Mohon tunggu...
emanuel agung wicaksono
emanuel agung wicaksono Mohon Tunggu... -

non scholae sed vitae discimus...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Angka Tidak Mampu Berbicara

5 September 2012   16:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:52 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul Buku      :Menyeberangi Sungai Air Mata

Kisah Tragis Tapol ’65 dan upaya Rekonsiliasi

Pengarang       : Antonius Sumarwan SJ

Penerbit           : Kanisius Yogyakarta

Tahun              : 2007

Tebal               :408 halaman

“Marilah kita terus berkisah, semua yang lain bisa menunggu. - itulah tugas utama kita,  sehingga kita ingat betapa rapuh manusia ketika berhadapan dengan kejahatan yang mengepung dari berbagai penjuru. Marilah kita berkisah sehingga para eksekutor tidak dibiarkan menjadi pemilik kata terakhir. Kata terakhir adalah milik korban.”

Elie Wiesel(hal. 380)

A.Pengantar

Sepanjang hidupnya, manusia selalu mengalami berbagai dinamika kehidupan. Dinamika itu terekam dalam memori dan menjadi sebuah pengalaman. Dengan pengalaman itulah, manusia dapat belajar banyak hal sehingga pengalaman sering disebut sebagai guru terbaik di dalam hidup. Begitu pula dengan sejarah. Layaknya sebuah pengalaman, sejarah memiliki peran yang strategis bagi suatu bangsa. Bahkan dengan lantang, dalam suatu pidatonya, Soekarno pun berkata Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Melalui sejarah kita dapat menimba banyak pelajaran dan dapat menjadi referensi agar negara tidak mengulang kesalahan yang sama sekaligus meneladani hal-hal positif di masa lampau. Melalui kesadaran akan sejarah semacam itulah, sebuah sejarah membantu sebuah bangsa untuk terus mengenali identitas, hakekat, dan tujuan dirinya yang sebenarnya agar tidak tercabut dari akar yang membentuknya.

Seperti yang telah dipelajari dalam kuliah Pendidikan Pancasila, metode hereneutika adalah salah satu alat untuk menggali dan menjelaskan nilai-nilai Pancasila melalui interpretasi sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sepanjang perjalanan bangsa ini. Mengingat, bagaimanapun juga pancasila pun lahir dari pergulatan panjang dari sejarah itu sendiri.  Di dalam pancasila terkandung nilai-nilai yang menjadi philosofische grondslag yang mampu mendorong manusia Indonesia menemukan esensi dari kemanusiaannya sendiri bila dihayati secara mendalam. Salah satu cara menghayatinya adalah dengan cara menjadikan pancasila menjadi “kacamata” untuk memandang setiap sejarah yang telah dilalui sehingga terpetiklah refleksi dalam sesuai karakter manusia Indonesia. Melalui refleksi itulah, proses internalisasi nilai pancasila pun terjadi dan teresap dalam tingkah hidup sehari-hari.

Salah satu bagian dari sejarah bangsa ini yang sampai sekarang masih kontroversial adalah peristiwa pembunuh sejumlah petinggi militer pada malam 30 September 1965 yang dikenal sebagai peristiwa  G 30 S (Gerakan 30 September) atau di masa lampau dikenal sebagai peristiwa Gestapu (Gerakan Satu  Oktober). Kata Gestapu ini digunakan untuk sebagai upaya doktrinasi bahwa kekejaman yang terjadi pada malam itu identik dengan kekejaman yang sama dilakukan oleh Agen Rahasia Nazi yakni Gestapo di Jerman pada rezim Adolf Hitler. Menurut versi pemerintah Orde Baru, PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dalang di balik peristiwa ini. Maka, istilah G 30 S selalu disandangkan dengan kata PKI diberbagai referensi yang menceritakan peristiwa ini.

Jujur, pengetahuan kita mengenai peristiwa ’65 memang sangat miskin. Sumber pengetahuan kita pra reformasi hanya terbatas pada informasi yang diberikan guru-guru kita di sekolah saat pelajaran Pendidikan Sejarah maupun melalui film Pengkhianatan G-30S yang selama masa Orde Baru selalu diputar di stasiun televisi setiap tanggal 30 September. Namun, di sekolah tidak pernah diajarkan kisah tragis pasca September 1965. Padahal, peristiwa G 30 S menjadi bagian yang penting dalam sejarah bangsa ini karena peristiwa besar ini memicu efek domino yakni terjadinya berbagai rentetan peristiwa besar lainnya di Indonesia sesudahnya.

B.Latar Belakang

Selama lebih dari 32 tahun, buku-buku sejarah mengenai peristiw G 30 S yang ada hanya mengkaitkan peristiwa ini dengan terbitnya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) dan tindakan heroik Mayjend. Soeharto sebagai pemegang mandat SUPERSEMAR dalam upaya pembersihan PKI sampai akar-akarnya. Bisa jadi, hal itu terjadi dengan sistematis sebagai bagian dari upaya pengkultusan tokoh tertentu demi kepentingan tertentu. Padahal, akibat peristiwa G 30 S, terjadi efek lain yang juga penting, namun hanya dibahas sekilas tanpa penjelasan yang mendalam bahkan beberapa di antaranya terkesan dilupakan.

Hal ini bisa terjadi karena sejarah peristiwa itu hanya dilihat dari satu sudut pandang saja tanpa memperhitungkan sudut pandang lain. Nampak sebuah upaya monopoli penafsiran sebuah sejarah sekaligus klaim kebenaran dalam sejarah sejarah secara sepihak. Padahal, dalam mempelajari sejarah, setiap orang dituntut untuk bisa melihat suatu peristiwa dari berbagai sudur pandang sehingga tafsiran yang terbentuk dapat semakin obyektif dan holistik. Maka, muncullah dugaan bahwa sejarah yang selama ini dipelajari di berbagai jenjang pendidikan serta literatur dan diperingati setiap tahunnya  hanyalah upaya propaganda untuk kepentingan politik tertentu yakni demi mempertahankan kekuasaan. Bahkan, ada nada subang yang mengatakan bahwa sejarah Indonesia bukanlah history tetapi hanya sekedar his story.

Selama rezim Soeharto berkuasa, sedikit sekali orang yang berani mempertanyakan kebenaran yang terjadi di balik peristiwa sejarah itu. Semua hal yang tercantum dalam buku sejarah  seakan ditelan mentah-mentah dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Baru setelah lengser keperabon nya Soeharto akibat aksi mahasiswa  pada Mei 1998, mulai bermunculan orang-orang yang mencoba menafsirkan ulang sejarah secara lebih terbuka dari berbagai cara pandang tanpa mengikuti sejarah versi pemerintah.

Salah satu buku yang menarik untuk disimak adalah buku yang berjudul “Menyeberangi Sungai Air Mata” karya Rm. Antonius Sumarwan SJ. Buku ini mengulas peristiwa G 30 S secara mendalam melalui penuturan langsung dari para korban. Meskipun para korban itu mengalami berbagai penderitaan, para korban itu dapat mernarik refleksi yang sangat mendalam mengenai kemanusiaannya dari berbagai peristiwa yang dialaminya. Bila ditilik lebih jauh, sedikit banyak, refleksi mereka mengenai hakekat kemanusiaan itu menyentuh aspek universal yang tertuang di dalam nilai-nilai dalam pancasila itu sendiri. Hal itu sejurus ungkapan Prof. Dr. N. Drijarkara, SJ

“ Pancasila adalah inheren (melekat) kepada eksistensi manusia,lepas dari keadaan yang tertentu pada manusia pada konkretnya, Sebab itu, dengan memandang kodrat manusia, qua talis , kita juga akan sampai ke pancasila”

Melalui pendekatan tersebut, penulis memberanikan diri menjadikan buku ini sebagai bagian daristudi pendalaman pancasila karena buku ini menawarkan banyak hal yang sangat relevan mengenai nilai pancasila khususnya dalam pemikiran humanistiknya.

C.Deskripsi Singkat Buku

Buku ini merupakan intisari dari diskusi dalam sebuah mata kuliah teologi rekonsiliasi dari mahasiswa. Buku ini mencoba menelusuri lebih jauh jejak efek peristiwa ini sekaligus menjadi media pengingat agar tidak terjadi insomnia sejarah di antara anak bangsa.

Mungkin, bila dibaca secara sekilas, buku ini terkesan begitu jelas dan detail menggambarkan berbagai adegan kekerasan yang dialami korban pasca G 30 S. Bila didalami secara seksama, buku ini tidak bermaksud mengumbar kisah keji sekedar menggetarkan hati dan empati. Tapi, jauh lebih dalam, mencoba menggali refleksi dari para korban.

Buku ini berbeda dengan buku-buku lainnya yang juga membahas peristiwa G 30 S dan hanya berkecimpung seputar efek pada level atas saja dan hanya menguak data kronologi dan angka statistiknya. Padahal, dari data-data semacam itu, sama sekali tidak berkisah apa-apa di balik peristiwa itu dan hanya berusaha menyederhanakan apa yang terjadi di dalamnya. Data kronologi dan angka statistik tidak akan mampu menguak berbagai kisah pilu dan tragis peristiwa ini. Dengan penuturan kisah yang diperoleh langsung dari para korban yang notabene nya adalah pelaku sejarah yang secara gamblang mengetahui serta merasakan sendiri. Kini, mereka tenggelam tertelan di dalam arus  ketidakberdayaan, buku ini memberikan gambaran nyata bagaimana kondisi para korban yang sebenarnya pada masa lalu sekaligus masa kini. Jadi, janganlah heran dan kaget bila menemukan berbagai kisah keji yang pernah dialami para korban secara vulgar.

Buku ini disusun secara sistematis melalui bab-bab yang mengalir sehingga soeseorang yang membaca dapat menikmati dan mendalami kisah beserta refleksinya  dalam buku ini. Buku ini pula sedikit demi sedikit menyibak berbagai kebenaran yang tersembunyi di balik berbagai fakta yang ditutupi dalam sejarah sehingga secara tidak langsung mengajak kita supaya kritis dalam melihat sejarah. Salah satu contohnya adalah terjadinya pembantaian ratusan ribu bahkan di suatu literatur disebutkan angka 3,5 juta korban pasca peristiwa G 30 S di seluruh pelosok Indonesia, utamanya di Jawa Tengah dan Timur serta Bali. Yang terjadi ialah pembantaian rakyat sipil tak bersenjata, bahkan yang sudah ditangkap atau berada dalam kamp tahanan dan penjara. Sebagian pembantaian itu dilakukan secara rahasia, sebagian yang lain dilakukan secara terbuka yang dapat ditonton orang banyak sebagai
bagian dari teror mental. Sebagian korban lain pun tanpa adanya proses peradilan, ditahan dan dibuang di pulau Buru. Nampak, ada sebuah upaya meng”ghetto”kan korban ala Nazi agar para warga yang dicap PKI ini dapat dikontrol sekaligus dikungkung segala haknya. Meskipun, atas desakan masyarakat internasional, pada decade 1980-an, para kaum buangan ini berangsur-angsur dibebaskan meski dilabeli eks- tapol di KTPnya dan tetap mendapatkan ketidakadilan oleh masyarakat maupun pemerintah yang seharusnya mengayomi semua warganya.

Selama ini dianggap gerakan pembersihan PKI baik berupa pembantaian maupun penangkapan merupakan sebuah gerakan spontan rakyat. Padahal di berbagai tempat, gerakan ini muncul dimotori oleh sekelompok orang yang nampak telah dilatih dan dikomandoi secara sistematis oleh oknum tertentu.

Selain itu, menurut versi resmi pemerintah yang diungkapkan dalam film G 30 S/PKI, para petinggi militer yang dibunuh pada peristiwa G 30 S mengalami berbagai penyiksaan yang sadis mulai dari pencungkilan mata, pemotongan kelamin, dan lain-lain diawali dengan tarian seks Gerwani sebelum dibunuh. Padahal, para dokter yang memvisum jenazah para jenderal itu sama sekali tidak menemukan bukti bahwa mereka dibunuh seara biadab seperti yang diungkapkan di atas. Apakah ini adalah hakekat dari kebenaran dan sejarah itu sendiri?

D.Ulasan dan Analisis

Dari peristiwa G 30 S, Muncullah beberapa nominator yang diduga menjadi mastermind di balik peristiwa ini mulai dari PKI, Soeharto, Soekarno, CIA (Agen Rahasia Amerika Serikat), dan KGB (Agen Rahasia Uni Sovyet). Kedua lembaga terakhir yang disebutkan di atas mau tidak mau dimunculkan jika peristiwa itu dihubungkan dalam konteks dunia yang sedang diliputi perang dingin antara Blok Kapitalis pimpinan Amerika Serikat dengan Blok Komunis pimpinan Uni Sovyet. Kedua blok itu bersaing melebarkan sayap pengaruhnya ke seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Bila hipotesis ini benar, Indonesia pun terlibat dalam sebuah arus konspirasi tingkat tinggi secara langsung maupun tidak langsung.

Lepas dari dunia percaturan politik global dan nasional, imbas yang terjadi tidak hanya pada tataran masyarakat atas. Tapi, masyarakat level bawah pun turut merasakan efek yang ditimbulkan dari peristiwa ini, bahkan jauh lebih besar goncangannya. Jutaan rakyat ditangkap, dibuang di Pulau Buru dan sebagian lagi dibantai karena dianggap sebagai antek-antek PKI dan ormasnya yang dianggap membahayakan tanpa melalui proses hukum di Negara yang mengaku berpancasila ini. Padahal, pancasila yang konon katanya menjadi pandangan hidup sekaligus menjiwa rakyatnya dalam tingkah perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengaku berketuhanan ini.

Pancasila seharusnya menjadi pandangan hidup yang menuntun manusia Indonesia menuju cita-citanya seperti yang telah dirumuskan oleh Founding Father dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.  Di satu sisi pada masanya, Pancasila pernah begitu dikultuskan sampai-sampai dalam pemaknaan dan penafsirannya pun tidak boleh sembarangan dari segala yang telah digariskan oleh pemerintah. Tapi di sisi lain pada masa reformasi ini, Pancasila dilupakan dan nampak sengaja diabaikan berikut dengan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya karena mungkin dianggap tidak relevan dengan zaman. Padahal, sejatinya, arti pancasila bukan terletak pada kesaktiannya yang tetap mampu bertahan dan selalu diperingati 1 Oktober pada hari Kesaktian Pancasila. Pancasila itu memiliki nilai-nilai yang tidak hilang dan lekang dari waktu dan itulah yang menjadi esensi dari pancasila itu sendiri. Di dalamnya, terkandung nilai–nilai Universal yang mampu mengikat seluruh warga Negara Indonesia menjadi satu kesatuan sekaligus menjadi semangat terdalam perimanusiaan Indonesia yang terdalam.

Salah satu kisah yang menarik dalam buku ini adalah kisah hidup Ibu Mamik yang mengalami penyiksaan fisik, seksual, sekaligus psikologi dan menyisakan luka yang tidak kunjung sembuh di dalam hatinya terlebih masih adanya berbagai stigma negatif yang melekat pada dirinya. Hal itu terjadi karena dulu Ibu Mamik dianggap terlibat dalam salah satu organisasi yang diduga berafiliasi dengan PKI. Padahal, ia hanyalah seorang seniman tari sederhana yang sekedar menghidupi kehidupannya sekaligus melestarikan budaya leluhurnya melalui kegiatan budaya. Ia dicap terlibat aktif dalam upaya Manikebu (Manifesto Kebudayaan) yang didengung-dengungkan PKI.

Ibu Mamik hanyalah satu dari ratusan ribu kisah yang tidak pernah muncul ke permukaan di balik data-data statistic dan kronologi yang selama ini menjadi bahan kajian berbagai orang dalam mempelajari sejarah.

Selama ini, manusia hanya sekadar diwakili oleh deretan angka statistika yang kadang menjadi bagian dari penggiring banyak kebijakan pemerintah. Padahal, sebuah angka bagaimanapun analisisnya tidak akan pernah mampu menceritakan ataupun mewakili berbagai kepiluannya sehingga seakan martabat kemanusiaannya tidak ada harganya di balik angka-angka itu. Mungkin saja, itulah alasan, mengapa berbagai kebijakan pemerintah dari dulu hingga sekarang tidak pernah mampu “membumi” sekaligus menyentuh orang-orang kecil yang miskin, lemah, dan tersingkir.

Pada masa itu, Begitu banyak rakyat kecil seperti petani pedesaaan yang setiap harinya hanya bergelut dengan lumpur di sawah, dicap komunis (meskipun kadang-kadang salah sasaran) dan menjadi korban yang tidak diperlakukan secara layak seperti manusia. Padahal, mereka sendiri yang baca tulis pun tidak bisa, belum tentu tahu menahu tentang PKI ataupun ajaran marxisme yang menjadi dasar komunisme. Mereka seakan hanya sekadar menjadi tumbal yang dipertaruhan demi kepentingan politik level atas yang tidak mungkin mereka jangkau tetapi merasakan efeknya begitu besar. Apakah ini yang dinamakan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Sekalipun mereka memang simpatisan PKI level akar rumput, tidak semestinya hak dan martabat diri mereka sebagai manusia diinjak-injak karena pada dasarnya hak azasi adalah anugerah yang hakiki dari sumber dan tujuan hidup manusia yakni Tuhan. Hak azasi itu berupa hak untuk hidup sekaligus bebas melekat pada manusia sejak manusia dilahirkan sampai mati secara sama tanpa bisa dikurangi hanya karena perbedaan ideologi atau hal-hal lain yang sebenarnya tidak sejati.

Immanuel Kant pernah menulis bahwa “bertindaklah selalu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia, baik dalam dirimu, maupun dalam diri segenap orang lain, selalu sekaligus sebagai tujuan, dan tak pernah semata-mata sebagai sarana” (Kant, Metaphysics of Morals, hal. 36). Artinya, setiap orang, siapapun dia, apapun latarbelakangnya, harus dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak pernah boleh digunakan sebagai alat bagi tujuan lain di luar orang itu sendiri. Sehingga, berbagai alasan perendahan martabat manusia seperti sebagai alat untuk pencapaian kekuasaan, alat pembenaran tindakan kejam, sebagai alat untuk melanggengkan otoritas ataupun lain-lain tidak boleh dilakukan seandainya setiap orang mengetahui esensi  dari kehidupan manusia itu sendiri. Kesadaran inilah sebuah tantangan sekaligus peluang dalam usaha terus menerus menempatkan diri manusia sesuai pada hakekatnya.

Meskipun memahami manusia secara utuh itu adalah amat sulit karena begitu kompleks unsur yang melingkupinya, masalah kemanusiaan yang hakiki pun telah termaktub dan terumuskan amat baik di balik barisan kata di dalam “ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam sila ke 2. Makna kemanusiaan yang sesungguhnya bukanlah sebuah final dari kehidupan itu sendiri, tetapi seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Drijarkara. SJ, kemanusiaan itu berakar dari sifat manusia itu sendiri sebagai makhluk yang mem”belum” dan terus menerus menyempurnakan diri dalam sebuah proses belajar seumur hidup. Dengan mengkaji makna kemanusiaan semacam itu, manusia akan menemukan hakekat eksistensinya.  Hakekat yang sepenuhnya mengantar manusia pada suatu penghargaan dan tanggungjawab terhadap sesama karena di dalam proses “ menjadi manusia” lah, manusia akan memahami bahwa dirinya amat bergantung pada manusia lain.

Teologi menjadi dasar pendekatan dalam penyusunan buku ini sehingga membuat kesaksian-kesaksian yang ditumpahkan para korban menjadi penggalan-penggalan sejarah yang hidup dan amat menyentuh dengan berbagai refleksinya. Dengan pendekatan inilah, sesungguhnya bisa menjadi contoh yang baik tentang pertemuan antara ketuhanan dan realitas kemanusiaan. Karena bagaimanapun, keduanya adalah satu mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan utuh menjadi satu kesatuan yang tidak terelakkan.

Mungkin, pendapat di atas amat jauh bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh banyak pengkritik radikal terhadap agama maupun ketuhanan baik oleh Karl Marx, Friedrich Nietzche, maupun Sigmun Freud. Ambil contoh sebuah pendapat  Karl Marx yang mengungkapkan bahwa realitas ketuhanan yang diusung dalam agama, dipandang membuat manusia tidak berjuang dengan sungguh di bumi dan sekedar menjadi tanda keterasingan.

Hal ini ditentangkan amat kontras dengan refleksi yang dipetik di dalam buku ini. Dalam konteks korban pembersihan PKI, penderitaan baik secara psikis maupun fisik, melalui kacamata ketuhanannya, tidak membuat orang jatuh pada keputusasaan dan menjadikanTuhan sebagai pelarian. Tetapi sebaliknya, mereka justru memperoleh kekuatan sekaligus kepercayaan bahwa melalui penderitaan itulah terselip makna bahwa Tuhan sendiri yang sedang membentuk mereka melalui peristiwa yang mereka alami meskipun peristiwa itu amat pahit bagi mereka. Dengan begitu, terbersit secercah harapan dan kepercayaan bahwa Tuhan amat baik mencintai mereka. Peristiwa ini pun membantu mereka menemukan akan hakekat kemanusiaan yang hakiki dari dirinya sendiri. Inilah sebuah ironi dalam paradoks yang nyata di dalam kehidupan ini. Bagaimanapun, Tuhan adalah asal dan tujuan setiap manusia yang sejati bagaimanapun manusia itu menolak kenyataan ini begitu rupa.

Dalam suatu pengalaman yang seperti mereka alami, mereka mereka dihadapkan pada suatu sisi dimana manusia mencapai sebuah titik dimana muncul ketidakberdayaan. Di titik itulah, setiap manusia akan menemukan bahwa dirinya itu benar-benar berada di dalam suatu keterbatasan dan terasa amat kecil. Melalui kesadaran itulah, manusia dibenturkan pada adanya realitas kemanusiaannya yang diliputi ketidakkuasaan di hadapan realitas ketuhanan dengan kemahakuasaannya yang amat menggetarkan (mysterium tremendum) sekaligus mempesonakan(mysterium fascinsum).

Kemahakuasaan Tuhan bekerja melalui mekanisme invisible hand. Ada di dalam setiap ketidakadaannya sekaligus tidak ada di dalam ke”ada”anya. Realitas itu tidak akan pernah nampak jelas tersurat di dalam hal-hal yang bersifat material seturut pendekatan para pengkritik radikal agama tetapi hanya bisa dirasakan tersirat di dalam sebuah kedalaman batin jika manusia benar-benar mau menelusurinya.

Selain itu, buku ini pun tidak sekedar menawarkan kisah para korban berikut refleksinya. Sebagai sebuah buku yang diangkat dari kuliah teologi rekonsiliasi social, buku ini pun mengangkat sebuah wacana untuk rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan hak-hak mereka yang hilang terampas secara paksa sesuai nilai-nilai sila ke 5, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Wacana ini mengajak kita untuk menaruh perhatian pada masalah-masalah nyata di dalam kehidupan ini dan pada konteks korban, rekonsiliasi bermakna lahirnya harapan baru, penyembuhan luka dan mentransedensikan dirinya jauh melampaui dari berbagai peristiwa yang dialaminya melalui penghargaan pada dirinya sebagaimana manusia seutuhnya. Oleh sebab itu, upaya rekonsiliasi jauh lebih penting daripada upaya pembangunan dan tidak perlu direspon seperti suatu alergi atau sekedar membuka luka lama tetapi karena bagaimanapun rekonsiliasi adalah modal awal untuk terciptanya persatuan dan kesatuan yang merupakan pondasi dari pembangunan itu sendiri.

Hal ini tentunya sesuai dengan sila Persatuan Indonesia. Persatuan bukanlah sekedar jargon belaka tetapi dihidupi dalam setiap nafas manusia Indonesia sebagai konsekuensi kehidupan bernegara dan berbangsa di tengah kemajemukan yang ada. Kemajemukan bukanlah penghalang dari persatuan itu sendiri tetapi harus dimaknai sebagai sebuah kekayaan yang seharusnya turut mewarnai dalam suatu harmoni yang mengalun indah. Jangan sampai luka-luka para korban turut terwarisi sampai pada anak cucu yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai peristiwa kelam tersebut.

Sayang, usaha rekonsiliasi yang dirintis bersama untuk memperbaiki kehidupan bernegara ini harus kandas ditengah jalan hanya karena Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada tahun 2007. Padahal diharapkan melalui UU KKR ini menjadi jembatan sekaligus pintu gerbang menuju sebuah kehidupan Indonesia yang lebih baik tanpa mengungkit-ungkit luka lama tanpa melupakan pelajaran dari peristiwa itu sendiri.

E.Penutup

Peristiwa  G 30 S maupun imbasnya telah lewat lebih dari 43 tahun, para eks tapol (tahanan politik) dan keluarganya masih dianaktirikan pemerintah dan masyarakat setempat sampai sekarang. Berbagai tindakan diskriminasi mulai dari sulitnya mencari pekerjaan karena embel-embel cap ex tapol di KTP sampai pada urusan penguburan tulang-belulang para korban karena “dosa PKI” menempel pada diri mereka dan dianggap najis sehingga bumi pun dianggap tidak layak menerima mereka.

Buku ini bisa dianggap sebagai sebuah corong pengingat bahwa perjuangan para korban untuk memperjuangkan nasib dan upaya rekonsiliasi masih eksis sekaligus menjadi sarana yang mampu menyuarakan aspirasi yang selama ini tidak berdaya dan tenggelam di balik hingar-bingar derap pembangunan dan modernisme.

Hendaknya, pancasila yang menjadi elemen pemersatu sekaligus menjadi pandangan hidup  bangsa terus dijiwai dan diresapi di dalam sanubari setiap orang. Sehingga, nilai-nilai pancasila dapat terpancar dalam pola kehidupan berbangsa. Korban di atas hanyalah satu dari komponen dari bangsa ini yang sama sekali belum merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya di Negara yang konon katanya telah merdeka lebih dari 60 tahun silam. Masih banyak komponen lain bangsa ini yang hingga sekarang terus berjuang menemukan kemerdekaannya sebagai manusia. Kini, dengan modal pendidikan nilai pancasila, hati kita diketuk untuk mau dan mampu menjadi seorang utusan.  Ad Maiorem Dei Gloriam….!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun