Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membaca Fundamentalisme Islam Kontemporer

15 Oktober 2020   11:12 Diperbarui: 15 Oktober 2020   11:22 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: suakaonline.com

Polarisasi dan perdebatan antar mazhab telah manambah deretan keterbelakangan Islam. Tidak hanya itu, kaum fundamentalisme Islam dalam dasawarsa terakhir ini yang memaksakan formalisasi syariat ke dalam negara menjadi krisis bangsa itu sendiri yang mengakibatkan dekadensi moral ummat Islam, kian mundur, sedangkan Barat menerapkan tatanan kehidupan pluralis yang sebenarnya menjadi bagian dari nilai-nilai Islam yang konstan.

Ummat Islam perlu disadarkan melalui revitalisasi epistemologis dengan paradigma pendidikan aplikatif yang menyentuh secara langsung terhadap kehidupan bermasyarakat. Sebagian masyarakat kita menerima pengajaran tekstual di sekolah-sekolah agama yang konservatif, sebagian lagi menerima pengajaran dalam lingkaran teknokrat yang tertutup dan eksklusif, terutama di kalangan Muslim urban yang merebak dengan fenomena hijrah. Ditambah, wacana kelompok ini yang gagal memahami fenomena Islam masa lalu, kekinian dan masa depan.

Sebagai akibatnya, kelompok fundamentalisme Islam ini menggelorakan pelbagai bentuk proyek politik dengan tujuan menyatukan seluruh elemen dan sekat-sekat kebangsaan menjadi universalisme Islam. Memberantas kaum yang dianggap kafir sehingga menjadi satu, Islam. Namun, angan-angan dan cita-cita yang hampir mustahil diwujudkan itu berbenturan dengan realitas, karena itu, mereka sering disebut sebagai kaum utopis yang fantasinya hanya ada dalam mimpi di siang bolong.

Yang disayangkan adalah fundamentalisme Islam dalam bentuk radikal dan ektrem. Melalui aksi-aksi dengan gaya perlente simbolik, seruan-seruan pengobar api kemarahan yang tidak pada tempatnya seperti takbir, jihad, tauhid, kafir, dan sebagainya, lalu bertindak dengan memprovokasi, bertindak anarki, mengintimidasi, memukul, mempersekusi, bahkan membunuh manusia yang jelas-jelas terlarang dalam ajaran agama manapun.

Islam tidak membenarkan fundamentalisme Islam radikal, intoleran dan keras. Bahkan justru mencoreng wajah Islam yang sebetulnya agama perdamaian. Agama-agama besar di dunia memiliki tujuan sama yaitu menegakkan kedamaian dan keadilan di bumi ini. Agama di mana saja, tidak hanya Islam, misi utamanya adalah damai dan keadilan. Dalam al-Quran kata damai disebut dalam kata as-salam dan as-salim, sebanyak 157 kali. (Abdul Jamil Wahab, M.SI, 2019: 245).

Yang dibutuhkan adalah Islam sebagai spirit. Kalau kita bicara spirit keadilan, justru di sinilah syariat Islam yang universal, bersifat menyeluruh, tidak hanya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara secara khusus. (Kiai Masdar, 2020: 143). Karenanya menjadi penting untuk berislam secara substantif, tidak perlu menonjolkan simbolisasi keberislaman kita, karena sesungguhnya Islam adalah hal yang privat secara ritual, akan tetapi kesalehan sosial yang transendental.

Mengakhiri tulisan ini, penulis sekali lagi menegaskan, bahwa berislam dan beriman secara terbuka dan percaya diri dalam bentuk silaturahim (persaudaraan) dan sosial empatik, semakin menghindari pola pikir fundamentalisme Islam dan kekerasan mengatasnamakan agama. Ummat Islam perlu menjadi fundamental dalam bentuk ritual ajaran keberislaman sejati dengan menghargai perbedaan, menyadari keragaman, melindungi minoritas yang ada, dan menegakkan keadilan. 

Setelah ini, dengan pemahaman fenomena fundamentalisme Islam, kesadaran hidup berdampingan secara damai di tengah-tengah masyarakat yang merupakan simbol Indonesia yang beragam, semakin kuat dalam rangka meneguhkan kebhinekaan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun