Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKI Tidak Akan Pernah Bangkit

1 Oktober 2020   15:00 Diperbarui: 1 Oktober 2020   15:11 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: jurnalintelijen.com

Buruk muka cermin dibelah. Demikianlah pikiran beberapa pihak elit politikus dalam meniupkan kabar angin bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka lebih memilih isu yang tidak tepat sasaran.  Banyak isu yang lebih krusial untuk dikritisi jika benar-benar datang dari hati nurani. Misalnya, keputusan melangsungkan Pilkada saat pandemi Covid-19 sedang naik. Tak hanya vaksinasi, Covid-19 harus tetap ditangani secara komprehensif. Ekonomi yang terus menurun, meski tidak disebabkan oleh Covid-19. Sektor Pendidikan dan kebudayaan yang tidak mendapatkan solusi yang efektif. Membangkitkan sektor pariwisata di masa pandemi, dan berbagai isu lainnya terus menjadi catatan yang harus disuarakan.

Akan tetapi tidak demikian, pihak oposisi lebih memilih isu dalam rangka menaikkan popularitas diri. Kata peribahasa, Memagar diri bagai aur. Memiliki hasrat berpolitik tanpa mengindahkan situasi dan kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini, yakni wabah pandemi. Meminjam bahasa Menteri Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan: "Tolong dikontrol birahi kekuasaannya". Rupanya beberapa pihak yang berkepentingan, sudah berambisi untuk menduduki sejumlah kursi dengan melempar isu basi PKI.

Narasi peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI, selalu hadir pada bulan september setiap tahun, bagai musim kemarau yang terik. Selalu panas! Luka pedih yang dirasakan korban keganasan insiden berdarah itu, tidak selayaknya dibuka kembali. Mengingat, rekonsiliasi alami dan kultural pada akar rumput sudah dilakukan semenjak dahulu kala. Demi kepentingan pribadi dan kelompok, kini luka lama itu kembali dibuka oleh segelintir orang. 

Dilarangnya PKI beserta ideologinya, termaktub dalam Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang segala bentuk penyebaran paham PKI, Komunisme, Marxisme-Leninisme, masih berlaku. Ketetapan itu diperkuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melalui Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999, atas perubahan pasal 107 KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. 

Tindakan pidana mulai dimasukkan ke dalam KUHP sebagai konsekuensi atas dicabutnya Undang-undang Nomor 11 Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi.

Dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang telah dijadikan dasar yang mengikat, dapat menindak pelaku penyebar ajaran dan paham PKI, Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Apalagi dalam Undang-undang tersebut, ada penambahan pada Pasal 107 KUHP. Pemerintah akan melarang dan menindak secara hukum pidana jika ada yang berani menyebarkan paham ideologi PKI dalam berbagai bentuk.

Elit politik selalu membenturkan melalui isu yang tidak lagi relevan, membelah masyarakat dalam dua kutub yang bertentangan. Paradigma itu sudah saatnya dirubah demi kepentingan pembangunan nasional ke depan yang jauh lebih menantang. Tidak berkutat pada realita yang sesungguhnya tak ada persoalan. Justru kita harus memandang pentingnya membumikan rekonsiliasi masa lalu yang senantiasa kita suarakan demi berlangsungnya  harmoni Kebhinekaan.

Mengutip Degung Santikarma (2003), bila kita menginginkan rekonsiliasi yang benar, kita harus juga dapat mengubah pikiran kita. Juga cara kita memaknai sejarah terhadap diri kita dan juga sesama kita. Sebagai orang beriman, tentu kita diajarkan untuk senantiasa jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. 

Mampu sekuat tenaga memaafkan siapa saja yang kita anggap sebagai lawan dan musuh. Jika peristiwa G30S/PKI selalu didengungkan, maka berapa orang yang kita sakiti? Luka tragedi pada peristiwa yang terus terngiang oleh para korban. Fakta sejarah yang tidak mungkin dimungkiri. Namun, korban keganasan peristiwa tersebut, tidak akan terus menerus meratapi dan terjebak kebengisan pelaku. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Amelia Ahmad Yani (2010) bahwa rasa takut, sedih dan sakit pasti ada, tetapi semua rasa itu sudah dikubur dalam-dalam. Luka itu sudah disembuhkan dengan cara mereka masing-masing.

Mempelajari sejarah masa lalu memang penting, namun tidak untuk dipolitisasi untuk membangkitkan suhu emosi masyarakat. Akibatnya, bekas luka lama terbuka kembali. Histori kolektif generasi masa lalu tentang kisah kegigihan, kreatifitas, dan daya juang lebih penting digelorakan untuk generasi masa kini. Karenanya, tidak ada dasar dan fakta yang jelas dari apa yang dituduhkan beberapa pihak terkait bangkitnya PKI. Sebuah desain isu untuk membangun paranoia; penuh khayalan; menimbulkan ketakutan dan keresahan di tengah masyarakat.

Kita semua telah belajar sejarah kelam tersebut agar tidak terulang. Kesadaran, rekonsiliasi dan saling memaafkan dalam masyarakat itu yang kemudian menjadi fakta kebangkitan PKI itu, tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Tidak akan ada yang berani lagi membangkitkan PKI. Memang PKI tidak akan pernah bangkit, sebab selain akan terjerat Undang-undang lalu dipidana. Membangun kerjasama dan gotong royong lebih utama, ketimbang membangkitkan dendam sejarah yang tidak ada gunanya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun