Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kejahatan Atas Nama Agama, Kejahatan Terbesar

11 September 2020   19:20 Diperbarui: 11 September 2020   19:36 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bom bunuh diri masih menjadi ancaman serius di negeri ini. Faktanya, dalam sepuluh tahun terakhir masih terjadi bom bunuh diri di beberapa daerah. Yang paling memilukan, peristiwa pada rentetan bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, dua Tahun lalu. Bom bunuh diri itu, melibatkan keluarga dan anak-anak, sungguh kejadian keji dan amat tragis. Peristiwa itu terjadi di tiga gereja, Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya, dan di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Insiden tersebut memberi kesan pada banyak kalangan, bahwa antara agama dan kekerasan sangat menyatu. Idealnya, agama adalah petunjuk manusia dalam kehidupan ini dengan tujuan menjadi manusia yang beradab, berempati pada sesama, dan menaati serta menjauhi larangan yang diperintahkan Tuhan. Namun dalam pelaksanannya, beberapa pihak yang mengaku sebagai orang beriman telah menjadi lawan daripada agama itu sendiri.

Dalam sejarah, fitnah kubro pascatahkim dapat menjelaskan relasi antara agama dan kekerasan. Yaitu, saat Abdurrahman bin Muljam al-Murodi mengkafirkan Imam Ali bin Abi Thalib, karena bermusyawarah dengan Muawiyah dan Hawasyi. 

Abdurrahman bin Muljam mengacungkan dan menghunuskan pedang beracun pada Imam Ali bin Abi Thalib, saat bangkit dari sujud shalat subuh di Masjid Agung Kuffah, tepat pada tanggal 19 ramadhan Tahun 40 Hijriyah, atau bertepatan dengan tanggal 26 januari 661 Masehi, seraya berkata, "Hanya Allah hakim sesungguhnya, bukan dirimu, wahai Ali."

Peristiwa yang teramat memilukan dan akan menjadi sebuah catatan dalam memori umat Islam tersebut, adalah sebuah potret kebiadaban kelompok khawarij di masa lalu dengan mengatasnamakan agama sebagai pembenar tindakan kejamnya. Dan hari ini, banyak sebagian kelompok Islam dengan pola pikir serupa, sungguh mengkhawatirkan.

Gejala sebagian umat Islam saat ini, seolah menjadi generasi penerus Abdurrahman bin Muljam, atau bisa kita sebut neo-khawarij. Situasi puritanisme agama demikian itu, kian banyak dialami sebagian pihak umat Islam di sekitar kita sekarang ini.

Di permukaan, mudah saja kita perhatikan beberapa orang dengan ciri-ciri sebagaimana di atas, baik di medsos, ataupun di kehidupan nyata. Misalnya saja, kita lihat dari segi penampilan tampak orang saleh, ada bekas sujud di dahi, dan bersuara lantang mengenai harusnya menegakkan syariat Islam, yang pada umumnya terkandung unsur politik di dalamnya.

Selain itu, menanggapi sesuatu secara reaksioner pada hal-hal yang bertentangan (menurut pembenaran dirinya), menawarkan kebenaran-kebenaran Tuhan dengan kaidah yang sebetulnya jauh dari ajaran Islam. Umpamanya, mengkafirkan sesama Muslim (lebih lagi non-Muslim).

Fenomena tersebut pernah terjadi jauh sebelum kejadian kelompok khawarij itu muncul, yakni saat zaman Rasulullah SAW. Waktu itu, Rasul membagikan harta rampasan perang (ghanimah) pascaperang Hunain, kepada orang-orang yang baru saja masuk Islam dengan jumlah yang lebih besar, seperti tokoh-tokoh besar Quraisy, Abu Sufyan bin Harb termasuk putranya Muawiyah bin Abu Sufyan, Suhail bin Amir, Uyainah bin Hishn dan beberapa kabilah lainnya.

Melihat kenyataan itu, maka timbul rasa ketidakpuasan dari Bani Tamim, yakni Dzul Khuwaisirah yang menghampiri Rasul seraya berkata, "wahai Rasulullah, sungguh engkau tidak adil." 

Kemudian Rasulullah SAW di akhir perdebatan mengatakan: Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al-Quran, bacaanmu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalatmu daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasamu. Mereka membaca Al-Quran dan mereka menyangka bahwa Al-Quran itu adalah petunjuk bagi mereka, namun ternyata Al-Quran itu adalah bencana atas mereka, yakni mereka mengira Al-Quran membenarkan mereka, padahal mereka bertentangan. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah yang melesat dari sasaran buruannya. (HR. Muslim: 1068). 

Bagaimana mungkin tidak mempercayai Rasul dan menuduh Rasulullah SAW bertindak sebagai orang yang tidak adil. Ini adalah satu kebodohan yang menuju pada kesesatan.

Melihat kenyataan yang terjadi di masa lalu, Imam Al-Ghazali kemudian mengkritik teologi tekstual khawarij, bahkan membangun ilmu kalam dalam moderasi beragama, yang mengelaborasikan antara rasionalitas akal ala Qadariyyah, dan tekstualitas ala Jabariyyah.

Akal memiliki batasan, tidak mungkin sempurna dengan mendewakan akal. Sedangkan Al-Quran serta hadis tidak bisa dipahami secara literalis, sehingga  yang muncul adalah kelompok fundamentalisme Islam dengan pemahaman yang sempit dan ekstrem. Kedua kelompok tersebut masih berada di tengah umat Islam masa kini, dan pemikiran Imam Al-Ghazali masih sangat relevan sampai hari ini.

Dengan begitu, tatkala banyak umat Islam yang terjebak tekstualis sebagaimana kelompok Khawarij, akan berdampak pada perilaku kekerasan, kaku, dan ekstrem dalam beragama yang melahirkan radikalis. Sebaliknya, para penghamba akal banyak melahirkan pemahaman liberal.

KH. Adib Rofiudin Izza, sesepuh Buntet Peantren, Cirebon, Jawa Barat, yang juga guru penulis, pernah menasehati dengan penuh lemah lembut dalam menanggapi fenomena perilaku kekerasan mengatasnamakan agama. Ia berujar, "Orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama, mereka adalah termasuk hubbul khairi waljahlu fil 'ilmi (senang dalam kebaikan, tapi kurang dalam ilmunya)." Implementasi dari nilai ibadah umat Islam, tercermin pada perilaku dan keilmuan yang dimiliki, sehingga emosional (hawa nafsu) dalam diri tetap terkendali.

Oleh karenanya, kita harus terus belajar memahami sejatinya Islam, seperti yang telah dibawa oleh Wali Songo menggunakan metode persatuan budaya dan tradisi setempat, dengan membawa kedamaian dan keharmonisan, yang tidak sama sekali memakai istitilah "kafir" dalam membawakan dakwah Islam ke bumi pertwi ini.

Jika pengkafiran itu dilakukan oleh para Wali, sang pembawa risalah Nabi ke Nusantara ini secara otomatis tidak ada satu orangpun yang akan memeluk agama Islam, kemudian para Wali itu akan ditolak dan diusir dari tanah kepulauan ini. Dengan begitu, kemungkinan besarnya hari ini kita masih menganut  agama nenek moyang.

Dengan melakukan sebuah kejahatan mengatasnamakan agama sebagaimana telah penulis paparkan di paragraf awal, menyimpulkan bahwa itu adalah sebuah kejahatan yang paling buruk di abad 20-21 sekarang ini. Kita semua patut berhati-hati dan senantiasa banyak mengkaji keilmuan agama secara komprehensif agar pandangan kita tetap moderat dalam beragama.

Sebagaimana Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Said Aqil Siradj pernah mengutarakan, "Perbuatan paling dzalim di muka bumi ini adalah melakukan kejahatan atas nama agama." Hal ini tentu saja merupakan sebuah renungan kita bersama, dan juga sebagai peringatan, agar tidak terjabak pada kesesatan. Yang seharusnya kita menghamba kepada Tuhan, akan tetapi justru menghamba kepada setan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun