Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kain Sumba, Buah Ketekunan dan Cinta

14 Maret 2014   14:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_298944" align="aligncenter" width="510" caption="Jatuh cinta pada kain dan pria Sumba"][/caption]

Dra. Sylvia Asih Anggraeni, M.Si

Tanpa cinta, maka lembaran-lembaran kain itu hanyalah benda mati tanpa jiwa.

Sylvia Asih Anggraeni bukan orang Sumba. Dia berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Namun kekagumannya pada kain tenun asli Indonesia membawanya mengenal sejumlah kain tenun ikat khas Indonesia, termasuk tenun ikat Sumba. Yang berbeda dari pengenalannya dengan kain tenun ikat Sumba dibanding kain dengan tenun ikat dari berbagai daerah lain, di Salatiga, tempat dia memulai kuliahnya, dia langsung bertemu dengan sejumlah orang yang berasal dari Sumba. Dari mereka dia mendapat penjelasan yang sangat otentik tentang kain yang oleh berbagai kalangan disebut “selimut para dewa” ini.

“Saya langsung jatuh cinta setelah melihat motif yang sangat variatif dan ternyata sarat makna. Proses pembuatannya pun sangat lama. Saya melihat ada ketekunan yang luar biasa dari perempuan Sumba. Mereka seakan tidak peduli dengan nilai ekonomis yang mereka dapat. Cinta terhadap keindahan dan warisan leluhur mengatasi kecilnya keuntungan ekonomis,” ungkap Sylvi. Setelah jatuh cinta pada kain Sumba, ia pun jatuh cinta pada pemuda asal Sumba bernama Umbu Mehang Kunda (UMK) yang kemudian menjadi suaminya. UMK (almarhum) pernah menjadi anggota DPRRI (tahun 1987 – 2000) dan bupati Sumba Timur periode tahun 2000 – 2005, 2005 – 2010 (wafat thn 2008). Kini namanya diabadikan menjadi nama bandara di Waingapu, Sumba Timur, NTT.

Ketika penulis mewawancarainya, Sylvia mengenakan sarung Sumba. “Saya bangga memakai ini. Warisan eksotis dari tangan-tangan terampil dan penuh cinta,” ujar pemilik galeri kain Sumba Annahida di Cibubur ini.

Sylvia tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya mengenal dan mengenakan kain Sumba. “Yang membuat saya tambah bangga adalah karena karya tangan-tangan terampil leluhur kita ini sebenarnya telah mendunia.”


Motif Penuh Makna

Hingga hari ini, para pengrajin kain di Sumba masih mempertahankan cara kerja tradisional dalam menghasilkan kain bernilai seni tinggi, tentu tetap dengan semangat mencintai warisan leluhur. Jika bukan karena cinta jelas Sylvi, para penenun kain Sumba telah meninggalkan pekerjaan menenun, sebab hasil yang mereka peroleh tidak seimbang dengan waktu dan tenaga yang mereka keluarkan. Untuk menghasilakn selembar kain, seorang penenun membutuhkan waktu ber-bulan-bulan. Belum lagi jika bahan terutama zat pewarna harus diambil langsung dari alam. Jika demikian, maka waktunya akan lebih lama lagi. Untuk kain Sumba berkualitas tinggi, seorang penenun harus berusaha keras mendapatkan material dari alam seperti harus memintal sendiri benang dari kapas, lalu mencari ramuan untuk pewarna, seperti dari akar mengkudu, daun nila, dan lain-lain.

Hal yang membuat Sylvi kian mencintai kain Sumba adalah karena secara simbolis tenunan tersebut memuat berbagai pesan moral. “Setiap motif memiliki arti yang sangat mendalam. Bukan asal gambar atau motif.”

Motif-motif yang dimaksud Sylvi antara lain adalah motif kuda dan naga yang menyimbolkan kejantanan, kepahlawanan, kekuatan status sosial yang tinggi, dan sebagainya. Motif buaya, melambangkan kesetiaan, kejujuran, kesadaran dan kepahlawanan. Motif udang dan ular melambangkan kehidupan abadi di alam baka. Buaya merah dan kura-kura melambangkan status sosial yang tinggi, kebangsawanan dan kehidupan yang kekal. Motif burung kakatua melambangkan musyawarah. Motif monyet dan anak-anaknya lambang konservasi alam. Rusa melambangkan kejayaan, kegagahan dan keindahan.

13947554161584653329
13947554161584653329


Ketika Umbu Mehang Kunda, suaminya menjadi bupati Sumba Timur, Sylvia mendapat banyak kesempatan semakin mengibarkan cintanya pada tenun Sumba, sekaligus memberi perhatian kepada kelompok pengrajin atau penenun kain Sumba Timur. Selain membantu memasarkan sekalipun terkadang dengan harus membeli dan membeli, dia juga membuat program saling tukar keterampilan menenun di antara sanggar. Dia juga sempat membuat karya monumental berupa kain tenun ikat Sumba sepanjang 50,10 meter. Kain ini berhasil memecahkan rekor sebagai kain tenun ikat terpanjang, yang pertama kali dibuat di kabupaten itu.

Ketika diresmikan dan dinobatkan sebagai kain tenun ikat terpanjang dan masuk MURI pada tahun 2008, kain ini diberi nama Hinggi Humba “A’nda Ukurungu”. Hinggi (kain tenun ikat khusus untuk pria), Humba (Sumba), A’nda (jalan), ukurungu berarti bersama-sama. Sehingga Hinggi Humba A’nda Ukurungu berarti “Jalan yang Dilalui Secara Bersama-sama”. Hinggi ini ditenun dengan tangan kasih para penenun Sanggar Ori Angu di Lambanapu, Sumba Timur.

Selain kain tersebut, diresmikan juga selembar kain lawu pahikungu yang diberi nama Lawu Pahikungu Maronongu sepanjang 24 meter yang ditenun oleh para penenun Pau - Melolo. Lawu (sarung), pahikkungu (diungkit, karena ketika ditenun gambarnya diungkit dengan lidi agar motifnya timbul), Maronongu berarti malaikat. Sehingga bisa diartikan “karena keindahannya, sarung ini cocok dipakai oleh para malaikat”.

Berharap ada Museum Kain Sumba

Sumba Timur memiliki dua macam kain tenun ikat, yakni Hinggi (kain tenut ikat untuk pria) dan Lawu Pahikkungu atau Lawu Pahudu (sarung songket untuk wanita). Selain merupakan kebutuhan sandang sehari-hari, kedua jenis tekstil ini memegang peranan penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Sumba Timur.

Sylvia piawai menjelaskan fungsi kain Sumba dalam adat orang Sumba. Dalam adat-istiadat jelas pemegang gelar S2 Studi Pembangunandari IPB ini, hinggi dan lau berfungsi sebagai sarana tukar menukar baik dalam upacara perkawinan, penguburan, dan sekadar tanda penghargaan atau cinderamata.

Hinggi, jelas Sylvia, juga dipergunakan untuk membungkus jenazah. Selain secara fisik lapisan hinggi itu bisa menahan bau mayat, secara spiritual sesuai dengan kepercayaan Marapu (agama asli orang Sumba-red), hinggi dengan kualitas tinggi yang dipakai untuk membungkus jenazah bermakna sebagai bekal pakaian almarhum di alam baka.

Kini, meski dia tidak lagi menjadi istri bupati, ia tetap menaruh perhatian pada perkembangan kain Sumba. Dia bahkan menaruh kain-kainnya di Gedung SMESCO – Jl. Gatot Subroto – Jakarta. “Salah satu hal yang membuat Sumba tersohor adalah kain tenun ikatnya. Nah, saya kira kita harus punya museum untuk menyimpan kain-kain terbaik Sumba lengkap dengan penjelasan yang memadai. Jangan sampai—dan ini sudah terjadi—kita mencari kain asli Sumba berikut penjelasannya di Belanda,” ujarnya.

Sylvia berharap Pemerintah memberi perhatian pada warisan adiluhung ini. “Orang luar sangat terkagum-kagum dengan kain Sumba sehingga diam-diam mereka menyimpan kain-kain terbaik dalam koleksi pribadi. Masa kita tidak tertarik melestarikan dan menyimpan kain-kain indah ini?” ujarnya sambil menunjukkan sejumlah koleksinya. Dia berharap pemerintah terus berjuang agar kain Sumba menjadi salah satu warisan dunia. Kain Sumba Timur itu unik. Walaupun ada kain tenun lain yang sama motif dan penataan dengan kain Sumba, tetapi tetap saja tak akan ada yang sama persis. Dulu lebih unik lagi. “Kita bisa mengenali karya siapa sebuah kain dari kreasi pelukisan motifnya, bahkan gaya pembuatan ‘kabakil’ (list pada bagian ujung-ujung kain) menunjukkan siapa atau dari mana asalnya. Jadi bukan sekadar motif atau cara pewarnaan umum,” jelas Sylvi lagi.

Sylvi bukan kolektor dalam arti sesungguhnya. Dia mengaku hanyalah penyuka barang-barang artistik dan unik. Kain-kain Sumba miliknya terkumpul bukan karena dia mencari, tapi hanya membeli dari orang-orang yang butuh uang dan datang kepadanya, terutama saat dia menjadi istri bupati Sumba Timur. “Akibatnya, kadang ada kain yang tidak pas dengan selera saya, tapi tetap saja saya beli. Saya juga membeli bila ada pameran-pameran, sekadar menjadi pelaris, apalagi kalau sepi pembeli,” jelas ibu tiga anak dan tujuh cucu ini.

Jika dihitung, saat ini aku Sylvi, kain Sumba miliknya tidak lebih dari 200 lembar dengan berbagai ukuran dan motif. Kain sebanyak ini dia taruh di Gedung SMESco, Jakarta, sebagian di rumah dan galeri miliknya.

Di atas kebanggaannya pada kain Sumba, Sylvi mengaku prihatin atas pembajakan kain Sumba melalui produksi massal di Jepara dan dijual dengan harga jauh lebih murah. “Mengapa hal ini bisa terus berlangsung padahal pada zaman saya dulu masih urus Dekranasda, kami sudah mematenkan sejumlah motif kain Sumba Timur? Kasihan penenun Sumba. O, betapa susahnya mempertahankan ‘martabat’ sebuah warisan budaya nenek moyang, di zaman global yang kelewat pragmatis ini,” ujarnya prihatin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun