Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Duh, Gelapnya Ice “Sianida” Coffee Vietnam!

15 September 2016   13:00 Diperbarui: 15 September 2016   21:03 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin (Mirna) telah memasuki episode ke-20 kemarin (Rabu, 14/9/2016). Ada dua orang saksi dihadirkan untuk didengarkan kesaksiannya berdasarkan keahlian mereka pada episode ke-20 itu. Satu orang merupakan ahli toksikologi kimia (lingkungan), yakni Dr. Budiawan dari Universitas Indonesia (UI). Sedangkan ahli yang lainnya, adalah Dr. Gatot Susilo Lawrence dari Univerisitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Dr. Gatot merupakan ahli patologi forensik.

Kedua ahli telah memberikan kesaksian menurut keahliannya masing-masing. Meski demikian, sampai kedua ahli tersebut didengarkan kesaksiannya dan memberikan pendapatnya menurut keahlian mereka, tapi hal itu belum cukup signifikan memberi kontribusi untuk menguak kasus ini menjadi terang-benderang. Malah ada kesan semakin memunculkan spekulasi liar. Tabir gelap masih saja menyelimuti, sama seperti warna asli kopi, hitam pekat.

Karena itu, sampai dengan episode ke-20 dari sidang Ice “Sianida” Coffee selesai, belum cukup membantu menguak tabir gelap yang menyelimuti kasus tersebut. Padahal, kasus ini sudah berlangsung sejak sembilan bulan lalu.

Sembilan bulan sudah sinetron Ice “Sianida” Coffee yang diplot dalam alur cerita penggalan episode demi episode. Episode perdana dibuka pada 15 Juni 2016. Kemudian berlanjut dengan episode-episode berikutnya hingga episode ke-20. Sejak episode perdana hingga episode ke-20 kemarin, sinetron Ice “Sianida” Coffee ini selalu saja menghadirkan drama yang menggelikan.

Sampai dengan episode ke-20 kemarin pun tak luput dari hiruk-pikuk. Hiruk-pikuk yang menggambarkan bahwa menguak misteri keberadaan si racun sianida tidak seperti membalik telapak tangan. Benar-benar si racun sianida itu misterius. Ia sangat lihai menyembunyikan diri sehingga para ahli kebingungan menebak dan menentukan keberadaannya.

Bagaimana tidak bingung? Masing-masing ahli, baik yang didatangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun Penasehat Hukum (PH), seakan hadir mewakili kepentingan siapa yang megundang mereka. Ahli yang hadir sebagai saksi ahli yang diundang JPU cenderung “membela dan membenarkan” dakwaan JPU. Sebaliknya, ahli yag didatangkan PH juga bersikap sama, cenderung “membela dan membenarkan” sikap PH untuk mementahkan argumen ahli JPU.

Para ahli dalam sinetron Ice “Sianida” Coffee ini seakan kehilangan independensinya. Padahal, sebagai ahli ia seharusnya dapat melepaskan dirinya dari kemungkinan “dikooptasi” oleh siapa pun. Ia berbicara berdasarkan kompetensi keahliannya dan harus bersikap obyektif-independen dalam menyampaikan pendapatnya.

Sayangnya sampai dengan sidang ke-20 kemarin, kondisi ideal itu masih jauh dari harapan dalam menemukan kebenaran guna menegakkan keadilan untuk semua. Asa itu sempat muncul ketika ahli kedua dihadirkan dalam sidang pada episode ke-20 tadi malam.

Kehadiran ahli patologi forensik dari Makassar sempat menyembulkan harapan. Apalagi sejak awal Dr. Gatot sesumbar mengatakan bahwa kehadirannya di dalam sidang untuk membela dan menegakkan (sebuah) kebenaran. Tidak untuk kepentingan memberi kesaksian membela (baca meringankan) kepentingan terdakwa. Tidak juga hadir untuk menambah semakin semarak warna-warni pendapat ahli yang tidak saja berbeda, tapi juga saling berseberangan.

Bukan saja berkaitan dengan keahliannya, tapi hal itu terlihat dari sikapnya yang energik dan sangat atraktif. Bahkan ketika menyampaikan paparannya dan mencoba menguraikan benang kusut kasus es kopi maut ini, sikapnya begitu impresif. Tipikal karakter Bugis-Makassar sangat terlihat dari “pesona” Dr. Gatot.

Sejak awal Dr. Gatot berusaha memosisikan dirinya sebagai ahli yang benar-benar netral. Melihat dan menganalisis kasus ini secara obyektif dan kemudian memberikan penilaian berdasarkan kompetensi keahliannya. Sehingga dalam setiap pernyataannya, ia selalu menyebut apa yang disampaikan ini sebagai “dunia yang mengatakan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun