Mohon tunggu...
Suryan Masrin
Suryan Masrin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis Pemula, Guru SD Negeri 10 Muntok (sekarang), SD Negeri 14 Parittiga, pemerhati manuskrip/naskah kuno lokal Bangka, guru blogger

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menggelitik Warisan Tradisi Tulis Menulis Arab Melayu di Bangka yang Mulai Langka

24 Maret 2020   10:23 Diperbarui: 24 Maret 2020   10:24 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kata 'menggelitik' dalam judul tulisan ini tidak semata-mata hanya sekedar penghias judul saja. Ada maksud yang ingin penulis sampaikan kekhalayak, bahwa betapa mirisnya nilai dan ciri khas di negeri melayu ini kini sudah banyak tergerus oleh 'kejamnya' arus modernisasi. Kini sudah mulai jauh dari tradisi yang menjadi kekhasan rumpun melayu itu sendiri. Bahkan tradisi-tradisi melayu tersebut kian hari semakin pudar dan langka tersingkir oleh budaya kekinian.

Penulis menyadari pengetahuan keilmuan tentang kemelayuan ini hanya seujung jari keliling yang dimiliki. Akan tetapi, ini sebagai bentuk rasa kepedulian seorang generasi dari tanah melayu. Merasa terusik dengan tradisi dan budaya melayu, khususnya di tanah Bangka Belitung yang memiliki semboyan 'Negeri Serumpun Sebalai'.

Tradisi yang menggelitik penulis untuk dituangkan dalam tulisan ini adalah tradisi tulis menulis beraksara Arab Melayu atau Jawi yang lebih dikenal di tengah masyarakat Bangka dengan sebutan 'Arab Gundul'. Ketertarikan ini berawal dari penelusuran penulis terhadap manuskrip-manuskrip kuno yang ada di Bangka, dengan kepulauan tanpa sebuah kerajaan, namun memiliki tradisi tersebut. Meskipun sebagian besar dilakukan oleh orang tua terdahulu secara otodidak, hanya mengandalkan belajar dari 'Nek Akek' terdahulu, yang tentunya tidak semua dilanjutkan oleh anak keturunannya.

Hal ini mulai tampak ketika mulai hadirnya sekolah-sekolah kolonial di negeri ini (bukan menyalahkan). Selain segudang manfaat yang diberikan oleh sekolah-sekolah tersebut, ini merupakan babak awal hal tersebut dimulai. Ini sebenarnya tidak terjadi secara besar-besaran, jikalau generasi peduli dan sadar dengan sejarah tanah melayu.

Sekarang coba tanyakan, berapa banyak generasi tua saat ini yang masih bisa tak hanya sekedar membaca, tetapi juga menulis dan tentunya menjalankan tradisi tersebut, sekalipun di dunia pesantren dan atau sekolah-sekolah agama. Terlebih bila ditanyakan kepada generasi muda yang katanya disebut sebagai generasi melenial.

Pernah suatu ketika, teman penulis yang juga tertarik dengan sejarah lokal (Bangka Belitung) bercerita, "guru agama (Islam) alangkah naifnya jika tidak pandai menulis tulisan yang beraksara Arab Melayu atau Jawi ini". Penulis jadi terdiam seribu kata dengan kata-kata tersebut. Bagaimana tidak, kenyataan memang banyak sekali guru agama tersebut yang tidak lagi pandai dengan tulisan tersebut, termasuk penulis sendiri.

Namun demikian, para guru agama tersebut tidaklah juga seutuhnya salah dengan tak pandai tulisan tersebut, tetapi yang menjadi salah adalah tidak adanya kepedulian dalam diri guru guru tersebut (sekedar teguran untuk pribadi penulis). Dari sinilah penulis mulai menumbuhkan rasa kepedulian tersebut, dan kini mulai menggoreskan tinta untuk menulis aksara Arab Melayu.

Sekedar sebuah informasi, Bangka sendiri kita tahu bahwa sejarah yang ditulis menggunakan aksara Arab Melayu atau Jawi terdapat 2 buah, yang dua-duanya berada di Leiden Belanda, dengan kode Or. 68 tahun 1861 dan Cod. Or. 2285 tahun 1879. Artinya ini merupakan sebagai bukti bahwa tradisi ini memang telah ada di negeri ini.

Selain itu, juga ada manuskrip kitab 'Asrar al Insan' karya ulama Aceh syekh Nuruddin Ar Raniry di kampung Peradong, manuskrip tentang tarekat Naqsyabandiyah Infasiyah di kampung Berang, dan lembaran yang tidak utuh lagi tentang beribadah di kampung Pal 1 dan Pal 3 Mentok,  juga ada di kampung Kundi, Pelangas, dan lainnya di wilayah pulau Bangka.

Semoga dengan tulisan singkat yang tidak begitu beraturan ini menjadikan sebagai pemicu untuk tumbuhnya rasa kepedulian dan melanjutkan tradisi ini, kini dan seterusnya, hingga dunia tidak berujung lagi.

Jebu Laut, 27 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun