Sultan Jogyakarta akan melanjutkan tradisi Mataram, sedangkan Sunan Surakarta akan membuat yang baru, termaksuk dalam hal ini Wayang Kulit Purwa.

Oleh karenanya sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, wayang kulit yang ada disebut dengan wayang kulit gagrag Jogyakarta. Walaupun pada kenyataan lahirnya wayang gagrag Jogyakarta secara utuh mulai pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII dan Sultan Hamengkubuwono VIII, karena sebelum Sultan Hamengkubuwono VII wayang kulit purwa yang ada di kraton Jogyakarta masih campuran dengan gagrag Surakarta.

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa wayang kedu menjadi cikal bakan atau induk seni pewayangan di tanah air khususnya gagrag Yogyakarta yang sekarang ini lebih terlihat njelimet, halus dan kesempurnaan estetikanya sangat menonjol.

Namun bila merunut sejarah kelahiran wayang kedu sendiri banyak terdapat kesimpang siuran tokoh pelaku maupun data tahun, baik dari cerita lisan para Dalang maupun tulisan seperti buku Kota Jogjakarta 200 Tahun yang telah dikutip diatas maupun serat Centini pada pupuh Salisir (139), pada pada ke 35-41, 53 dan 54. Maupun naskah "Riwayat Pertumbuhan/Kehidupan Wayang Kulit Gaya Kedu" yang disusun oleh Sri Soedarsono.

KELOMPOK WAYANG OTOK OBROL ”JETAYU”

NAMA PENDIRI : KI DALANG MAKIM KARTOSUDARMO
NAMA KETUA
: Bp. SLAMET
DIDIRIKAN TAHU
N : 1995 (Terorganisir Th. 2005)
JUMLAH ANGGOTA
: 15 Niaga + 1 Dalang
JENIS ALAT MUSIK
: Saron, bonang, demung, kenong,

robuk, kendang, dan gong.

INTENSITAS PERTUNJUKAN : Rata-rata 3 kali dalam setahun
INTENSITAS LATIHAN
: 2 kali dalam seminggu
CIRI KHAS
: Bentuk wayang besar dan gemuk,

bungkuk dengan  wajah dingin

ALAMAT : Rt. 01/ Rw. 06  Ds. Selokromo, Kec. Leksono

Sejarah Otok Obrol

Sumber Ki Makim Kartosudarmo;

Diceritakan Sekitar abad ke14lalu di desa Traci daerah Kedu, hidup seorang Dalang Mbah Ganda Wiragaru yang mengajarkan permainan pewayangan dengan cara yang sangat sederhana, dengan model pengajaran yang nge_fun, sehingga dalam berlatih instrument masih asal (tanpa not) dan asal cocok(Nguntuk) dan juga guyonan(ngobrol) sehingga terciptalah istilah ‘Otok Obrol’ sebagai nama dari jenis Wayang gaya Kedu ini,dengan keterbatasan alat music (yaitu hanya ada tujuh instrumen gamelan, yakni saron, bonang, demung, kenong, robuk, kendang, dan gong). dan keselarasan instrument hanya berdasar insting belaka, menjadikan keunikan dan kekhasan sebagai olah instuisi original. Sehingga terciptalah karakter yang dinamis dengan pakem yang khas. dan uniknya ada beberapa cerita yang tidak dipunyai oleh lakon dalam pewayangan lain seperti gaya Solo, Yogya maupun Banyumasan, seperti ; Lampahing Sutopo, Murti Serat, Semar Sepit, Semar cukur, dll. Selain itu yang menjadi semakin terasa kekhasannya dari wayang ini adalah dari ketiadaan Sinden  dan juga dalam bentuk peperangan yang seadanya saja. Dalam masalah ketiadaan Sinden memang sesuatu yang tetap dijaga sesuai dengan sejarah penciptaannya yang saat itu belum ada Sinden, sehingga sampai sekarang pun penampilan wayang Otok Obrol hanya dalang sebagai actor utama, karna para Niaganya hanya murni memainkan music pengiring, namun dalam pementasan wayang kedu lainnya salah seorang Niaga kadang merangkap menjadi sinden juga.


Secara fisik bahan kulit untuk Wayang terbuat dari kulit Lembu, dengan berbentuk tokoh  besar-besar, gemuk dan lebih bungkuk
(muka lebih menunduk) daripada bentuk Wayang pada umumnya, serta rambut dan badan berhiaskan kembang. Selain menjadikan lebih berat, juga tekhnik permainan yang lebih agresif memungkinkan Wayang Kulit ini sulit untuk dimainkan, sehingga dalam pelatihannya_pun kadang memakai Wayang gaya Solo.

Tidak dipungkiri bila binaan Ki Makim Kartosudarmo sangatlah berarti bagi kelestarian wayang Otok Obrol gaya Kedu ini, namun sangat disayangkan karena Tercatat untuk daerah Wonosobo sendiri saat ini hanyatinggal ia satu-satunya Dalang yang masih hidup dan tetap  aktif memainkannya walaupun sudah berusia lanjut (lahir Tahun 1939)  “dahulu ada banyak namun semuanya sudah meninggal, seperti Mbah Warso di Prombanan, Pak Dolah di Binangun Kertek, Pak kaco di mendala, pak marto singkir, ganda wira sari, dan Mbah Arjo Pawiro yang meninggal di Tahun 1950 serta Mbah Karto Sugondo” ungkap Ki Makim.

Keunikan lain adalah Sunggingan yang mengunakan pewarna alami seperti ;

a. Warna hitam terbuat dari oyan (langês).

b. Warna merah terbuat dari bijih gêndhulak yang dijadikan tepung.

c. Warna hijau terbuat daun kara yang diambil sari warna daunnya dengan cara ditumbuk.

d. Warna kuning terbuat dari serbuk batu-batuan.

e. Warna prada terbuat dari serbuk emas.

f. Warna putih terbuat dari tepung bijih cêplikan, atau dari abu tulang kerbau.

g. Warna biru kurang bisa dijelaskan(buah pace?), sedangkan untuk warna lain merupakan pencampuran warna-warna di atas.

Dan sebagai bahan pencairnya digunakan getah pepaya muda.

Dari sisi kostum, wayang kedu ini hanya menggunakan cawat (pakaian dalam). Itu berbeda dari wayang model mataraman yang sudah menggunakan pakaian lengkap, rambut, dan badan polos, bentuk lebih kecil dan muka lebih tegak.


Yang menarik lagi bahwa dalam kelompok ini masih tersimpan tokoh wayang (Arjuna)  yang dibuat tahun 1700an, yang hanya khusus untuk acara tertentu seperti ruwatan, itupun belum tentu setahun sekali ditampilkan, kondisinya yang sudah mulai rusak dengan sunggingan yang cukup mengagumkan menjadikan tokoh wayang ini menjadi jimat yang di keramatkan.

TAMBAHAN

Tatahan yang terdapat pada wayang kulit gaya Kedu ini pada dasarnya sama dengan tatahan wayang kulit di Jawa pada umumnya. Secara tekhnis perbedaan itu terletak pada bentuk tatahan yang dihasilkan dengan peralatan yang masih sederhana. Karena alat yang digunakan untuk memahat waktu itu adalah pangot, sehingga hasil pahatannya kelihatan besar-besar. Jika dilihat dari bentuk fisik, wayang kulit gaya Kedu lebih cenderung dekat dengan gaya Yogyakarta, namun bentuk dan susunan tatahan yang diterapkan lebih banyak kesamaannya dengan gaya Surakarta, hanya saja tatahan gaya Kedu jenisnya tidak selengkap seperti pada gaya Surakarta. Sebagai contoh corak tatahan seperti bubuk manis pipil, intênan pipil, srunèn pipil tidak ditemui pada wayang kulit gaya Kedu. Selain itu belum banyak penerapan dan perlengkapan busana wayang.

Sunggingan adalah hasil pewarnaan pada wayang kulit. Pengerjaan sunggingan dan pewarnaan belum halus dan rapi. Sunggingan byor (gradasi warna) pada perpindahan tingkatan warnanya sangat tegas, sebab sebagian besar bentuk sunggingan byor hanya terdiri dari dua tingkatan saja, bahkan ada bidang yang seharusnya dibyor hanya disungging polos dengan satu warna (tidak bergradasi). Pada wayang kulit gaya Kedu tidak ada unsur sunggingan drênjêman dan cawèn. Menurut para pengamat dan ahli wayang, bahwa wayang kulit yang tidak memiliki drênjêman dan cawèn menandakan wayang tersebut berusia tua. Hal ini menegaskan secara fisik wayang gaya Kedu lebih tua dari pada gaya Yogyakarta maupun Surakarta.

Perlengkapan Pentas

1.Gawangan dan Kêlir

Gawangan adalah sarana untuk membentangkan kêlir yang terbuat dari kayu atau bambu. Pada masa dahulu gawangan dipersiapkan secara mendadak. Ini dapat dimengerti, karena pertunjukkan wayang pada masa-masa itu masih sederhana, serta perlengkapan pembuatan gawangan mudah di dapat di setiap tempat. Berbeda dengan pertunjukkan wayang masa sekarang yang segalanya telah dipersiapkan matang-matang, sehingga gawangan banyak yang bersifat permanen. Ukuran gawangan, panjang kurang lebih 3 meter dan tingginya 2,5 meter. Ukuran ini disesuaikan dengan ukuran pintu gêbyog perumahan zaman dahulu. Kêlir atau layarterbuat dari kain blaco berwarna putih dengan ukuran menyesuaikan ukuran gawangan, bagian tepi kêlir diberi kain berwarna merah atau hitam selebar kira-kira 20 cm sebagai pasitèn dan pêlangitan. Penerapannya kêlir direntangkan pada gawangan. Di bawahnya dibujurkan gêdêbog yang disusun sedemikian rupa untuk menancapkan wayang. Penataan semcam ini dalam tradisi pedalangan disebut panggungan.

2.Bléncong

Bléncong yaitu sebuah lampu berbentuk seperti cèrèt terbuat dari bahan kuningan dengan sumbu benang lawé, dan untuk bahan bakar digunakan minyak kelapa. Bléncong ini digantungkan, diatur sedemikian rupa sehingga posisinya berada di antara dalang dan kêlir. Selain untuk alat penerangan, cahaya bléncong diarahkan menuju kêlir sehingga wayang yang dimainkan dalang jika dilihat dari balik kêlir akan menghasilkan suatu pertunjukan bayangan. Pada masa sekarang nyala api bléncong telah digantikan oleh lampu listrik.

3.Kothak

Kothak adalah kotak penyimpanan wayang terbuat dari kayu. Ada beberapa jenis kayu yang dianggap memiliki kualitas bagus untuk kotak wayang. Kualitas ini berdasarkan kekuatan kayu dan suara yang dihasilkan ketika kotak dipukul dengan cêmpala. Jenis kayu ideal yang memenuhi standar adalah kayu surèn dan nangka. Ukuran kotak kira-kira panjang 2 meter, lebar 0,75 meter dan tinggi 0,5 meter. Dalam pertunjukan kothak ini diletakkan di sisi kiri dalang, sedangkan tutupnya diletakkan di sisi kanan. Wayang-wayang yang akan digunakan dalam pementasan diletakkan dalam kothak dan di atas tutup kothak.

4.Cêmpala dan Kêprak

Cêmpala adalah alat yang digunakan dalang untuk memukul kothak. Cêmpala dibuat dari bahan kayu, tanduk atau besi sebanyak dua buah. Satu untuk cêmpala tangan yang lain untuk cêmpala kaki. Cêmpala tangan lebih besar dari pada cêmpala kaki. Cêmpala tangan digunakan untuk platukan, cêmpala kaki untuk memukul kotak dan kêprak. Kêprak terbuat dari bahan baja atau kuningan berjumlah tiga keping. Kedua alat ini dimainkan oleh dalang untuk mendukung suasana adegan pada pakêliran.

5.Ricikan Gamêlan

Gamêlan yang digunakan sebagai iringan, yatiu satu perangkat gamêlan Laras Sléndro dengan instrumen sejumlah 14 buah, yaitu sebuah kêndhang, gambang, rêbab, dêmung, saron, bonang barung, bonang pênêrus, slênthêm, gong laras nêm, kêmpul laras nêm, kêthuk, kênong laras nêm, kêcèr, dan suling. Keempatbelas instrumen tersebut dimainkan oleh sebelas orang pêngrawit, masing-masing memainkan satu instrumen. Tiga orang pêngrawit masing memainkan dua instrumen, yaitu gong laras nêm dan kêmpul laras nêm, kêthuk dan kênong, serta kêcèr dan suling.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun