Mohon tunggu...
Emil Bachtiar
Emil Bachtiar Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sharing tanpa Pamrih, Mungkinkah?

23 September 2010   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya teringat kembali tulisan status dari Goenawan Mohamad di Facebook yang pada intinya, kalau tidak salah, tentang kekaguman kepada semangat berbagi di internet. Kekaguman ini bersumber dari ditemukannya sebuah puisi lama yang dicarinya. Penemuan ini tentunya akibat ada seseorang yang telah berbagi puisi tersebut. Kita semua yang terbiasa menggunakan internet tentunya sudah merasakan nikmatnya menemukan sesuatu dengan bantuan google, termasuk menemukan teman lama dan saling bersilaturahim melalui facebook, dan berbagai manfaat lainnya.

Saya sendiri sejak bulan puasa yang lalu sering sharing ayat-ayat Al Quran yang kebetulan saya temui dan saya suka di halaman facebook saya. Niatan awalnya sekedar berbagi, yang mungkin bermanfaat bagi teman-teman saya sebagaimana saya mendapatkan inspirasi dari ayat-ayat tersebut. Belakangan ini setiap saya menuliskan ayat baru, status saya mendapatkan jempol dan tanggapan yang cukup banyak dari teman-teman saya. Awalnya tentunya saya bahagia karena banyak yang menyukai status saya. Apalagi, sebetulnya tidak saya sendiri yang melakukan sharing ayat-ayat Al Quran, tapi tidak semuanya mendapatkan sambutan seperti yang saya terima. Saya merasa bangga pilihan ayat-ayat saya disukai. Saya jadi bolak balik mendatangi facebook untuk mengecek sudah berapa banyak jempol yang saya peroleh. Di sinilah saya mulai merasakan perubahan dari niat saya yang sekedar berbagi menjadi mengumpulkan jempol (pujian) untuk memperoleh pengakuan bahwa saya hebat dalam memilih ayat-ayat.

Ada suatu masa saya senang mengunjungi multiply.com, karena banyak orang yang berbagi koleksi musik-musik jadulnya yang sudah dirip dari media kaset menjadi file mp3. Awalnya cukup mudah untuk dapat mendownload file-file tersebut, tapi belakangan akses hanya diberikan kepada jaringan teman, dan untuk dapat diterima ke dalam jaringan, kebanyakan orang mengharap kita juga memiliki file untuk dishare, karena mereka tidak sekedar membagi tapi juga berharap dibagi. Memang ada sebagian yang begitu bermurah hatinya untuk berbagi, tapi mereka sepertinya berharap ucapan terima kasih atau penghargaan atas kemurahan hatinya. Belakangan setelah kunjungan berkurang akibat kehadiran facebook, mereka juga sudah tidak terlalu semangat untuk berbagi.

Saya awalnya menulis di kompasiana ini juga dengan harapan bahwa tulisan-tulisan saya banyak dibaca orang. Kompasiana merupakan pilihan yang paling tepat karena memberikan ukuran jumlah orang yang telah mengunjungi tulisan kita. Saya mencoba menulis dengan hati-hati, mengalokasikan waktu yang cukup untuk melakukan riset kecil-kecilan, mencari sumber data dan sumber bacaan pendukung. Dengan tekun saya mencoba mengikuti kiat-kiat yang dibagikan oleh penulis lainnya, seperti pemilihan judul yang tepat, konsistensi, blogwalking, dan memperbaiki cara penulisan. Ada tulisan yang berhasil, namun lebih banyak juga yang gagal menarik pembaca dan tidak ada yang spektakuler. Belakangan ini saya malah mulai membuat tulisan-tulisan yang “agak sembarangan” yang ditulis dengan cepat, karena tulisan-tulisan yang dibuat dengan pengorbanan waktu yang lebih lama dan data-data yang lebih akurat juga tidak mempengaruhi jumlah pembaca. Artinya saya mulai melakukan hitung-hitungan ekonomi pada saat ingin membagi tulisan saya.

Kata sharing sendiri, saya coba cari di online dictionary, memiliki beberapa arti, misalnya secara bersama-sama menggunakan satu sarana yang sama, atau berbagi beban yang sama. Mungkin makna ini yang digunakan oleh Kompasiana ketika memilih istilah sharing. Ketika saya membaca status Goenawan Mohamad, maka arti sharing yang ada dalam pikiran saya adalah unselfishly willing to share with others. Kata unselfishly bagi saya berarti suatu ketulusan atau keikhlasan ketika berbagi, tanpa pamrih. Di dalam konteks tersebut, sebetulnya kata sharing tidak tepat digabung dengan kata pamrih.

Mungkinkah sharing dilakukan tanpa pamrih? Bagi saya pribadi, di dalam dunia yang lebih nyata saja, berbagai kebaikan yang saya coba buat, misalnya memberikan senyum disertai pamrih untuk dibalas dengan senyuman. Memberikan jalan kepada mobil yang ingin berbelok atau orang yang menyeberang disertai harapan agar saya juga diberikan jalan pada saat membutuhkan. Bekerja keras dan bekerja sebaik-baiknya dengan harapan memperoleh penghargaan, pujian maupun kenaikan pangkat. Mendermakan sebagian harta dengan harapan memperoleh pahala ataupun rezki. Pada akhirnya seluruh kegiatan yang saya  lakukan berkisar di kepentingan diri sendiri, yang tertinggi mungkin pahala sebagai bekal untuk masuk surga akhirat, kemudian harta kekayaan, kekuasaan, kemashuran dan lain-lain sebagai bekal masuk surga dunia. Semua yang terjadi di dunia yang lebih nyata rasanya juga terwujud di dunia yang lebih maya.

Mungkinkah sharing tanpa pamrih? Saya rasa mungkin dan banyak dilakukan oleh teman-teman. Karena itu dikenal istilah “tulus dan ikhlas” dalam kosa kata di berbagai bahasa. Permasalahannya bagi saya pribadi, sharing tanpa pamrih benar-benar membutuhkan perjuangan yang sangat besar. Saya masih berusaha untuk mencari ketulusan dan keikhlasan dalam diri saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun