Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Penulis Lepas pecanduan kopi

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapitalisme dan Budaya Hustel : Apakah Kita Hidup untuk Bekerja?

3 Maret 2025   05:43 Diperbarui: 3 Maret 2025   05:43 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Dalam gelombang deras arus globalisasi  manusia tak lagi sekadar berjalan. Mereka berlari tanpa jeda napas mereka  mengejar sesuatu yang tak pernah benar-benar mereka pahami. Sejak kapan dunia menjadi arena balapan  di mana garis finis terus berpindah ke depan dan kemenangan hanya ilusi yang berulang kali menghilang di balik ambisi yang semakin menelan jiwa? Generasi muda lahir dan tumbuh di tengah pusaran digital  di mana dunia tak lagi berputar dalam ritme alami, tetapi bergerak dengan kecepatan algoritma. Layar-layar biru menyala sepanjang malam, otak dijejali data tanpa henti dan  mata menatap angka dan pencapaian, seakan hidup manusia semata-mata hanya untuk produktivitas. Kapitalisme telah membentuk ideologi baru yang meresap hingga ke sumsum kehidupan manusia. Bekerja tanpa henti dianggap sebagai kebajikan, sementara istirahat dicap sebagai kemalasan. Orang-orang tak lagi berbicara tentang kebahagiaan. Mereka bertanya "Berapa penghasilanmu? Apa jabatanmu? Berapa proyek yang kau tangani?" Seolah-olah nilai manusia diukur dari seberapa sibuk mereka  seberapa sedikit waktu tidur yang mereka miliki.

Hustle culture bukan sekadar tren Ia adalah dogma yang menuntut pengabdian total  di mana kesuksesan diukur bukan dari kedalaman pemahaman atas hidup  tetapi dari seberapa banyak waktu yang dikorbankan demi kerja. Orang-orang muda menganggap kerja tanpa batas sebagai kehormatan. Mereka membanggakan kelelahan  seakan itu adalah tanda pengabdian tertinggi pada sistem yang tak pernah mengenal kata cukup. Namun, ada yang mereka lupakanadalah  Tubuh bukan mesin, jiwa bukan angka. Manusia adalah makhluk yang butuh ruang untuk bernapas. Tapi dalam bayang-bayang ambisi dan tekanan sosial, kelelahan menjadi rutinitas baru. Kantung mata yang menghitam jadi lencana kehormatan. Kopi dan minuman berenergi menggantikan air dan istirahat. Mereka percaya bahwa diam adalah kemunduran, bahwa rehat adalah pengkhianatan terhadap potensi diri.

  Sementara itu  di belahan dunia lain  orang-orang di Barat modern memahami keseimbangan antara kerja dan kehidupan dengan lebih bijak. Mereka tidak menjadikan kerja sebagai satu-satunya ukuran nilai diri  tetapi juga memahami bahwa hidup harus dinikmati. Mereka mengalokasikan waktu untuk bepergian, menjelajahi dunia, menghirup udara segar di pegunungan, menikmati sinar matahari di pantai, dan menyelami kebudayaan baru. Bukan karena mereka malas, tetapi karena mereka memahami bahwa hidup bukan hanya tentang produktivitas tetapi juga pengalaman, kebahagiaan, dan pemenuhan diri. Bukan berarti kita harus membandingkan dan mengadopsi seluruh cara hidup mereka. Tetapi ada pelajaran penting bahwa keseimbangan antara kerja dan hidup bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Pekerjaan yang dilakukan dengan ritme yang sehat akan menghasilkan kebahagiaan yang lebih bermakna. Keberhasilan sejati bukan sekadar tentang bekerja tanpa henti, tetapi tentang bagaimana kita menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.

Kita harus bertanya, apakah ini yang disebut kehidupan? Apakah keberadaan kita hanya untuk melayani roda ekonomi yang tak pernah berhenti berputar? Apa gunanya pencapaian materi jika harga yang harus dibayar adalah kehilangan diri sendiri? Di dunia yang semakin mengagungkan produktivitas, manusia harus kembali mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang kerja. Nilai seseorang tak ditentukan oleh jumlah jam kerja. Hakikat eksistensi bukan sekadar melayani sistem yang hanya melihat manusia sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi. Mungkin sudah saatnya kita merayakan istirahat seperti halnya kita merayakan pencapaian. Mungkin kita harus mengembalikan makna hidup yang sesungguhnya. Bahwa manusia tak diciptakan hanya untuk bekerja, tetapi untuk memahami, menikmati, dan menghidupi kehidupan dengan kesadaran yang utuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun