Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok, Ada Apa dengan Pemukiman di Belakang Glodok?

26 Agustus 2016   14:12 Diperbarui: 26 Agustus 2016   14:24 2507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : eN-Te

Tadi pagi, sekitar pukul 09.00 – 10.00 Wita, kantor kami kedatangan tamu dari Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Ada dua orang tamu itu. Mereka berdua hadir di kantor kami, yang merupakan instansi vertikal sebagai unit pelaksana teknis pusat (UPTP) di daerah (provinsi) di bawah naungan Kemdikbud dalam rangka kegiatan monitoring dan evaluasi (Monev).

Saya yang kebetulan merupakan salah seorang staf yang ditunjuk sebagai  satuan pengendali internal dipanggil untuk bertemu dengan tim monev itu. Ketika saya datang, sudah ada beberapa teman yang lainnya bertemu dan menemani ngobrol tim monev di ruang tamu (loby) kantor. Saya pun ikut “bergabung” dalam obrolan itu. Tentu saja setelah semua urusan berkaitan dengan kegiatan monev selesai.

Lazimnya bila ada tim monev yang akan melakukan monitoring dan evaluasi maka ada perangkat kelengkapan yang mereka bawa. Dan biasanya salah satu perangkat wajib itu adalah instrumen monev.

Saya tidak sempat melihat isi dan pertanyaan dalam instrumen monev berupa angket itu. Lagi pula, saya tidak diminta untuk turut mengisi angket monev tersebut. Jadi, saya tidak terlalu pusing untuk memikirkan apa “jawaban” yang harus saya pilih sesuai dengan opsi setiap pertanyaan yang dimunculkan dalam angket itu.

Instrumen monev berupa angket harus diisi oleh unit-unit terkait sesuai dengan tujuan untuk menjaring data apa yang ingin diperoleh. Rupanya ketika saya tiba, instrumen itu sudah dibagi ke unit-unit terkait untuk memperoleh data yang diperlukan sesuai tujuan mendapatkan data. Dan sebagian besar yang mewakili untuk mengisi instrumen monev itu sudah mengembalikan kepada tim monev. Itu berarti instrumen itu telah diisi oleh perwakilan unit terkait.

Setelah semua instrumen monev telah diisi dan dikembalikan kepada tim, maka kami pun terlibat pembicaraan tentang berbagai hal. Tak luput pula membicarakan perkembangan dan atmosfir politik  ibukota negeri, Jakarta. Otomatis, mau tidak mau, suka tidak suka, dan sengaja tidak sengaja, harus pula menyinggung sang gubernur fenomenal, si  Ahok “kapir”.

Mengapa menyinggung pula Ahok? Karena tamu, tim monev yang hadir itu datang dari Jakarta. Dan sudah pasti sangat tahu isu terkini dan perkembangan terakhir mengenai kondisi sosial dan atmofsir politik ibukota. Maka tidak afdhol rasanya bila tidak menyinggung isu politik dalam berbasa-basi dengan tim monev di luar konteks dan konten monev yang sedang mereka jalankan. Istilah kata, mereka merupakan sumber pertama untuk mendapatkan dan mengecek informasi, dan hampir pasti informasi yang diberikan mungkin valid, sehingga rasanya sia-sia bila tidak mengorek informasi tentang Jakarta dari mereka, termasuk berkaitan dengan kebijakan penggusuran.

Seorang teman yang hadir dan ikut menemani tim monev tadi berujar ketika mendengar kata penggusuran. Teman itu mengatakan bahwa, sebelum Ahok berkuasa, Jakarta dipimpin oleh Gubernur berlatar belakang militer. Hampir semuanya berpangkat Jenderal bintang 3 – 4, tapi sayang tidak ada yang berani melakukan penggusuran seperti fenomena Ahok. Bagi teman itu, Ahok “terpaksa” melakukan itu karena ia hanya ketiban pulung.

Dari pembicaraan basa basi tentang perkembangan sosial politik kekekinian Jakarta, ada satu pernyataan dari salah satu tim monev itu yang membuat saya sedikit “terkesan”. Apa itu? Yakni pernyataan bahwa, dari semua pemukiman kumuh yang telah digusur Ahok, hanya satu tempat yang tidak dapat digusur Ahok, yakni belakang Glodok Plaza. Mengapa demikian?

Karena Ahok takut, kata tim monev itu”. Ahok  takut dan tidak berani menggusur di belakang Glodok Plaza, karena sperti kita tahu, sebagian besar warga di belakang Glodok Plaza itu merupakan warga keturunan Tionghoa (China). Karena sebagian besar warga di belakang Glodok Plaza merupakan warga keturunan China, itu berarti beretnis sama dengan Ahok, sehingga sang gubernur tidak tega menggusur mereka. Sementara di tempat lain yang telah digusur itu, hampir semuanya tidak ada yang beretnis China.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun