Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Waspada Politik Fabrikasi Kemarahan

9 Oktober 2020   16:40 Diperbarui: 9 Oktober 2020   17:29 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Pinterest

Tanpa disadari, kita terjebak dalam politik fabrikasi. Istilah fabrikasi memang jarang terdengar dan terlihat dalam konstelasi politik negeri ini. Namun, sebenarnya kita telah lama mengikuti arus pelaku fabrikasi dalam konstelasi kekuasaan di negeri ini. Baik tingkat nasional, maupun daerah; eksekutif, maupun legislatif, menggunakan model kampanye demagogi dalam membangun narasi-narasi yang membangkitkan suhu politik di tengah masyarakat, sampai mendidih.

Insiden yang terjadi, dilakukan oleh beberapa kelompok radikalis intoleran terhadap orang yang berbeda keyakinan, kian menambah statistik aksi kekerasan, akibat beberapa fabrikasi wacana dari kelompok yang tidak menginginkan ketenangan dan perdamaian berlangsung. Fabrikasi teror terus dilancarkan dengan rapi dan sistematis, sampai pada akar rumput.

Upaya menghasut yang sebetulnya hanya tipuan buatan, seolah-olah negara sedang dalam kondisi darurat akibat pemerintah yang tidak becus mengurus negara. Membangun paradigma keresahan, kecemasan, ketakutan, kepanikan, kedengkian, dan penuh kebencian yang digelorakan oleh kelompok anti-pemerintah. Memprovokasi dengan tujuan meningkatkan persoalan negara dan membuat kondisi negara, semakin runyam. Kemudian masyarakat akan marah dan berakhir pemberontakan.

Memprovokasi rakyat, sebetulnya bukan hal yang cenderung negatif apabila diperhatikan dalam sudut pandang hukum positif. Misalnya pidato Bung Karno di depan rakyat yang berapi-api, meletupkan semangat atau memotivasi rakyat dalam upaya melawan hegemoni kolonialis, demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

Haryatmoko, seorang dosen pascasarjana Universitas Indonesia (UI), menulis di Kompas pada hari selasa (25/4/2006), dengan judul demagogi dan komunikasi politik, menyebutkan bahwa politikus cenderung demagog. Ia bisa menyesuaikan dengan situasi yang paling membingungkan dengan menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Ia bisa menunjukkan berbagai peran sehingga membuat tindakannya efektif di dalam situasi yang beragam.

Argumen Haryatmoko dalam membaca komunikasi politik seorang demagog, bergantung pada situasi wacana yang sedang menggelayuti rakyat, kemudian mencoba masuk ke dalamnya dan menampilkan sosok dirinya sebagai pahlawan pada situasi tersebut, kemudian mulai merangsek pada fabrikasi isu-isu yang membangkitkan temperatur guncangan emosional masyarakat, hingga menimbulkan impresi dalam format aksi kekerasan. 

Sebagai contoh, wacana yang dikembangkan Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo, tepat menjelang 30 september 2020 terkait pengembangan kasus di masa lalu, yakni Gerakan 30 September atau G30S/PKI, dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sebagai mesin politik demagognya, dengan tujuan meluncurkan fabrikasi wacana yang kembali membangkitkan tensi emosi pada dendam sejarah. Bukan menyelamatkan, malah semakin membuat runyam kondisi negara.

Membaca fabrikasi wacana yang begitu efektif untuk menggalang dukungan politik narsisme, cukup sederhana. Mereka yang menggunakan mekanisme fabrikasi wacana, memiliki ciri-ciri yang menonjol. Pertama, seorang demagog, akan berusaha menyusun sejumlah fabrikasi pengganti wacana yang ada, dengan rapi. Kemudian mencari kambing hitam terhadap kelompok atau individu tertentu untuk dijadikan target atas segala persoalan yang membelit, memelihara kebencian, menumbuhkan, bahkan memperkuatnya dengan sejumlah aksi. 

Setelah itu, tahap keduanya adalah menyerang identitas pribadi si kambing hitam (suku, ras, etnis, agama, golongan) yang menjadi target sasarannya itu, dengan penuh rasa kebencian tak terkira. Dan terakhir, membuat skema penyederhanaan suatu persoalan yang ada sehingga terlihat efektif dan meyakinkan, mengklaim hal-hal yang di luar kebenaran, bahkan mendistorsi suatu fakta yang terjadi.

Praksis wacana penghapusan kelompok radikal di dunia akademisi, terutama perguruan tinggi negeri kian mencuat, pimpinan Fraksi  Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) MPR RI, Al Muzammil Yusuf berupaya menyusun fabrikasi distorsi dengan menuduh kampus UI telah melegalkan seks bebas, pada bulan september 2020 yang lalu. 

Fabrikasi semacam inilah  yang merusak tatanan demokrasi bangsa ini. Akibatnya, kebencian merebak dimana-mana. Maka, tak jarang reaksi yang begitu masif dari pembenci golongan yang berbeda, meski di dalamnya mengandung kebenaran. Jika kebencian telah tertanam mengakar ke dalam sanubari, selanjutnya adalah terciptanya kekerasan yang mengakibatkan pembelahan dua kutub sehingga tidak lagi moral dan akal sehat yang dipakai, melainkan sebagai suporter egoisme kelompok dan individu si penyusun fabrikasi.

Seorang yang membelah dua kutub wacana, tidak lebih dari seorang penghasut dan penipu ulung demi meraih simpati dan dukungan, dengan penuh janji-janji mengatasnamakan rakyat, mereka merobek sendi-sendi kebangsaan pada perkembangan demokrasi saat ini. Efek resiko yang diakibatkan teror fabrikasi tidak hanya perpecahan, melainkan juga rakyat yang kehilangan kekuasaan tertinggi, sebab secara eksplisit komplotan elit politik yang memainkan fabrikasi. Rakyat hanya sekadar objek berebut, pelaku teror fabrikasi yang memanfaatkan kebebasan sistem demokrasi untuk merusak tatanan sosial-politik.

Belakangan, fabrikasi wacana agama semakin dijadikan sihir untuk menghipnotis rakyat untuk berselancar dalam aksi demagogi yang kian absolut dalam legitimasi dimensi politik kekuasaan. Persoalannya adalah politik berujung menang dan kalah, sementara agama adalah panduan moralitas. Di sinilah kemudian moralitas pelaku narsisme politik yang menggunakan instrumen agama, menjadi tidak bermoral sama sekali.

Betul agama dikatakan sebagai hal yang inklusif, akan tapi realita di permukaan tidak menunjukkan hal itu. Faktanya pelaku narsisme yang membuka fabrikasi wacana, juga muncul dari penceramah, pengkhotbah, dan ulama yang dianggap paling bermoral dan pemegang otoritas pesan Tuhan. Mereka yang menghasut permusuhan terhadap golongan atau keyakinan yang berbeda pandangan, menabur benih wacana kebencian kepada kelompok atau individu tertentu, mencaci-maki dengan ucapan penuh sumpah serapah diiringi doa kengerian, bukan hanya seorang politisi, melainkan sebagian tokoh agama yang cukup digandrungi ummat. Bahkan sesama ahli kiblat tak luput menjadi target serangannya.

Dalam buku saku karya KH. Husein Muhammad dan Siti Aminah yang berjudul Menangkal Siaran Kebencian: Perspektif Islam (2017),  disebutkan bahwa penebar kebencian diarahkan bukan hanya terhadap agama lain (eksternal), melainkan juga terhadap paham, mazhab atau pandangan keagamaan dalam agama yang sama, atau di dalam internal ummat beragama.

Penulis jadi teringat kata-kata yang cukup fenomenal dari Ibu Raden Ayu Kartini (1879-1904), “Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang dilakukan atas nama agama?.” Mereka dikelompokkan sebagai kaum fundamentalisme.

Pengkhotbah agama yang menyiarkan kebencian secara terbuka di ruang-ruang publik seperti media sosial, atau ceramah-ceramah yang bertema kekerasan, berimplikasi pada kemarahan jamaah dan memunculkan suatu gerakan secara radikal dan sporadis. Masyarakat yang seolah-olah menjadi “serdadu Tuhan” di muka bumi, wajib menertibkan pelbagai keanekaragaman yang ada, menjadi satu pemahaman. Pemahaman berdasarkan mereka saja yang dianggap paling benar dan suci. 

Oleh karena itu, sistem demokrasi yang kita anut harus lebih dipahami dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara ini, pemahaman demokrasi hanya satu titik fokus, yakni politik kekuasaan. Aspek demokrasi lainnya perlu diperhatikan yang meliputi budaya, sosial, ekonomi, agama dan lainnya agar dapat lurus sebagaimana mestinya sehingga meminimalisir disparitas yang terjadi.

Melalui pendekatan pendidikan politik terhadap kewaspadaan dalam wacana fabrikasi teror di tengah masyarakat, akan sangat penting dalam rangka memperkokoh dan merekonstruksi demokrasi kebangsaan dan membentengi kebhinekaan secara integral. Setidaknya mengurangi perilaku demagogi melalui fabrikasi teror yang menipu, melahirkan kemarahan dan pemberontakan demi meraih simpatik kekuasaan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun