Mohon tunggu...
Elvidayanty Darkasih
Elvidayanty Darkasih Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Email : elvi.jambi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suka-duka Tinggal di Rumah Orang Lain: Jadi Upik Abu, Tukang Ojeg, hingga Diperlakukan seperti Anak Sendiri (1)

5 Agustus 2020   14:04 Diperbarui: 5 Agustus 2020   14:32 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak bekerja, saya kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Jika memungkinkan sewa kamar atau kost, saya merasa lebih nyaman tinggal sendiri, kecuali saya kenal baik dengan keluarga tersebut. Tapi, ada kalanya saya tidak punya pilihan dan harus tinggal bersama keluarga lain. 

Satu kali, saya pernah bekerja sebagai pendamping desa di kawasan pantai timur, Jambi. Menjadi penyuluh agar pantai tidak abrasi, dan hutan mangrove dengan segala potensi keanekaragaman hayatinya terjaga, adalah tugas saya selama di desa. 

Saat datang pertamakali ke desa, saya menginap di rumah kepala desa. Kepala desa dan isterinya meminta saya tinggal di rumah mereka ketika saya bertanya tempat kost atau rumah di desa yang mungkin bisa saya sewa. Karena segan, saya menerima tawaran tersebut. 

Kepala desa memiliki dua orang anak perempuan, yang satu kelas 2 sekolah dasar (SD), dan yang satunya lagi, kelas 2 sekolah menengah pertama (SMP). Selain kepala desa dan kedua puterinya, ada juga 2 orang keponakan kepala desa yang tinggal di keluarga tersebut.

Yang satu laki-laki, sudah tamat sekolah menengah atas (SMA) dan bertugas membantu pekerjaan kepala desa, terutama di bagian administrasi. Keponakan kepala desa yang perempuan, sebaya dengan puterinya yang SMP.

Lalu, ada juga saudara perempuan pak kades dan ayah pak kades yang tinggal di rumah tersebut. Saya tinggal di kamar ukuran 3 x 4 meter dengan saudara perempuan dan keponakan pak kades. 

Keesokan hari, hingga siang saya tidak melihat ada yang memasak di dapur. Sementara perut saya lapar. Kebetulan ada penjual sayur keliling lewat di depan rumah pak kades, saya kemudian berbelanja sayuran, bumbu dan ikan. Karena listrik di desa hanya menyala saat malam hari, saya tidak bisa menggunakan blender, terpaksa mengulek sambal dengan cobek.

Selesai makan, saya berjalan keliling desa, berkenalan dengan penduduk desa, membaca potensi desa, sambil bertanya tempat kost yang mungkin ada di desa. Saya baru pulang ke rumah pak kades setelah hari menjelang magrib, perut saya kenyang dengan camilan singkong dan jagung saat saya mampir ke rumah salah satu warga desa. 

Saat pulang ke rumah kades, makanan yang masak sebelum saya pergi sudah habis. Hingga habis magrib, saya tidak melihat ada aktivitas memasak di dapur. Karena perut saya masih kenyang, usai shalat magrib dan mengaji, saya membuat catatan kegiatan yang saya lakukan sepanjang hari. 

"Elvi sudah makan?" Tanya isteri pak kades. Saya cerita kegiatan saya sepanjang hari termasuk perut saya yang masih kenyang. 

Hampir jam 9 malam, saya baru melihat isteri pak kades memasak, dibantu saudara perempuan pak kades. "Duh...jam segini baru mau masak buat makan malam? Apa saja kerja mereka tadi sore?" Ucap saya dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun