Mohon tunggu...
emerson yuntho
emerson yuntho Mohon Tunggu... -

Cinta NKRI

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Memberantas Korupsi Tanpa Hukuman Mati

3 Oktober 2012   04:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 8215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13492451291041965897

[caption id="attachment_215964" align="aligncenter" width="620" caption="lustrasi: Spanduk berisi pesan hukuman mati bagi koruptor terpasang di jembatan penyeberangan di Jakarta, Sabtu (25/2/2012)./Admin (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)"][/caption] Saya miris membaca opini kompas berjudul "Logika Koplak Pegiat LSM (Katanya) Anti Korupsi" yang ditulis Anugrah Roby Syahputra (Kompasiana, 2 Oktober 2012). Pada intinya Anugrah 100% setuju dengan  keputusan PB Nahdhatul Ulama (NU) yang hasil Musyawarah Nasional-nya merekomendasikan hukuman mati untuk koruptor. Penulis menilai hukuman mati adalah salah satu solusi untuk mengurangi angka korupsi. Anugrah juga memberikan penilaian bahwa aneh atau "koplak" pengiat LSM (katanya) Anti Korupsi yang menolak hukuman mati dengan alasan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Tulisan ini mencoba memberikan tanggapan atas opini Anugrah dan menjelaskan kepada masyarakat kenapa Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat menolak hukuman mati untuk koruptor atau pelaku tindak pidana lain. Kita semua sepakat bahwa korupsi melanggar HAM dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), merusak sendi perekonimian negara dan merupakan musuh bersama bangsa ini. Semua rakyat Indonesia benci dan geram terhadap koruptor namun apakah hukuman mati adalah solusi yang tepat dalam pemberantasan korupsi dan atau memberikan efek jera terhadap pelaku? Terdapat sejumlah alasan mendasar mengapa penggiat LSM menolak hukuman mati untuk koruptor. Pertama, alasan hukum dan hak asasi manuasia. Hukuman mati jelas melanggar HAM yang paling penting yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak untuk hidup diatur tegas dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan pasal 4 Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan: "hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui   sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun " Dari sisi hukum internasional, hukuman mati sebenarnya telah diwajibkan untuk dihapuskan di dalam UU nasional masing-masing negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) melalui UU No 12 Tahun 1995. Kedua, alasan efektifitas. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah yang menunjukkan hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal  menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya.  Kajian Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati dapat menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. China sebagai negara yang seringkali menjadi acuan karena telah menerapkan hukuman mati untuk koruptor, tetapi sampai sekarang tidak berhasil memperbaiki peringkat korupsinya yang juga tergolong rendah. Malah, koruptor masih berkembang di China. Proses penegakan hukum juga tergantung dari kemauan politik para pemimpinnya, hal ini dibuktikan dengan adanya kasus korupsi yang melibatkan keluarga penguasa, tetapi kemudian tidak dihukum mati. China sekarang bahkan belajar memberantas korupsi kepada Korsel yang tidak menerapkan hukuman mati, tetapi justru menerapkan pelayanan publik yang baik dan tegas dan malah makin lebih bersih. Sejumlah negara-nagara di Skandinavia mampu membuktikan diri sebagai negara yang bersih dari korupsi tanpa harus menerapkan hukuman mati untuk koruptor. Dukungan dan kesadaran yang kuat dari pemerintah, parlemen, penegak hukum dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan negara tersebut dalam upaya memerangi praktek korupsi. Di Indonesia secara normatif dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Korupsi (UU Tipikor), ancaman hukuman mati hanya ditujukan kepada pelaku tipikor yang melanggar Pasal 2 Ayat 1, di mana Ayat 2 pasal itu menetapkan ancaman pidana mati hanya dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, pengulangan tipikor, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Namun pada prakteknya hingga saat ini belum ada satupun koruptor di Indonesia yang dituntut atau dihukum dengan pidana mati. Data ICW 2011 menyebutkan dalam lima tahun terakhir rata-rata tuntutan jaksa dalam perkara korupsi sangat minim yaitu 3-4 tahun penjara dan hukuman yang dijatuhi oleh hakim dalam perkara korupsi tergolong rendah, rata-rata hanya 1-2 tahun penjara. Hukuman maksimal terhadap koruptor terhadap koruptor masih sangat sedikit. Saat ini baru Adrian Woworuntu, terpidana kasus korupsi pembobolan BNI  yang divonis seumur hidup dan Urip Tri Gunawan, terpidana kasus suap terhadap Artalyta Suryani yang dihukum pidana penjara maksimal yaitu 20 tahun penjara. Sesungguhnya ada cara lain memberikan efek jera bagi koruptor tanpa harus menghukum mati seseorang misalnya memiskinkan koruptor atau perampasan aset koruptor, menghapus pemberian remisi, pembebasan bersyarat dan grasi serta pemberian fasilitas khusus untuk koruptor selama di penjara, memaksimalkan tuntutan dan hukuman penjara bagi koruptor serta memberikan sanksi sosial bagi koruptor. Selain hal-hal tersebut saat ini juga sedang dikaji wacana penjatuhan hukuman terhadap koruptor secara akumulatif untuk memberikan efek jera. Penghukuman terhadap koruptor yang terjadi di Taiwan bisa menjadi acuan bagi pemerintah dan DPR yang akan melakukan Revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU Tipikor). Pengadilan di Taiwan pada tahun 2010 lalu menghukum Yu Wei-hsiang, yang merupakan walikota Hsikang di Provinsi Tainan dengan hukuman 203 tahun dan 10 bulan penjara. Dia terbukti bersalah atas kasus korupsi dengan menerima suap dari sejumlah kontraktor yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintah. Juru bicara pengadilan mengungkapkan, terpidana menerima suap dengan nilai total NT$790.000 (sekitar Rp 230 juta). Koalisi masyarakat sipil memberikan dukungan terhadap penerapan langkah-langkah pemberian efek jera terhadap koruptor tersebut melalui dorongan kepada pemerintah, penegak hukum dan parlemen. Langkah konkrit lainnya adalah memasukkan klausul sejumlah upaya pemberian efek jera dalam Rancangan Revisi UU Tipikor (RUU versi masyarakat). RUU Tipikor versi Masyarakat yang disusun setidaknya dapat menjadi alternatif pilihan bagi DPR dalam proses legislasi nanti selain dari RUU Tipikor versi Pemerintah yang dinilai masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat dan kurang memberikan efek jera terhadap koruptor. Apakah betul seluruh masyarakat Indonesia setuju hukuman mati ? Hingga saat ini belum ada Survei dengan metodologi yang ketat yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia setuju hukuman mati. Hasil survei yang disampaikan oleh Nurdirman Munir dan dikutip oleh Anugrah dalam opininya, tidak tepat dinyatakan sebagai pendapat mayoritas seluruh masyarakat Indonesia. Berdasarkan penelusuran, hasil survei yang diduga digunakan oleh Nurdirman Munir sebagai acuan adalah Survei yang dilakukan oleh Harian Tribun Jogja pada 24 September 2012. Survei ini dilakukan hanya terbatas pada pembaca harian tribun Jogja (tribuners) dan tidak dilakukan diseluruh Indonesia. (lihat http://jogja.tribunnews.com/2012/09/24/mayoritas-setuju-hukuman-mati-untuk-koruptor) Apakah betul seluruh warga NU setuju hukuman mati diterapkan pelaku pidana termasuk kepada koruptor? Saya sendiri ragu. Hal ini karena KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan Presiden RI dan juga mantan pimpinan NU pada tahun 2008 menyatakan tidak setuju penerapan hukuman mati untuk koruptor. Gusdur menyatakan jika hukum yang ada saja dilaksanakan dengan baik, maka sudah lebih dari cukup untuk mengurangi angka korupsi di Indonesia. Dalam negara berdemokrasi berbeda pendapat merupakan suatu yang wajar. Pro dan kontra terhadap hukuman mati sampai kapanpun tetap akan muncul karena masing-masing pihak memiliki cara pandang dan argumentasinya sendiri. Namun sungguh keliru dan tidak logis jika mengatakan kelompok penentang hukuman mati untuk koruptor dianggap sebagai pihak yang dibayar koruptor, didanai pihak-pihak pro koruptor, mempunyai kepentingan memakmurkan koruptor dan merupakan musuh bersama seluruh rakyat Indonesia. Dalam menghadapi perang panjang melawan korupsi, maka sangat tidak bermanfaat jika publik hanya sekedar berpolemik tentang hukuman mati untuk koruptor. Diperlukan aksi nyata dengan melakukan segala upaya mendukung pemberantasan korupsi yang merugikan koruptor. Hal terpenting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bukan sekedar masalah ancaman hukuman mati, tetapi bagaimana memastikan bahwa pemerintah dan penegak hukum serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya maksimal dan tidak tebang pilih dalam pemberantasan korupsi serta memenjarakan koruptor di penjara secara konsisten dan tanpa keistimewaan apapun. Pembersihan lembaga penegak hukum dari praktek korupsi harus menjadi prioritas yang harus segera diselesaikan. Semua pihak juga perlu mendorong agar upaya pemberantasan korupsi berjalan secara efektif. Langkah pemidanaan atau penindakan dalam perkara korupsi harus berjalan simultan dengan upaya pencegahan dan pengembalian aset (asset recovery) para koruptor, harmonisasi peraturan perundang-perundangan dan kerja sama internasional. Selain itu dukungan semua kalangan sangat dinanti dalam rangka menyelamatkan KPK yang ingin dibubarkan oleh partai politik dan para koruptor. Jika upaya pemberantasan korupsi dan KPK berhasil dilemahkan oleh koruptor, maka negara ini akan berada diambang kehancuran. Pada akhirmya Mari Memberantas Korupsi Bersama Rakyat. Berantas Korupsi YES, Hukuman Mati NO! Emerson Yuntho Saat ini bekerja di Indonesia Corruption Watch. Opini merupakan pendapat pribadi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun