Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berdirilah di Tengah, Bukan di Posisi Khilafah

15 Agustus 2020   10:10 Diperbarui: 15 Agustus 2020   10:15 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan politik di negara kita akhir-akhir ini diantaranya ditandai oleh banyaknya partai, faksi, organisasi dan golongan yang beragama Islam. Hal tersebut dibuktikan ketika klaim Hizbut Tahrir mengenai sejarah di Nusantara, kian mengaburkan fakta. Pada minggu, (2/8/20). Melalui talk show Jejak Khilafah di Nusantara di youtube Khilafah Channel, menyatakan kesultanan di Nusantara adalah sistem Khilafah. 

Kenyataannya, sistem khilafah itu terpusat di Timur Tengah, di Nusantara tetap dalam bentuk kerajaan-kerajaan. Terlebih mereka mencatut Prof Peter Carey dari Universitas Oxford, pakar sejarah perang Jawa dari Inggris. Maka dengan ini, Hizbut Tahrir mencoba menipu masyarakat Indonesia, untuk sebuah kepentingan politik partainya merebut Tanah Air.

Dalam bahasa Arab, partai disebut hizbun. Maka hizbullah berarti partai Allah. Hizbut Tahrir artinya Partai Pembebasan. Ada juga partai yang diistilahkan syi'atun. Kelompok Syiah dalam Islam yang kita kenal sebenarnya adalah Syi'atu Ali, artinya Partai Ali. Bahkan tidak hanya partai Ali, ada juga partai Muawiyah (Syi'atu Mu'awiyah), partai Utsman (Syi'atu Utsman) dan lain sebagainya.

Dalam Islam kita sudah sangat mengenal istilah Ukhuwah Islamiyah, yaitu, suatu persaudaraan berdasarkan agama. Pada perkembangannya, umat Islam selalu terpecah belah, saling menyerang,  dan saling menghancurkan satu sama lain, bahkan secara historis, hanya karena  berbeda  faham, bisa saling bunuh. Biasanya dilatarbelakangi oleh kepentingan politik.

Nabi Muhammad SAW. Banyak berpesan, ketika ada orang Islam yang meninggal, maka jenazahnya segera dikuburkan. Akan tetapi itu tidak terjadi pada jenazah beliau sendiri. Di Tsaqifah Bani Sa'idah terjadi perdebatan siapa yang menggantikan Nabi. Bahkan hampir terjadi pertumpahan darah. Akan tetapi Sayyidina Umar Bin Khattab dapat meredam dan meminta semuanya untuk menyetujui Sayyidina Abu Bakar sebagai pengganti Nabi.

Dari situ kemudian muncullah istilah Khalifah, tapi khalifah bukan dalam pengertian Al-Qur'an, bahwa manusia adalah khalifatullah fil-ardh. Manusia adalah khalifah Allah di bumi. Dengan tindakan Sayyidina Umar tersebut, maka muncul pengertian lain khalifah pengganti Nabi, yakni Sayyidina Abu Bakar.

Kemudian Sayyidina Umar menggantikan Sayyidina Abu Bakar yang pada waktu itu dikenal dengan khalifatul-khalifah yang berarti penggantinya pengganti. Sayyidina Umar kemudian berpikir ada kecanggungan dengan istilah itu. Umar mengatakan, "Jangan-jangan pengganti saya disebut khalifatu khalifatu khalifatul-khalifah (Pengganti penggantinya pengganti), oleh karena itu panggil saja saya dengan sebutan Amirul Mu'minin." 

Istilah tersebut berarti pemimpinnya orang beriman. Semua itu muncul yang dalam istilah sekarang disebut  ijtihad politik. Saat itu, situasinya sedang dalam ancaman perpecahan bahkan pertumpahan darah.

Ketika itu, umat Islam terbagi dalam tiga golongan. Pertama, golongan aristokrasi Makkah yakni Bani Umayyah dengan kekayaan juga pengalaman dalam pemerintahan. Kedua, kelompok populis atau sosialis saleh yang dipimpin oleh Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, beranggotakan seperti Sahabat Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari. Dan golongan ketiga adalah kelompok moderate yang dipimpin oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Ketiga kelompok tersebut saling berebut kuasa, akan tetapi dimenangkan oleh kelompok moderate dua kali berturut-turut, khalifah pertama dan yang kedua.

Khalifah yang ketiga dimenangkan oleh aristokrat. Sayyidina Utsman Bin Affan sendiri adalah bagian dari Bani Umayyah, pewaris kaum konglomerat Makkah yang sebagian besar masuk Islam paling akhir. Karena itulah Sayyidina Utsman mendapatkan perlawanan hebat dari oposisi yang keras, hingga tidak dapat dihindari lagi terjadinya pertumpahan darah dan pembunuhan.

Saat penduduk Madinah dipimpin oleh Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Abbas, dan Abdullah Bin Mas'ud, mencoba untuk mengembalikan pada esensi agama, dan tidak terlibat dalam faksi Muawiyyah maupun Ali. Mereka mencoba mementingkan universalisme Islam tanpa memperhatikan aliran politik. Mereka jugalah bibit yang nantinya dikenal dengan golongan Ahlusunnah Wal Jama'ah. Mengembalikan agama pada fungsinya, keilmuan dan akhlakul karimah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun