Mohon tunggu...
Elsen Adiarta Chrisnando
Elsen Adiarta Chrisnando Mohon Tunggu... Mahasiswa - Laki-Laki

Masih Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Opini: Mengapa Hukum Indonesia Tajam ke Bawah dan Tumpul ke Atas

27 April 2021   06:17 Diperbarui: 27 April 2021   20:53 26005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lady Justice - Photo by Tingey Injury Law Firm on unsplash.com

UUD 1945 pasal 28 D ayat 1, bahwa "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Di dalam pasal tersebut tercantum kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, artinya setiap warga negara memiliki hak yang sama dan tidak dibanding bandingkan berdasarkan kekayaan, status, jabatan ataupun keturunan.

Jika saat ini pasal tersebut masih diterapkan, mengapa muncul ungkapan Hukum Indonesia Tajam Kebawah dan Tumpul Keatas? Berkaca pada apa yang terjadi di Indonesia, Menurut saya pernyataan ini muncul berdasarkan berbagai kontroversi dari putusan hakim dalam mengimplementasikan penegakan hukum di Indonesia, terutama hukum pidana.

Masih ingatkah anda tentang kasus Bapak Aspuri yang dipenjara 5 tahun hanya karena mengambil kain lusuh yang sebenarnya sudah dibuang? Lalu juga ketika Nenek Minah yang mendapat tuntutan 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan karena mencuri 3 buah kakao seharga Rp 2.000 yang pada akhirnya dikembalikan lagi? Lalu ketika pria lanjut usia bernama Busrin yang dipidana 2 tahun dan denda 2 milyar, hanya karena menebang pohon mangrove untuk dibuatnya bahan bakar memasak. Dan yang paling kontroversi adalah ketika Nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang kayu jati berukuran 15cm milik Perum Perhutani, dipenjara 5 tahun.

Apabila dilihat dari segi isi hukum, Pasal 10 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya memungkinkan hakim untuk menjatuhi pidana berupa mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, maupun pidana tutupan, tergantung ancaman pidana dari pasal yang dilanggar. Dikarenakan pasal tersebut, mungkin majelis hakim tidak memiliki pilihan lain selain mengirimnya ke penjara. Namun haruskah mereka mendapatkan tuntutan 2 tahun? 5 Tahun? dan 2 Milyar? Hanya untuk kesalahan yang terhitung sepele dan tidak terlalu merugikan banyak orang. Secara empiris, memang benar bahwa mereka melakukan kesalahan, namun apakah tidak ada keringanan melihat fungsi dari hukum adalah untuk menegakkan Hak Asasi Manusia.

Hal ini justru berbanding terbalik ketika hukum menghadapi kasus kasus besar yang dilakukan oleh mereka yang notabenenya adalah kaum borjuis.  Salah satunya adalah kasus korupsi mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah. Dalam pelanggarannnya, Ratu telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan kepada Amir Hamzah dan Kasmin.

Apabila 2 kasus diatas dilihat berdasarkan seberapa besar kerugian yang disebabkan, saya rasa pelanggaran yang dilakukan mantan gubernur Ratu Atut lebih parah, namun mengapakah hukum yang dituntutkan kepada Nenek Asyani, Bapak Aspuri, dan Bapak Busrin justru terlihat lebih berat? Jawabannya adalah karena "Hukum itu Ekslusif", hal ini berdasarkan kondisi budaya hukum secara empiris, dimana hanya yang berduitlah yang bisa mengaksesnya secara maksimal. Ini merupakan sebuah opini dari saya, tentang mengapakah hukum indonesia terlihat tajam kebawah dan tumpul ke atas.

Kondisi masyarakat Indonesia saat ini, masih banyak yang tidak mengerti hukum, sehingga ketika mereka tidak bersama dengan kuasa hukum disamping mereka, tuntutan dan serangan demi serangan diterima langsung tanpa adanya pembelaan yang teoritis berdasar hukum, karena perlu untuk diketahui, bahwa dalam sidang, yang menang adalah yang berhasil menggunakan hukum secara maksimal.

Dan seperti yang telah diketahui, menyewa pengacara yang benar benar membela itu butuh perjanjian, dan perjanjian pasti berhubungan dengan uang. Inilah faktor yang membuat kaum proletar cenderung memasrahkan semuanya kepada hakim, "semoga saja pak hakim menggunakan akal sehat dan nuraninya untuk melindungi kemanusiaan".  

Memang benar bahwa saat ini ada Pos Bantuan Hukum yang menyediakan layanan bantuan hukum berupa konsultasi, informasi, dan advis hukum. Secara konseptual, bantuan hukum merupakan pemberian jasa hukum kepada masyarakat miskin untuk mewujudkan prinsip kesamaan di muka hukum. Namun disejumlah aturan yang tersebar itu, bantuan hukum diprogramkan dan dikerjakan untuk pemberian jasa hukum bagi pejabat ataupun perusahaan perusahaan negara. Melihat kondisi tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan aturan yang disebut SEMA untuk pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin.

Bila memang Pos Bantuan Hukum diciptakan untuk membantu semua orang di muka hukum, kembali lagi ke pertanyaan awal, mengapa hukum masih terlihat tajam kebawah dan tumpul diatas? Apakah kurang sosialisasi? Ataukah karena "gratisan" ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun