Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelaah Kampanye Hitam dalam Pilpres 2014: Sudahkah Sebagai Muslim, Kita Menebarkan Kesejukan dan Kedamaian?

9 Mei 2014   22:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:40 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih ingat video SARA mantan Gubernur, Fauzi Bowo (FB) pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta putaran ke-2 pada tahun 2012 yang lalu? Meski sudah melakukan berbagai upaya untuk menjegal Joko Widodo (Jokowi) supaya tidak terpilih pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta putaran ke-2, termasuk dengan “mengusir” secara halus warga Solo (& Jawa pada umumnya, seperti terekam dalam video tersebut), jika tidak memilih pasangan FB, maka dipersilahkan untuk kembali pulang ke Solo, jangan lagi mendiami Kota Jakarta. Masih ingatkah juga, “khutbah & ceramah politik SARA” yang dilakukan oleh Rhoma Irama yang menyebarkan berita bohong dan fitnah tentang ke-Islaman orangtua Jokowi? Dan mungkin masih banyak lagi bentuk kampanye hitam yang ditujukan kepada pasangan calon gubernur DKI Jakarta pada pilkada putaran ke-2 waktu itu. Semua bentuk kampanye hitam tersebut bertujuan agar pasangan Jokowi-Ahok tidak terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Namun, rupanya semua serangan tersebut tidak memberikan dampak terhadap tingkat keterpilihan Jokowi-Ahok, yang pada akhirnya keduanya memenangkan pertarungan pada putaran ke-2 Pilkada DKI Jakarta.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk “membela” salah satu bakal calon presiden (bacapres) dan atau bacapres lainnya pada Pilpres yang akan datang, tetapi bertujuan memberikan gambaran bagaimana pentingnya bersaing secara sehat, elegan, dan bertanggung jawab dalam sebuah kompetisi dan konstestasi politik. Bahwa kalah dan menang adalah sesuatu yang wajar dalam sebuah kompetisi. Tidak karena keinginan untuk memenangkan sebuah kompetisi & kontestasi politik, membuat rasionalitas dan empati kita menjadi terkubur dan hilang. Jika kondisi “gelap mata” ingin menang, mendorong seorang melakukan apa saja dengan menghalalkan segala cara, maka hal itu mengindikasikan insting kemanusiaan yang adil dan beradab menguap entah ke mana, dan berganti wujud menjadi insting hewaniah yang buas, menyeruduk ke mana saja, tanpa menyadari hal itu dapat menjadi bumerang, bisa berbalik arah menyerang dirinya.

Black Campaign

Jika kita mengikuti berita (politik), baik melalui media massa cetak, media elektronik, maupun media online, serta media sosial, maka cerita tentang intrik politik adalah sebuah keniscayaan. Dalam berita intrik politik tersebut dibumbui dengan isu-isu berbau fitnah menghiasi agar terkesan menarik dan mendorong rasa ingin tahu. Berlindung di balik rasa ingin tahu (manusia), maka berbagai media (baik cetak, elektronik, maupun online, serta media sosial) seakan berlomba menyajikan berita berupa fakta, ilusi, maupun igauan. Dan hari-hari ini, sejak pemilu legislatif dan menjelang pemilu presiden (pilpres), serangan terhadap semua bacapres, semakin intensif digencarkan oleh lawan politik.

Dalam kondisi “pancaroba” seperti itu, maka dapat dipahami bahwa masing-masing bacapres dan pendukungnya berusaha dengan berbagai cara (termasuk cara-cara insting hewaniah) ditempuh untuk melumpuhkan lawan politiknya. Maka bersileweranlah berita-berita bohong dan isu SARA menyeruak ke permukaan. Anehnya, berita-berita bohong yang mengandalkan insting hewaniah tersebut menjadi santapan yang sangat ditunggu-tunggu. Lebih parah lagi, berita-berita bohong berisi isu SARA itu langsung dikonsumsi oleh “kaum terdidik” tanpa melakukan klarifikasi, filterisasi, dan kroscek melalui mekanisme check and balance, secara memadai untuk menilai dan memverifikasi keabsahan isu tersebut.   Lebih celaka lagi, semua isu yang belum tentu mengandung kebenaran itu, kemudian di-blow-up dan disebarkan (di-share) melalui media sosial facebook, dan twiter, meski dibungkus dengan pernyataan “sedang mengumpulkan informasi”.

Salah satu bacapres yang paling gencar mendapat serangan black campaign, adalah bacapres dari PDIP. Lawan politik seakan berlomba-lomba untuk “menguliti” bacapres PDIP tersebut, mulai dari visi misinya, orientasi politiknya, prestasi-prestasinya, kehidupan keagamaannya, kehidupan pribadi dan keluarga, sampai kepada asal keturunannya, tanpa ada rasa risih, bahwa apa yang dilakukannya itu hanya menggambarkan insting hewaniah semata, mengabaikan rasionalitas kemanusiaan yang adil dan beradab.  Tanpa disadari, model-model kampanye seperti ini tidak memberi pendidikan politik yang baik terhadap pencerahan kehidupan rakyat. Yang ada hanya menciptakan sikap dendam kesumat dan antipati tanpa ujung.

Serangan-serangan “membabi buta” terhadap orang nomor satu DKI Jakarta, mulai semakin intensif dan gencar sejak ia menyatakan dan men-declare kesediaannya menjadi bacapres PDIP. Yang paling menohok perasaan publik, ketika seorang bacapres dari partai politik lain, karena merasa “dikhianati” melakukan serangan dengan mengeluarkan pernyataan dalam kampanye politik pada pileg lalu, “jangan memilih capres boneka (entah boneka dari mana, dari India kali?)”, “jangan pilih capres yang menla mencle”, “boleh bohong, asal santun”, dan jenis-jenis pernyataan “kasar” lainnya. Serasa belum cukup dengan serangan tersebut karena kurang memberi efek, maka berlomba-lomba pula, baik kolega-kolega bacapres yang bersangkutan, para pendukung, maupun para volunteer, ikut berkampnye ria menyebarkan berita bohong dan fitnah, mulai dari isu politik sampai kepada isu SARA. Salah satu isu SARA yang sudah pernah dilontarkan oleh Rhoma Irama, kemudian didaur ulang, yakni isu tentang agama bacapres PDIP.  Merasa kurang mendapat respon publik terhadap isu agama, kembali dilempar isu asal usul keturunan. Media-media yang mem-blow up bacapres PDIP sebagai keturunan etnis China adalah media-media yang menggunakan label Islam. Inilah ironi, bahkan mungkin anomali dari nilai-nilai Islam yang agung, yang mengajarkan tentang kesejukan dan kedamaian, malah dikotori oleh oknum-oknum umat yang phobia terhadap kelompok lain, yang ternyata juga termasuk umat sendiri.

Ketika tadi siang, saya mengikuti khutbah Jumat di salah satu Masjid di Kota Makassar, dalam sebuah pernyataan khutbahnya, khatib menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW dihadirkan ke dunia ini sebagai rahmatan lilalaamien. Lebih jauh, sang khatib mengatakan, bahwa sebagai muslim, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, harus menebarkan kesejukan dan kedamaian sebagai rahmatan lilalaamien, sedangkan kaum kafir selalu ingin menebarkan kebencian dan kedengkian. Sayangnya, nilai-nilai agung nan-ideal dari Islam, kurang bisa diinternalisasikan dan diimplementasikan oleh umat Islam sendiri. Hanya karena seseorang warga negara yang memiliki hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan karena itu dicalonkan oleh partai di mana ia bernaung menjadi salah satu bacapres, mendapat resistensi. Agar resistensi menjadi masif, maka disebarlah “kebencian dan kedengkian” melalui berita-berita dan isu-isu bohong dan fitnah. Jika sudah demikian, masih layakkah kita mengklaim diri sebagai Islam sejati? Pertanyaan lanjutnya adalah, apakah kita sebagai muslim, masihkah berada pada posisi menebarkan kesejukan dan kedamaian atau berada pada menebarkan kebencian dan kedengkian?.

Resistensi Menduduki Kursi RI-1

Masih ingat suasana Pilpres pada 1999? Pada tahun itu, pemenang pemilu legislatif (pileg) adalah PDIP. Karena memenangkan pileg, maka wajar kemudian di kalangan PDIP merasa lebih berhak dan secara fatsoen politik mestinya PDIP-lah yang memimpin pemerintahan pada periode 1999-2004. Akan tetapi, fakta politiknya berbicara lain, di mana melalui akrobatik politik ala Amien Rais, sehingga yang  keluar sebagai pemenang untuk menahkodai RI-1 pada saat itu, adalah Abdurrahman Wahid, Gus Dur.

Kekalahan Megawati untuk menuju RI-1 pada 1999 bukan hanya semata karena kalah suara pada pemilihan di MPR waktu itu, tetapi bila ditelusuri lebih jauh, ternyata akarnya bermula pada penolakan sebagian umat Islam terhadap kepemimpinan wanita. Pada sebagian umat Islam masih tertanam cukup kuat pemahaman bahwa seorang wanita “tidak dibolehkan” menjadi imam (baca: pemimpin) negara. Kondisi “ketidaktahuan” umat ini kemudian dieksploitasi secara masif oleh para elit dan kaum oportunis, dengan memanfaatkan mimbar-mimbar masjid, surau, mushallah, dan lain-lain, dan juga media massa untuk menolak kepemimpinan wanita. Ujung dari cerita tersebut seperti sudah kita ma’fum, Megawati kemudian tidak terpilih menjadi RI-1, dikalahkan oleh Gus Dur, setelah melalui akrobatik politik ala Amien Rais dengan membentuk poros tengah, dan mencalonkan Gus Dur sbagai RI-1. Sayangnya, sikap politik dengan memanfaatkan kelemahan pemahaman umat, selang tidak lebih dari tiga tahun, Gus Dur, harus tergusur dari singgasana empuk RI-1, karena dilengserkan oleh MPR, yang dikomandani oleh Amien Rais. Dan ibarat “menjilat ludah sendiri”, mayoritas anggota MPR (tentu saja mayoritas mengaku muslim) malah kemudian memilih Megawati sebagai presiden untuk menggantikan Gus Dur. Logikanya, jika sebagai muslim, maka harus istiqamah, untuk tetap mempertahankan “prinsip” bahwa wanita dilarang menjadi imam (baca: pemimpin). Bukankah ini menunjukkan inkonsistensi dalam “beragama”?

Kemudian dikembangkan pula isu, bahwa ketika Jokowi mendeklarasikan pencapresannya, didahului pertemuannya dengan para pengusaha. Publik harus paham bahwa memilih Jokowi sama saja dengan memilih Megawati. Wujudnya saja yang beda,". Saya mau tanya, sejak kapan seorang tokoh, yang kebetulan menjadi bacapres, bertemu dengan (para) pengusaha menjadi sesuatu yang HARAM? Atau hanya karena bacapres tersebut kebetulan bernama Jokowi, sementara kalau bacapres yang lain bertemu pengusaha, status hukumnya menjadi halal? Apakah kita sdh menafikkan bahwa utk melakukan gerak pembangunan suatu bangsa kita juga membutuhkan para pengusaha sebagai salah satu soko guru ekonomi?

Rupanya pola yang sama ingin diadopsi untuk menolak bacapres yang di-daclare oleh PDIP, Jokowi. Rupanya masih banyak elit terdidik dari negeri ini, tak terkecuali elit terdidik Islam, masih menganggap bahwa umat Islam masih “bodoh” sehingga mudah dibodoh-bodohi, dan diekploitasi untuk kepentingan politik sesaat. Maka ditebarlah berita-berita provokatif penuh agitasi untuk mensugesti pemahaman umat, agar bersikap resisten terhadap calon, yang menurut mereka “tidak jelas” asal usul keturunan dan agamanya. Bahkan lebih jauh, ada yang dengan sesumbar mengatakan, bahwa bila bacapres PDIP yang akan terpilih nanti di Pilpres yang akan datang, maka itu merupakan penghinaan, dengan alasan bahwa Jokowi keturunan etnis China. Duh, sangat naif dan latah pola pikir seperti itu. Pertanyaannya adalah, apakah juga dianggap sebagai sebuah penghinaan, jika sebagai misal seorang Anies Baswedan, yang sekarang sedang mengikuti konvensi capres Partai Demokrat dan kalau terpilih dan dicapreskan? Mengingat asal keturunan seorang Anies Baswedan adalah warga negara RI keturunan Arab? Ataukah sikap kita menjadi ambivalen, bias, dan menggunakan standar ganda, yang keturunan Arab dibolehkan, hanya karena Arab identik dengan Islam?

Tidak cukup sampai di situ, serangan juga diarahkan dengan mendaur ulang isu lama yang sudah basi, tentang program kristenisasi. Setahu saya, Isu kristenisasi awalnya dihembuskan pada pemerintahan masa Orde Baru (Orba), ketika seorang Jenderal Beny Moerdani dan Mantan Pangkopkamtib Sudomo mendapat tempat dalam kekuasaan di Era Orba. Isu kristenisasi ini kemudian dikemas ulang dan di-blow up, dengan mengatakan bahwa bila bacapres PDIP yang akan terpilih, maka Indonesia akan mengalami kristenisasi. Padahal faktanya, Indonesia adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sayangnya, berita-berita provokatif penuh agitasi tersebut ternyata mendapat counter attack, maka terbukalah kedok kebohongan dan fitnah itu.

Kampanye Elegan dan Smart

Bahwa setiap partai politik, dan juga para pendukung berhak mendukung bacapres yang disukai, & boleh-boleh & sah-sah saja menjadi "volunteer" berkampanye mendukung bacapres yang didukung tersebut. Tapi, apapun bentuk dukungan kita terhadap calon yg kita sukai, baik melalui kampanye maupun cara lain via media apapun, harusdilakukan dengan cara-cara yang elegan, smart, & santun, sehingga dapat menarik simpati & mempengaruhi orang lain untuk juga mendukung calon yang kita sukai & unggulkan. Misalnya dengan mewacanakan & mengangkat isu-isu yang lebih kreatif dengan menonjolkan kelebihan dari sisi-sisi positif & nilai-nilai yg dianggap "unggul" dari capres yang kita sukai, dibandingkan dengan capres-capres lain, dari pada mencari-cari kesalahan dan secara "mbabi-buta" menyerang secara agresif dan ofensif (sementara capres yang diserang tidak memberi respon reaktif yang berlebihan, bahkan cenderung defensif), dengan mendiskreditkan, menjelek-jelekkan, apalagi kampanye dengan mengutip berita media yang sangat tendensius & lebih banyak berisi fitnah dengan menggunakan kata-kata yang cenderung merendahkan capres tertentu (yang sangat boleh jadi sangat jauh dari perkiraan kita karena lebih banyak mengandung unsur su'udzon "prasangka buruk" yang kurang memiliki landasan argumentasi yg kuat). Janganlah karena ketidaksetujuan, tepatnya mungkin "kebencian" kita pada calon tertentu membuat kita harus kehilangan rasionalitas dan empati sebagai kaum terpelajar. Jadi, bersikap fair & proporsionallah, tidak perlu mendukung secara berlebihan, karena itu nanti terkesan kebablasan, yang menunjukkan kepanikan, akhirnya bukan simpati yang diperoleh, malah antipati yang dituai.

Dengan bersikap seperti itu, mudah-mudahan Islam sebagai rahmatan lilalaamien dapat mengejawantah dalam kehidupan riil umat Islam, yang akan menghadirkan kesejukan dan kedamaian, bukan kebencian dan kedengkian. Wallua'alambissawaab.

Makassar, 09 Mei 2014

eN-Te

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun