Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Menghidupkan Kembali Hantu PKI

28 September 2020   12:00 Diperbarui: 28 September 2020   19:26 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kebumenypkp65.blogspot.com

Narasi Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi isu lapuk menjelang 30 September setiap tahunnya. Secara politik biasanya isu ini muncul dari mulut besar oposisi atau pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Sejumlah kelompok konservatif Islam juga turut menjerit dengan suara pekik melengking mengumandangkan partai terlarang itu sejak 54 tahun lalu.

Suara usang isu PKI itu keluar dari mantan Panglima TNI Jendral Purnawirawan Gatot Nurmantyo, yang masih menyimpan dendam terhadap pergantian posisi Panglima TNI empat bulan sebelum waktu pensiunnya berakhir. Pergantian Panglima TNI dari Gatot Numantyo ke suksesinya Marsekal Hadi Tjahyanto, terjadi pada bulan Desember 2017. Sedangkan Gatot Nurmantyo memasuki akhir pensiun pada 1 April 2018. Hal itu yang kemudian dijadikannya alasan untuk mendakwa PDIP sekaligus menuding ada gerakan PKI dalam tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Selain itu, berdasarkan keterangan yang dilansir portal online republika.co.id pada hari Selasa (22/9/20), bahwa ia mengaku pergantian TNI pada waktu itu, lantaran memutar film Gerakan 30 Septermber atau PKI (G30S/PKI) pada Tahun 2017 yang lalu. Ia mengklaim sudah mengetahui PKI gaya baru itu semenjak tahun 2008.

Tak hanya mantan Panglima TNI, kelompok konservatif Islam, sebut saja Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama), dan Presidium Alumni 212 (PA 212) juga turut mendengungkan rumor uzur bangkitnya PKI. Mereka membuat selebaran berupa ajakan menonton kembali film G30SPKI.

Ancaman PKI bangkit, bukan barang baru yang coba digulirkan oleh beberapa pihak-pihak berkepentingan, atau didisposisikan oleh pemerintahan. Bahkan pascareformasi, desas desus itupun sudah marak diperbincangkan oleh banyak kalangan terkait benar tidaknya PKI itu akan bangkit. Isu PKI selalu menghangat pada dinding-dinding portal media yang berseliweran di banyak platform jaringan maya.

Dalam buku Politik Media Mengemas Berita (1999) karya Bimo Nugroho dkk, mengungkapkan bahwa isu PKI adalah suatu peristiwa, realitas sosial, tapi menjadi berbeda ketika media mengangkat realitas tersebut. Fakta yang serupa akan berbeda ketika diekspos oleh media.

Framing media sangat mempengaruhi publik ketika sudut pandang ideologi wartawan yang disajikan berbeda. Jika kita analisis, beberapa media akan lebih condong pada komunisme sebagai ideologi sudah dianggap tidak layak diperdebatkan seiring perkembangan zaman. Sebagian lagi akan memandang bahwa sejarah kelam tahun 1965 PKI, menjadi sebuah trauma yang mendalam di tengah masyarakat. Hal itulah yang kemudian hingga hari ini, kita masih menggosipkan ideologi usang itu.

Terlepas dari frame media, penulis mempunyai pandangan tersendiri mengenai isu lapuk ini. Kita ambil contoh misalnya, ajakan nonton bareng film G30SPKI yang diproduksi pada tahun 1981 itu, mulai diputar setiap tahunnya sampai tahun 1998. Pada era pemerintahan Presiden B.J. Habibie, film tersebut ditinjau ulang dan dihapuskan atau tidak ditayangkan kembali setiap tahun. 

Ketika itu, Letnan Jendral TNI (Purn.) Muhammad Yunus Yosfiah, menjabat sebagai Menteri Penerangan yang mengumumkan perihal film G30S/PKI. Penjelasan tersebut cukup mematahkan tuduhan bahwa yang menolak untuk menonton film itu adalah PKI. Karena ternyata bukan PKI yang meminta untuk tidak ditayangkan atau dihapuskan, akan tetapi Jendral Angkatan Darat itu sendiri yang mengumumkannya.

Lalu, diera Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dikepalai oleh Prof. Juwono Sudarsono, membentuk tim khusus yang diperuntukkan dalam peninjauan ulang kembali mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Pelajaran sejarah yang beredar, dianggap memuat banyak peristiwa tidak benar. Lantas, Prof. Juwono juga dituduh PKI? Sama sekali keliru, ia adalah seorang profesor, akademisi yang terpelajar dan terdidik.

Selanjutnya, di era kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), publik dikagetkan dengan sebuah keputusan kontroversial. Yakni, mencoba menghapuskan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme. Alasan Gus Dur dalam usaha pencabutan Tap MPRS adalah karena Tap MPRS itu menjadi dasar diskriminasi kepada orang yang dianggap bersalah yang pada kenyataannya tidak bersalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun