Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Sakinah dalam Khazanah Islam

27 September 2020   10:00 Diperbarui: 27 September 2020   10:29 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia terus dilanda konflik kekerasan bernuansa SARA. Dari mulai Khilafah, sampai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah. Padahal sejarah tidak membentuk Indonesia menjadi negara agama. Indonesia juga bukan negara sekuler, melainkan negara Pancasila. Naskah UUD 1945 sebagai landasan konstitusi pemerintah, dan kemajemukan dalam pluralitas, disimbolkan dalam cita-cita bersama satu tujuan itu, Bhineka Tunggal Ika.

Belum lama ini, beredar viral sebuah video kegiatan peribadatan jemaat pada sebuah rumah hunian di Cikarang, Bekasi Jawa Barat, pada minggu (13/9/2020). Rumah tersebut, dijadikan tempat ibadah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), diprotes sejumlah warga yang merasa terusik dengan teriakan dan yel-yel yang mengganggu. Hal itu dipandang ironis oleh banyak warganet, mengingat perilaku demikian sama sekali tidak mencerminkan pluralitas yang telah lama mengakar di tengah masyarakat Indonesia. Tidak mencerminkan kemajemukan bangsa, sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Dengan dalih tanpa izin pemda setempat dan rumah hunian diubahfungsikan menjadi tempat ibadah dengan legalitas tidak jelas, mereka mengklaim terdepan membela Islam. Padahal sesungguhnya perbuatan radikal itulah yang telah mencoreng agama Islam. Dalam hal ini, aparat penegak hukum bersikap lamban, tidak tegas dan cenderung membela kelompok intoleran itu.

Semestinya, jika ada suatu pelanggaran tertentu di lingkungan sekitar kita, alangkah baiknya dibicarakan dan diselesaikan secara bermusyawarah. Jika tidak bisa juga, maka laporkan pada pihak terkait, baik pemda setempat, ataupun aparat keamanan. Tidak bertindak dengan cara-cara premanisme dan kekerasan, karena Indonesia adalah negara hukum, bukan negara rimba yang sekehendaknya memaksa orang untuk berhenti beribadah. Negara ini sudah sangat  jelas, menyandang aturan dan undang-undang yang mengikat.

Jika terjadi hal serupa, cobalah untuk diingatkan, bukan "aksi-demonstrasi" sebagaimana dalam video yang beredar. Sebagai orang beriman, sudah sepatutnya menggunakan mekanisme yang baik dan beradab---tidak menggunakan kekerasan---dengan makruf. Islam berarti salam dalam bahasa Arab. Makna Islam adalah perdamaian. Islam juga berarti ketenangan dan keselamatan.

Menurut Cendekiawan Muslim AS dan Kanada, Abdullah Yusuf Ali, dalam karyanya The Glorious Quran (1977), menegaskan, bahwa kata salam memiliki setidaknya enam makna, yang mencakup makna keamanan dan keabadian dalam pengertian yang non-duniawi, kesehatan, keterpeliharaan atau keselamatan, ucapan salam, penyerahan diri secara ikhlas, serta kebebasan dari unsur-unsur yang mengganggu.

Idealnya, umat Islam selalu menciptakan sesuatu yang kondusif dan selalu menggunakan pendekatan win-win. Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis Nabi, senantiasa mengarahkan kehidupan dalam rangka menciptakan stabilitas perdamaian. Islam juga menghargai hak-hak dasar setiap manusia, tanpa memandang latar belakang primordial apapun, baik agama, suku, ras, etnis, warna kulit, maupun gender.  

Argumen di atas, secara umum telah termaktub dalam peraturan perundang-undangan pada konstitusi hukum negara. Hal itu merupakan prinsip dasar yang telah diakui secara resmi. Namun, pada kenyataannya, masih saja kita menemukan insiden kesenjangan sosial yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, segala hal yang demikian bertentangan dengan agama, harus kita kritisi, bahwa sebetulnya kita adalah orang-orang dengan moralitas cukup baik di mata bangsa lain.

Sementara di Barat, banyak kalangan yang masih memandang stereotip Islam dan kitab sucinya yang kaku, keras dan ekstrem---suatu narasi yang jauh dari kebenaran. Nabi Muhammad SAW dalam kehidupannya, senantiasa menciptakan kerukunan. Gambaran pada kehidupan era jahiliyah, di mana golongan yang beriman kepada Allah SWT berhasil hidup dalam kepungan orang-orang kafir yang radikal dan intoleran di Makkah, ataupun tempat lainnya. 

Oleh karenanya, Nabi Muhammad SAW membentuk negara yang multikultural dengan menyatukan beragam perbedaan yang ada. Nabi telah mencerminkan sebuah aliansi politik bersama agama monoteis lainnnya, yakni Kristen dan Yahudi untuk membangun keselamatan. Aliansi politik yang dibentuk oleh Nabi pada Tahun 620-an Masehi, dimaksudkan untuk menahan serangan kaum kafir Quraisy, dan bukan untuk berperang, menindas, dan memaksa bangsa lain untuk beriman dalam Islam.

Konsepsi rabbaniyah (ketuhanan) yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah tentang sakinah, sebagai istilah untuk kedamaian spiritual. Konsepsi tersebut dimaksudkan bagi Muslimin yang beriman untuk menahan penganiyaan yang dilakukan oleh kaum kafir dengan penuh ketenangan dan kesabaran. Selain itu, Konsepsi sakinah juga diperuntukkan dalam menghadapi para pasukan angkatan perang yang demam peperangan, suka mengamuk. Fakta tersebut terbukti benar ketika Nabi Muhammad SAW. Secara damai memasuki kota Makkah pada Tahun 630 Masehi, tanpa pertumpahan darah.

Jatuhnya kafir Quraisy membuat banyak Arab badui turut bergabung bersama iring-iringan Muslimin beriman. Nabi Muhammad SAW memastikan penduduk Makkah, bahwa tidak akan ada pertempuran berdarah dan perampasan barang jarahan. Nabi pun menegaskan, untuk melawan mereka yang kafir, jahat, dan yang telah melakukan intimidasi serta berperilaku keras terhadap orang-orang beriman, harus dibalas dengan kebaikan. Selain itu, Nabi juga menyeru untuk selalu mendoakan kedamaian dan kesejahteraan bagi musuh, dan tentu saja menganjurkan pengampunan. Inilah perilaku Nabi yang mengagumkan. 

Rekonsiliasi yang ditempuh Nabi, dapat mengubah paradigma kaum Quraisy militan dan radikal terhadap Islam, seperti Abu Sufyan dan Khalid bin Walid, pada akhirnya luluh dengan pancaran akhlak Nabi---memeluk Islam. Peristiwa tersebut dikenal dengan Fatkhu Mekkah.

Kita semua adalah umat Nabi Muhammad SAW. Mengapa  sebagian pihak dari kita tidak mengikuti jejaknya? Tidakkah merasa larut dan terharu dengan sifat cucu Shaybah bin Hasyim (Abdul Muthalib) itu berkilau bagai bintang yang jatuh dari langit ketinggian? Akankah kita tetap menolak hal-hal yang dicontohkan Nabi? Banyak kisah yang patut kita teladani bersama sisi perangai Nabi yang memukau kaum kafir Quraisy hingga akhirnya mengikuti ajaran Al-Quran yang indah. Spiritualitas yang dibangun Nabi bukan hanya soal syariat dan ritual peribadatan, akhlak yang paling utama.

Insiden yang dialami oleh Syekh Ali Jaber pada minggu (13/9/2020) di Lampung, telah mengingatkan kita semua perihal ajaran Nabi yang sesungguhnya. Dengan memaafkan pelaku penusukan, Syekh Ali Jaber memberikan ajaran dakwah Islam yang sebenarnya kepada khalayak. Bahkan tidak menghendaki kasusnya diseret ke wilayah politik. Pengaruh pemberian maaf sangat dibutuhkan tanpa kepentingan politis apapun dalam masa sekarang ini untuk dijadikan sebagai tradisi keagamaan yang akan dihormati sepanjang masa, sebagaimana Nabi Muhammad SAW dengan budi pekertinya.

Ironisnya, sebagian orang yang mengaku beriman, justru menyeret insiden tersebut ke arena politik, dengan isu yang sudah usang. Dia yang mengaku ulama, sama sekali jauh dari cerminan Islam dan Rasul dengan provokasinya yang tidak bermutu. Mereka membuka wacana pemecahbelahan dan rivalitas masa lampau, antara Islam dan hantu PKI. Jika saja mereka sedikit mendapat hidayah dari Allah SWT dengan sedikit membaca karakter Nabi, mereka juga akan memaafkan. Karena memaafkan adalah obat penawar paling mujarab terhadap tindakan-tindakan keji di masa lalu. 

Selain itu, memaafkan juga dapat menghapus stigma dan propaganda, provokasi, dan menyiram api kobaran suhu panas politik. Lebih dari itu, memaafkan juga dapat mengubah hubungan-hubungan sosial yang kembali suci. Menatap masa depan dalam lingkaran perdamaian yang indah.

Karena itu, mari bercermin sekaligus merevitalisasi laku lampah kita semua, tak terkecuali diri penulis agar senantiasa meneladani jalan yang ditempuh Nabi, dalam menjalani kehidupan sehingga dapat meningkatkan kualitas keimanan, demi terwujudnya perangai Islam yang sejati. Perdamaian tak akan terwujud tanpa adanya saling memaafkan, sadar dan ikhlas dalam menerima segala perbedaan manusia, dalam rangka membangun kehidupan bersama yang sakinah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun