Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Awasi Perusak Toleransi

19 Oktober 2020   18:00 Diperbarui: 20 Oktober 2020   09:07 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jhon L. Esposito dalam buku modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in Europe and the Middle East (2003) mengungkapkan, dalam tatanan demokrasi, para aktivis LSM, partai politik, asosiasi professional, pendidikan, keuangan, pelayanan Kesehatan, organisasi hak asasi manusia, memungkinkan untuk terlibat. 

Yang menjadi persoalan, apakah peran agama untuk mendukung keberlangsungan sistem demokrasi? Bagaimana bisa agama justru menjadi penghalang dalam menciptakan masyarakat yang demokratis?

Di sini problematik dan dilematis bagi negara dalam rangka mewujudkan demokrasi yang secara epistemologis adalah kesetaraan, musyawarah, kebebasan, persaudaraan, dan toleransi. 

Sebenarnya antara Islam dan demokrasi memiliki suatu kesamaan yang mendasar. Akan tetapi, cita-cita Islam yang inklusif terhadap demokrasi, selalu menjadi batu sandungan bagi negara yang oleh para komunal radikal merusak sistem kerukunan, dan toleransi yang sudah berjalan melalui siaran-siaran kebencian dan propaganda formalisasi syariat.

Pada titik ini, kita dapat menganalisis lebih dalam, ketika memandang Islam sebagai agama perdamaian dan kebebasan, kini oleh segenap umatnya yang mengacau, coba digeser menjadi agama kekuasaan. 

Maka dari itu, pemaknaan konsep agama yang rahmatan lil alamin, berubah menjadi rahmatan lil muslimin dan rahmat bagi kelompok tertentu. Ketika berpikir dan bertindak secara radikal dan merusak itu, sudah barang tentu menjadi suatu perjuangan dalam menegakkan yang dianggapnya benar.

Pendistorsian Islam berbasis SARA semacam itu, begitu tampak dalam beberapa kasus kekerasan dan perilaku diskriminatif terhadap warga negara yang di mata hukum setara, berdasarkan keyakinan agama dan pandangan politik. 

Para pelaku intoleran tidak lagi memandang moralitas sebagai hal yang utama dalam ajaran Islam. Secara normatif, kita perlu mengawasi dan menangkal intensitas para perusak toleransi adalah sebuah bentuk jihad dalam pengertian positif.

Siapapun yang menyakiti, memecah belah; mengadu domba; memprovokasi menimbulkan kegaduhan dan propaganda; menghasut dan seterusnya---melanggar etik toleransi---melalui siaran kebencian semacam itu, harus ditindak dan diproses secara hukum. Akan lebih baik hukum sosial yang berlaku sehingga ada efek jera terhadap pelaku.

Islam ideologis, Islam yang hadir sebagai wacana kekuasaan inilah yang rupanya justru sedang dicoba ditegakkan "kembali" oleh kaum revivalis melalui perjuangan politik mereka yang pada akhirnya, "negara Islam". (Kiai Masdar F. Masudi, 2020: 185). 

Dengan menghalalkan segala cara, baik menggunakan cara-cara merusak kerukunan, pluralitas dan toleransi yang sudah berjalan, maupun dalam tindakan represif terhadap kaum minoritas, akan dibenarkan. Paling mencolok dalam konteks radikalisme dan intoleransi yang terjadi hari ini, adalah akibat dari kebekuan teks ajaran dan siaran kebencian dari para pengkhotbah agama yang menggelegar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun