Seorang yang membelah dua kutub wacana, tidak lebih dari seorang penghasut dan penipu ulung demi meraih simpati dan dukungan, dengan penuh janji-janji mengatasnamakan rakyat, mereka merobek sendi-sendi kebangsaan pada perkembangan demokrasi saat ini. Efek resiko yang diakibatkan teror fabrikasi tidak hanya perpecahan, melainkan juga rakyat yang kehilangan kekuasaan tertinggi, sebab secara eksplisit komplotan elit politik yang memainkan fabrikasi. Rakyat hanya sekadar objek berebut, pelaku teror fabrikasi yang memanfaatkan kebebasan sistem demokrasi untuk merusak tatanan sosial-politik.
Belakangan, fabrikasi wacana agama semakin dijadikan sihir untuk menghipnotis rakyat untuk berselancar dalam aksi demagogi yang kian absolut dalam legitimasi dimensi politik kekuasaan. Persoalannya adalah politik berujung menang dan kalah, sementara agama adalah panduan moralitas. Di sinilah kemudian moralitas pelaku narsisme politik yang menggunakan instrumen agama, menjadi tidak bermoral sama sekali.
Betul agama dikatakan sebagai hal yang inklusif, akan tapi realita di permukaan tidak menunjukkan hal itu. Faktanya pelaku narsisme yang membuka fabrikasi wacana, juga muncul dari penceramah, pengkhotbah, dan ulama yang dianggap paling bermoral dan pemegang otoritas pesan Tuhan. Mereka yang menghasut permusuhan terhadap golongan atau keyakinan yang berbeda pandangan, menabur benih wacana kebencian kepada kelompok atau individu tertentu, mencaci-maki dengan ucapan penuh sumpah serapah diiringi doa kengerian, bukan hanya seorang politisi, melainkan sebagian tokoh agama yang cukup digandrungi ummat. Bahkan sesama ahli kiblat tak luput menjadi target serangannya.
Dalam buku saku karya KH. Husein Muhammad dan Siti Aminah yang berjudul Menangkal Siaran Kebencian: Perspektif Islam (2017), disebutkan bahwa penebar kebencian diarahkan bukan hanya terhadap agama lain (eksternal), melainkan juga terhadap paham, mazhab atau pandangan keagamaan dalam agama yang sama, atau di dalam internal ummat beragama.
Penulis jadi teringat kata-kata yang cukup fenomenal dari Ibu Raden Ayu Kartini (1879-1904), “Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang dilakukan atas nama agama?.” Mereka dikelompokkan sebagai kaum fundamentalisme.
Pengkhotbah agama yang menyiarkan kebencian secara terbuka di ruang-ruang publik seperti media sosial, atau ceramah-ceramah yang bertema kekerasan, berimplikasi pada kemarahan jamaah dan memunculkan suatu gerakan secara radikal dan sporadis. Masyarakat yang seolah-olah menjadi “serdadu Tuhan” di muka bumi, wajib menertibkan pelbagai keanekaragaman yang ada, menjadi satu pemahaman. Pemahaman berdasarkan mereka saja yang dianggap paling benar dan suci.
Oleh karena itu, sistem demokrasi yang kita anut harus lebih dipahami dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara ini, pemahaman demokrasi hanya satu titik fokus, yakni politik kekuasaan. Aspek demokrasi lainnya perlu diperhatikan yang meliputi budaya, sosial, ekonomi, agama dan lainnya agar dapat lurus sebagaimana mestinya sehingga meminimalisir disparitas yang terjadi.
Melalui pendekatan pendidikan politik terhadap kewaspadaan dalam wacana fabrikasi teror di tengah masyarakat, akan sangat penting dalam rangka memperkokoh dan merekonstruksi demokrasi kebangsaan dan membentengi kebhinekaan secara integral. Setidaknya mengurangi perilaku demagogi melalui fabrikasi teror yang menipu, melahirkan kemarahan dan pemberontakan demi meraih simpatik kekuasaan politik.