Mohon tunggu...
Elvidayanty Darkasih
Elvidayanty Darkasih Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Email : elvi.jambi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suka Duka Tinggal di Rumah Orang Lain: Jadi Upik Abu, Tukang Ojeg, hingga Diperlakukan seperti Anak Sendiri (2)

6 Agustus 2020   15:06 Diperbarui: 6 Agustus 2020   16:54 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari, salah satu koran harian lokal di Jambi mengumumkan lowongan pekerjaan untuk stasiun radio yang baru beroperasi. Kebetulan saya punya pengalaman pernah bekerja di radio swasta, punya kemampuan tehnik editing audio, dan beberapa kali menang fellowship untuk liputan feature radio. Saya mencoba melamar untuk posisi tim kreatif. Radio baru, belum ada apa-apa selain izin siar, frekuensi, studio dan perangkat siaran. Belum punya program siaran dan belum ada penyiarnya. 

Saya diterima di radio tersebut. Dalam waktu 2 bulan, saya dibebankan pekerjaan tambahan sebagai penanggung jawab penuh untuk operasional harian radio. Saya bertanggung jawab untuk program, menjadi penyiar, sekaligus soal teknis perangkat siaran. Untuk perangkat teknis, saya baru belajar saat 2 bulan pertama saya bekerja di radio tersebut.

Saya bersyukur bisa mendapat ilmu tambahan tentang radio. Pemilik radio sering memotivasi saya saat mengajarkan berbagai perangkat pemancar siaran. Untungnya, saya cukup familiar dengan peralatan servis elektronik karena almarhum orangtua pernah punya bengkel servis elektronik. Mungkin, karena melihat kesungguhan saya juga, pemilik radio semangat mengajarkan saya segala hal yang berkaitan dengan peralatan studio.  Dan setelah yakin saya mampu mengurus operasional harian, pemilik radio menyerahkan radio tersebut untuk saya kelola dengan baik. 

Sebenarnya, ada 2 orang yang diterima bekerja di radio tersebut selain saya. Keduanya mengundurkan diri karena merasa tidak sesuai beban kerja dengan honor yang diterima. Sementara saya, setelah mendapat beban tambahan pekerjaan, tanpa saya minta, pemilik radio menaikkan gaji saya 30 persen. Padahal, masa kerja saya baru 2 bulan. 

Karena jarak studio dari rumah saya lumayan jauh, pemilik radio menawarkan saya untuk mencari tempat tinggal yang dekat dengan studio. Jika terjadi sesuatu dengan peralatan di studio, saya bisa lebih cepat tiba di studio. Biaya sewa tempat tinggal tersebut, akan ditanggung oleh kantor. 

Setelah beberapa hari mencari, saya akhirnya mendapatkan kost yang tidak jauh dari studio. Jaraknya hanya 5 menit dengan kendaran sepeda motor. Uang sewa kost ditambahkan pemilik radio ke gaji yang saya terima. 

Awalnya, saya meminta kamar kost di luar rumah induk. Tapi pemilik kost beralasan kamar kost yang di luar sudah penuh dan meminta saya tinggal di kamar yang tersedia di rumah induk. Itu artinya, saya akan bergabung dengan keluarga pemilik kost. Menggunakan kamar mandi bersama dengan pemilik kost. Tapi, karena kamarnya cukup luas dan perabotannya masih baru, saya akhirnya menerima tawaran tersebut. Belakangan saya tahu, itu hanya akal-akalan pemilik kost. Karena kamar yang di luar rumah induk lebih laris. Padahal, saat saya datang mencari kost, ada dua kamar kost di luar rumah induk yang kosong.

Setiap hari, saya pergi ke studio sebelum pukul 8 pagi. Karena masih uji coba siaran, saya hanya menyusun playlist lagu. Memastikan peralatan dalam kondisi baik. Saat lapar, saya bisa tinggalkan studio sebentar untuk pulang ke kost dan makan siang. Saya bisa menitipkan studio pada office boy yang tinggal di studio. Jika lelah, saya bisa tidur siang di kost.

Kadang, saya tidur siang di studio. Saya menikmati pekerjaan tersebut meskipun banyak hal yang harus saya urus sendiri. Pemilik radio sudah jarang datang ke studio sejak radio tersebut diserahkan ke saya untuk dikelola. Saya membuka lowongan kerja kembali untuk membantu saya di radio. Dan menjelang pelamar yang cocok datang, saya benar-benar sendirian mengelola radio tersebut. Dari pagi sampai malam hari. 

Hari itu, saya baru bisa tertidur setelah sholat subuh. Saya menyetel alarm pukul 07.30 pagi, karena masih siaran percobaan, radio baru on air di pukul 08.00 pagi. Saya juga berpesan sama ibu kost untuk dibangunkan pukul 07.30 pagi karena harus ke studio. Saat saya mendengar pintu kamar saya diketok, saya mengira sudah pukul 07.30 pagi. Saya hanya menyahut pendek memberi tanda kalo saya sudah bangun. Tapi, suara anak ibu kost di luar terus memanggil saya sambil mengetok pintu kamar. Saya melihat jam, baru pukul 06.45 pagi. Saya membuka pintu kamar, dan anak perempuan ibu kost sudah berdiri di depan kamar saya dengan seragam sekolahnya. "Kak, mama minta tolong Kakak antarin aku ke sekolah pake motor." 

"Sekolahnya kan dekat, Dek. Jalan kaki paling 10-15 menit. Kakak masih capek dan ngantuk berat." Jawab saya. "Kakak baru pulang kerja jam 11 malam, dan baru bisa tidur subuh tadi." Saya meminta pengertiannya. 

"Minta tolong antarin adikmu ke sekolah ya, Vi. Dia gak biasa jalan kaki, ibu masih masak, tanggung kalo harus mengantar dia ke sekolah." Teriakan ibu kost terdengar dari dapur. "Pas lah itu, habis mengantar adikmu, kamu mandibdan berangkat kerja." 

Saya terpaksa mengantar anak ibu kost ke sekolah. Dalam hati berharap, semoga ini tidak menjadi kewajiban setiap pagi. Pengalaman di desa saat tinggal di rumah kades masih membekas sampai sekarang.

Tapi, setelah itu, setiap pagi kamar saya diketok, dimintai tolong untuk mengantar anak ibu kost ke sekolah. Kadang, jika benar-benar mengantuk, saya pura-pura tidak mendengar. Anak ibu kost kadang sampai menangis di depan kamar saya karena saya tak kunjung membuka pintu kamar. Jika saya pulang ke kost siang hari untuk makan siang, ibu kost juga meminta saya menjemput anaknya dulu saat jam pulang sekolah baru saya balik lagi ke studio. Akhirnya, saya lebih sering masak di studio dan tidak pulang ke kost saat jam makan siang. Ibu kost akan menelpon saya berkali-kali, mengingatkan saya untuk menjemput anaknya di sekolah. Dan selalu saya jawab, saya tidak bisa keluar dari studio karena banyak pekerjaan. 

Lain waktu, si ibu kost meminta saya menggantikan dia datang ke sekolah untuk rapat wali murid. Padahal sekolah anaknya, hanya berbatasan tembok dengan pagar rumahnya. Oh iya, ibu kost ini punya dua orang anak. Yang satu sekolah di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), jarak sekolahnya tidak sampai 1 kilometer dari rumahnya. Anak ibu kost yang satunya sekolah di sekolah dasar (SD). Sekolah yang jaraknya hanya berbatasan dengan tembok pagar rumah ibu kost. Ibu kost ini bukan ibu pekerja kantoran, sehari-hari lebih sering mengawasi kontrakan kamar yang dia miliki. Suaminya jarang di rumah, karena punya usaha di luar kota. 

Saya mulai merasa tidak betah. Saya bayar sewa kamar kost supaya saya nyaman bekerja dan bisa istirahat yang cukup. Tapi, jika urusan antar anak sekolah, bahkan sampai urusan rapat wali murid dibebankan ke saya, itu sudah di luar kewajaran tugas saya untuk membantu pemilik kost. 

Belum genap sebulan, saya sudah pindah kost. Dan di tempat kost yang baru, saya bisa bertahan hingga 4 bulan. Setelah ada tambahan beberapa kru di radio, saya balik lagi tinggal di rumah saya sendiri. Meskipun sudah balik lagi ke rumah sendiri, uang sewa kamar kost yang tiap bulan diberikan bos, tetap diakumulasi dalam gaji bulanan saya.

Bos saya bilang, "anggap saja itu untuk mengganti biaya transportasi dari rumah kamu ke studio. Kadang, dalam bekerja itu, bukan hanya soal kamu disiplin atau tidak. Tapi, kamu paham mana yang pantas, dan mana yang tidak pantas. Itu sebabnya saya tidak pernah marah setiap melihat kamu ketiduran di studio. Karena saya paham bagaimana lelahnya kamu mengurus radio sendirian." 

Nah, jadi ibu kost juga harusnya paham. Mana yang pantas dan mana yang tidak pantas saat meminta bantuan dari anak kost. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun