Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membaca Fundamentalisme Islam Kontemporer

15 Oktober 2020   11:12 Diperbarui: 15 Oktober 2020   11:22 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: suakaonline.com

Maraknya perilaku intoleransi yang mewarnai kehidupan keberagamaan, kian menimbulkan aksi-aksi radikal dan kekerasan. Bibit fundamentalis semakin tumbuh berkecambah menghambat kehidupan. Hal itu tentu saja telah mengganggu kondisi tatanan sosial masyarakat yang semakin memprihatinkan. Kebhinekaan, kemajemukan, dan keberagaman bangsa ini, kembali mendapat tantangan dengan munculnya fundamentalisme ini, bagaimana Indonesia menggapai impian menjadi negara berperadaban di masa depan.

Istilah fundamentalisme berkembang pada abad ke-20, yang bermula dari pengalaman Kristen, tetapi kemudian berkembang untuk agama-agama lain termasuk Islam, yang dikenal dengan sebutan Islamic Fundamentalism (Fundamentalisme Islam). Sebagaimana di kalangan Kristen, fundamentalisme Islam dirujuk pada orientasi dan kelompok keagamaan yang cenderung bersikap konservatif, sebagai kebalikan dari orientasi dan kelompok modernis, yang menolak interpretasi baru yang bersifat liberal dan memahami agama. (Dr. Haedar Nashir, 2013: 209).

Istilah fundamentalisme Islam sebetulnya memiliki dua makna positif dan negatif. Tergantung pada sudut pandang mana kita menilai sikap seseorang yang kita anggap sebagai seorang fundamentalis. 

Penulis sendiri adalah seorang fundamentalis dalam konteks ajaran Islam secara mendasar. Mentaati perintah Allah SWT, dan menjauhi larangan-Nya, serta menjadi Muslim yang tidak sekadar simbolik, melainkan menjalankan kehidupan secara substantif, maka makna fundamentalisme Islam menjadi positif. 

Akan tetapi jika fundamentalis dengan kekakuan simbolisme Islam dan kemudian melakukan aksi-aksi kekerasan, bersikap ekstrem, dan berpikir radikal, maka sikap yang demikian tergolong negatif. Dalam konteks ini, hal yang kita bicarakan adalah kelompok fundamentalisme Islam yang negatif.

Ummat Kristiani yang memahami Bibel, terutama di kalangan Kristen Protestan Anglo Saxon, berpandangan bahwa Bibel harus diinterpretasikan secara literal, demikian disebut dengan kelompok fundamentalisme Kristen. Begitupun fundamentalisme Islam yang menafsirkan al-Quran secara literal, tanpa alat-alat bantu dalam khazanah keilmuan Islam. Kaum fundamentalisme Islam juga menjaga orisinalitas yang tradisionalistis seutuhnya sehingga disebut juga sebagai kaum konservatisme.

Dalam pandangan Profesor Filsafat Hassan Hanafi (l. 1935), seorang pembaharu Islam dari Universitas Kairo, Mesir, fundamentalisme Islam acap kali diidentikkan dengan gerakan revalisme yang mengusung jargon ni'ma al-salaf wa bi'sa al khalaf (sebaik-baiknya generasi adalah generasi pendahulu, sedangkan sejelek-jeleknya generasi adalah generasi belakangan). Revivalisme adalah sebuah gerakan yang ditopang oleh romantisme kejayaan masa lalu dan mengidolakan ajaran-ajaran klasik yang diwariskan oleh generasi pendahulu.

Jika kita menilik sejarah, gerbong revivalisme dimotori oleh Imam Ahmad ibnu Hanbal (780-855), seorang murid Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (767-820), Ibnu Taimiyah (1263-1328), Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (1292-1350), Muhammad bin Abd al-Wahab (1703-1792) dan lainnya. Selain itu, revivalisme juga disuarakan kaum reformis sekaliber Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), dan lainnya.

Sederet nama-nama populer dan ngetop di kalangan pemikiran Islam, Hassan Hanafi menilai fundamentalisme dan revivalisme bukan hanya sebuah gerakan konservatif, regresif, dan antimodernitas, karena diantara tokoh pemikir modern dan kekinian itu, banyak menyokong pandangan progresif sehingga tercerahkan bagi kebangkitan Islam. Lain daripada itu, di antara tokoh-tokoh dengan tingkat intelektualitasnya tersebut telah mengajak ummat Islam melalui tulisannya untuk mengapresiasi sistem demokrasi, menjadi pemikir bebas, rasional, toleran terhadap keragaman sembari menolak fanatisme buta dan eksklusivisme yang menjadi tantangan kontemporer.

Fundamentalisme Islam modern seperti sekarang ini merupakan fenomena yang banyak muncul ke permukaan, akan tetapi sebenarnya sudah banyak muncul sepanjang sejarah peradaban Islam. 

Maka muncul pertanyaan, mengapa Barat lebih maju dan berperadaban? Sementara kaum Muslim menjadi terbelakang? Jawaban dari dua pertanyaan tersebut sebetulnya sederhana, karena ummat Islam perlu kembali menerapkan hal-hal substantif terkait ajaran Islam secara autentik pada kehidupan sosial yang berkeadilan. Pemenuhan hak-hak dasar manusia sebagai nilai-nilai Islam yang sesungguhnya patut diimplementasikan sebagai nilai transenden ritus peribadatan dalam keseharian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun