"Jika perang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan akan dipicu oleh air", kalimat ini diucapkan Ismail Serageldin, Wakil Presiden Bank Dunia pada 1996. Kini, kalimat itu kian menjadi nyata!
 Vandana Shiva dalam bukunya Water Wars bahkan menggunakan istilah blood for waters, konflik air yang memicu pertumpahan darah. Beragam konflik dan perang berpotensi terjadi di berbagai belahan bumi dengan satu alasan, perebutan air!
Negara adidaya Amerika Serikat sekali pun tak luput dihadapkan pada kenyataan pahit, perang air dengan negara tetangganya, Mexico.
Menurut Bloomberg, konflik air ini dimulai sejak 1944. Dalam perjanjian bilateral antara kedua negara, Mexico harus mengirim 1,75 juta acre-feet atau hampir 500.000 meter kubik air ke AS selama lima tahun, atau rata-rata 100.000 meter kubik per tahun. Namun sejak awal 1990-an, Mexico gagal memenuhi komitmennya terhadap perjanjian tersebut. Salah satu pemicunya adalah perubahan iklim yang memicu kekeringan panjang di Mexico.
Perang Air India dan Pakistan
Perjanjian ini ditandatangani pada 19 September 1960, membagi sumber daya air secara adil. India memiliki kendali atas 30% dari total air dengan kontrol penuh pada "Sungai Timur", yaitu Beas, Ravi dan Sutlej. Sedangkan Pakistan memegang kendali 70% dari total air, dengan kendali pada "Sungai Barat", yaitu Indus, Chenab dan Jhekum.
Namun kenyataannya, perselisihan masih kerap terjadi. Selama bertahun-tahun, Pakistan dan India telah menempuh jalur hukum untuk mencapai kata sepakat, ditengahi oleh Bank Dunia.
Pakistan menolak beberapa proyek infrastruktur sumber daya air dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) India, dengan alasan bahwa proyek-proyek tersebut akan mengurangi debit aliran sungai dan melanggar perjanjian.
Sementara itu, India terus berupaya untuk meninjau dan mengubah perjanjian Indus, dengan alasan perubahan kebutuhan dari semula berfokus hanya untuk keperluan irigasi dan air minum bergeser menjadi untuk pembangkit hydropower.