Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Administrasi - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Admin Kompasiana Enggak Independen?

17 Maret 2015   01:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:33 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_403356" align="aligncenter" width="300" caption="(sbr gbr: Portal Kompasiana)"][/caption]

Saya ingin mengulangi lagi, hipotesa saya, baik Kompas dan ‘anak’nya cenderung pro Ahok dan Jokowi berdasarkan pilihan headline, trending topic, dan featured article.

Admin Kompasiana menulis “Di Balik Pelemahan Rupiah” dan melampirkan keterangan Menkeu, bahwa kondisi perekonemian dalam negeri masih sagat terkendali, APBN pun tidak terganggu. Admin juga melampirkan asumsi pro dan kontra terhadap melemahnya rupiah. Kemudian admin berharap kemunculan artikel-artikel dengan tag rupiahmelemah. Beberapa jam kemudian munculah sejumlah artikel terkait depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Rupiah menguat dikaitkan dengan reputasi Jokowi, rupiah melemah tak dikaitkan kebijakan Jokowi. Aneh. Seharusnya dikaitkan dengan power ekspor, SDA yang cukup dan kecukupan SDM. Secara tak langsung saya meyakini adanya kaitan dengan kesalahan sistem riba yang tak bisa dipisahkan dari fenomena inflasi. Seharusnya Jokowi membahas riba ini apa dampaknya dan meninjau Quantitative Easing untuk mengetahui kebusukan Bank Central AS dan Jepang. Quantitative Easing menunjukkan uang dicetak di luar kebiasaan (abnormal).

Berdasarkan pembacaan saya terhadap History of Money Changer saya berkesimpulan bahwa dalam perspektif Negara Maju, keuntungan dari sistem ekonomi dunia yang diteladani oleh banyak negara termasuk Indonesia saat ini, menjadikan keuntungan mengalir kepada kaum pemodal. Demikian itulah sengaja riba dipertahankan. Bahkan ada upaya moderasi kritikan akademisi, demi meminimalisir ledakan gerakan anti-riba. Bahkan Bank punya alibi dengan tujuan tunggalnya, mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Banyak yang tersihir sampai lupa bertanya tentang Bank atau tersihir dengan dolar yang sebenarnya bukan harta. Ia hanya dianggap sebagai harta. Hanya sebagai anggapan.

[caption id="attachment_403349" align="aligncenter" width="642" caption="(sbr gbr: Portal Kompasiana)"]

1426530715962341923
1426530715962341923
[/caption]



Saya meyakini menerawang pikiran admin Kompas maupun Kompasiana dapat dilakukan melaui menganalisa pemilihannya yang menjadikan artikel tertentu sebagai Headline, Trending Topic, dan Featured Article.

Trending Topic membela Ahok dan featured article-nya lebih kental lagi membela Ahok dengan melampirkan artikel lama, tahun 2013. Dalam artikel Ahok vs APKLI menuansakan dukungan kepada Ahok. Ahok dianggap tegas, sedangkan PKL dibacking oleh kepentingan golongan. Apakah sekarang manjadi lebih baik? Perhatikan gambar!

[caption id="attachment_403351" align="aligncenter" width="307" caption="(sbr gbr: Portal Kompasiana)"]

1426530803201083422
1426530803201083422
[/caption]

Dalam judul “AM Fatwa bela Ahok dan Akui Adanya Permainan DPRD” penulisnya berharap agar DPRD dan Kepala Daerah tidak boleh lagi mempermainkan anggaran rakyat. Penulisnya membela Ahok dengan alasan Ahok tegas, jujur dan berani, sementara DPRD dianggap sarangnya koruptor.

Dalam judul “Modus DPRD Selipkan Anggaran Siluman” Anggota DPRD dinyatakan mengubah isi anggaran, bila pemprov tidak setuju maka RAPBD tidak disetujui.

Saya meyakini, jika yang dikirim ke Kemendagri tidak sesuai dengan isi pembahasan, berarti, salah keduanya karena mereka ‘berdua’ lah yang membahas.

Dalam judul “Siapa Lebih Hebat Ahok atau Jokowi” penulisnya menyatakan bahwa Ahok sebagai role modele pemerintahan bersih di Jakarta dengan alasan menerapkan e-budgeting bisa menemukan anggaran siluman dengan cepat. Masalahnya sebenarnya ada di kesepakatan bersama. Kenapa tidak bersepakat? Karena keduanya mau menang. Kenapa tidak dibawa ke pengadilan? Karena pengadilan sudah dianggap tak jujur dan profesionlisme. Bahkan citra pengadilan digiring lewat opini bahwa nenek mencuri kakao dan bocah mencuri sendal jepit dihukum, sedangkan koruptor bisa selamat dari hukum. Saya sepakat, koruptor tetap koruptor dan hukumannya berat ketimbang cuma mencuri sendal jepit dan secuil buah kakao. Masalahnya adalah kalau bukan ke pengadilan ke mana lagi diproses kisruh Gubernur-DPRD DKI ini?

Setahu saya pengadilan membawa amanat profesionalisme dan kejujuran. Wajar saja ribut-ribut di media melulu. Dulu hasil pilpres diribut-ributin di media, tapi setelah keluar keputusan hukum sekarang sudah reda. Kasus LHI ribut-ribut di media, tapi setelah keluar keputusan hukum, sekarang sudah reda.

Kisruh Ahok dan Lulung (versi lain: DPRD) mestinya media yang telah mengarahkan diskusi, juga harus mengarahkan ke pengadilan. Kalau DPRD menitip anggran gaib, Ahok tinggal menskusikan. Kalau Ahok tidak ingin dititip ya tinggal didiskusikan. Kalau dianggap keculasan DPRD, silakan bantai itu DPRD di Pengadilan. Sebab apa yang sampai ke Mendagri haruslah atas kesepakatan bersama. Jadi ya salah DPRD dan salah Ahok. Karena Mendgari tahunya apa yang dikirim (RAPBD) adalah apa yang disepakati Ahok dan DPRD.

Kemudian Admin memilih judul “Ini Hasil Kerja DPRD DKI”. Saya tak menampik isinya. Saya lebih berfokus kepada kesepakatan bersama, bahkan Ketua APPSI (Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia), Limpo, menasihatkan agar Gubernur dan DPRD DKI Jakarta harus kompak. Jadi intinya salah ‘keduanya.’

Kalau saya ditanya mana yang lebih hebat Jokowi atau Ahok? Saya bingung menjawabnya karena membandingkan lingkup Jakarta dengan lingkup Indonesia itu tidak bisa dipaksakan, yang jelas saya tertarik dengan tiga poin dalam Laporan Bulanan Sosial Ekonomi Maret 2015 yang dipublikasikan BPS, pertama dan yang utama indeks kebahagian, kemudian PDB dan rasio ekspor-impor. Kenapa utama? Karena semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin tidak bahagia.

Melihat prestasi jangan asal-asalan, misal dari sisi ekspor-impor, impor indonesia Januari 2015 sebesar US$12,59 miliar atauturun 12,77 persen dibanding impor Desember 2014. Dibanding impor januari 2014 turun 15,59 persen.Melihat lemahnya power ekspor juga jangan asal-asalan, ekspor Indonesia Januari 2015 mencapai US$13,30 miliar atau turun sebesar 9,03 persen dibanding ekspor Desember 2014. Sementara bila dibanding Januari 2014 ekspor turun sebesar 8,09 persen.

PDB Indonesia triwulan IV turun sbesar 2,06 persen terhadap triwulan III-2014 (q-to-q). Pada 2014 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,02 persen. Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2014 sebesar 68,28 pada skala 0-100. Terjadi peningkatan tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia tahun 2014 sebesar 3,17 poin dibandingkan tahun 2013 dengan indeks yang hanyasebesar 65,11.

[caption id="attachment_403352" align="aligncenter" width="635" caption="(sbr gbr: Portal Kompasiana)"]

14265308951141562892
14265308951141562892
[/caption]

Setelah itu ditambah lagi dengan artikel “Rupiah 14,000/USD Masih tenangkah Pak Jokowi?” Penulisnya memprediksi The Fed (Bank sentralnya AS) akan menurunkan suku bunganya tak lama lagi karena ada konsekuensinya jika Dolar terus menguat. Jelas sudah, ia paham pula, yang melajukan dan mengrem perekonomian adalah The Fed (kalau di Indonesia ya Bank Sentralnya: BI). Suku bunga turun, biasanya berbisnis kian melaju karena orang mudah mendapatkan pinjaman uang. Untuk mengerem (mengantisipasi menumpuknya uang di segelintir orang) suku bunga diitingkatkan. Sama saja dengan menurunkan laju perbisnisan karena orang enggan meminjam uang untuk kegiatan produksi (berbisnis).

Dalam judul "Jokowi Maju Jadi Capres, Rupiah Kian Perkasa," bahwa ekonom memprediksi rupiah kembali bertenaga jika Jokowi menjadi Presiden. Saya makin tak percaya dengan yang demikian ini ketika menelaah paradigma baru pembangunan nasional sekarang tak lagi hanya hitungan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) tapi mulai berevolusi ke tujuan indikator lain yakni non-ekonomi, dikenal dengan istilah Gross National Happiness. Saya makin yakin, timbangan logislah yang melegalkan riba. Berujung pada inflasi terus terjadi. Sekarang timbangan ekonomi (GDP) tak lebih berat dari timbangan non-ekonomi (GNH) sebagai tolok ukur kesejahteraan suatu bangsa.

Sekarang rupiah melemah, Jokowi dibela. Sisi mananya yang patut dibela? Saya bukannya tidak tahu tentang tidak hanya rupiah yang melemah, mata uang lain juga demikian terhadap dolar. Saya juga bukannya tidak tahu, jika rupiah menguat, saya (warga dalam negeri) cenderung beli barang impor (misal handphone dan kalo saya pelaku importir CPO berbahagialah saya) dan dari sudut pariwisata, turis akan cenderung mampir ke Indonesia dan mengenal budaya Indonesia dan ujung-ujungnya beri keuntungan. Dan saya juga tahu, jika rupiah melemah (dolar menguat) orang AS cenderung beli barang yang diekspor Indonesia (saya belum tahu contoh barang Indonesia yang berkualitas). Kalau itu jadi standar penilaian berarti janganlah menghubungkan menguatnya rupiah dengan pencapresan dan terpilihnya jokowi jadi Presiden.

Dalam judul “Rupiah Melemah, Jokowi bandingkan dengan Era Orde Baru,” Jokowi menyatakan tanya soal makroekonomi jangan tanya ke saya.

Sebagaimana Pak Presiden bingung soal itu, saya lebih bingung lagi. Tapi yang jelas depresiasi niai tukar rupiah terhadap dolar tak bisa dijauhkan dari inflasi, jangan pura-pura tak tahu! awal bulan Maret ini saya membeli beras 20 kg dengan harga 200 ribu sedangkan awal Februari saya beli harganya 180 ribu, ini namanya inflasi. Saya meyakini akar masalah ini semua ada di salahnya sistem riba. Semoga saja ada pembahasan lebih mendalam tentang ini.

Tapi patut diapresiasi cara Pemerintah merespon fenomena ini. Menurut portal Kemenkeu, pemerintah menyiapkan paket kebijakan untuk merespon melemahnya rupiah.contoh, kemudahan untuk berinvestasi, intensif fiskal, kebijakan pengurangan impor dengan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Sementara serta pemanfatan biodisel.

[caption id="attachment_403354" align="aligncenter" width="317" caption="(sbr gbr: Portal Kompasiana)"]

1426530998996529013
1426530998996529013
[/caption]

Perhatikan gambar di atas! Dalam waktu tak lebih dari dua jam tiba-tiba kedudukan artikel “Siapa lebih hebat ahok atau jokowi? Digantikan oleh judul “Membaca Peta kekuatan PKS di Lelang Jabatan Kementan.” Ada apa ya? Featured Article juga diganti yang baru, “Kasus Sendal Jepit dan Buah Kakao Ketidakadilan Bagi Masyarakat Kecil” yang ditulis tahun 2012.

[caption id="attachment_403355" align="aligncenter" width="630" caption="(sbr gbr: Portal Kompasiana)"]

14265310971744499453
14265310971744499453
[/caption]

Kemudian sekitar sore dimunculkan artikel “Beras Mahal; Pemulung ini Merintih perih Kelaparan” Ada apa? Di sini artikel mulai mengkritik secara tidak langsung kepada Pemerintah yang menyatakankondisi domestik masih sangat terkendali, dengan kata lain “Rupiah melemah Jangan Panik! Agak curiga saya dengan frase masih sangat terkendali yang disampaikan Menkeu.

Finally, memang setiap orang subjektivitasnya berperan. selayaknya admin Kompasiana. Seorang Profesor Pendidikan Biologi di Universitas Jambi pernah menyatakan, bahwa tidak ada penilaian yang objektif dalam menilai ranah motorik dan afektif.

Headline berikutnya!

[caption id="attachment_403357" align="aligncenter" width="300" caption="(sbr gbr: Portal Kompasiana)"]

14265313771596744500
14265313771596744500
[/caption]

Headline berikutnya!

[caption id="attachment_403358" align="aligncenter" width="300" caption="(sbr gbr: portal Kompasiana)"]

14265316001305233565
14265316001305233565
[/caption]

Trending Article dan featured article berikutnya!

[caption id="attachment_403359" align="aligncenter" width="313" caption="(sbr gbr: portal Kompasiana)"]

14265316871183741941
14265316871183741941
[/caption]

Read more:

Jokowi Maju Capres Rupiah Kian Perkasa

Dalam Sistem Politik Ini Kedudukan Kita di Mana?

Poin 100, Untuk Ken Ahok

Pantaskah Membela Ahok?

Terus Inflasi

Inikah Pembodohan?

Pertanyaan yang Dilupakan

Di Balik Pelemahan Rupiah

Rupiah Melemah Jokowi Bandingkan dengan Era Orde Baru

Pemerintah juga Fokus Jaga Inflasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun