Mohon tunggu...
Elra Azmi
Elra Azmi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa di Universitas Negeri Medan

Mahasiswa, hobi menulis, penyuka musik hiphop.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekilas Mengenal Adat Suku Karo

20 April 2021   11:07 Diperbarui: 20 April 2021   16:26 13922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
karo.siap-online.com

Daliken Si Telu berasal dari Bahasa Karo, Daliken bermakna tungku batu tempat memasak sedangkan Si telu adalah tiga, jadi Daliken Si Telu berarti tiga tungku batu, ketiga tungku batu itu digunakan ketika ingin memasak hingga membentuk segitiga yang memiliki ruang di ketiga sisinya, dari sisi tersebut kemudian dimasukkan kayu sebagai bahan bakar. Pada umumnya masyarakat Karo dahulu menggunakan tungku batu untuk memasak makanan dan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya ketiga tungku itu sebagai tiang penyangga dari tempat masak berdasarkan cara memasak tersebut kemudian masyarakat Karo memahami yang disebut dengan Daliken Si Telu. Tungku atau tiang penyangga dalam susunan Daliken Si Telu itu ialah: Sembuyak/Senina/Sukut, Kalimbubu, dan Anak Beru.

Sistem kekerabatan Daliken Si Telu ini digunakan baik dalam acara-acara adat, pesta pernikahan, memasuki Rumah baru, kemalangan dan termasuk juga dalam menyelesaikan permasalahan sosial pada masyarakat Karo seperti persengketaan tanah, kecelakaan dan lain sebagainya. Tidak ada derajat khusus atau yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah pada keluarga atau kelompok marga tertentu, karena pada dasarnya semua kelompok marga adalah sama dan sederajat, setiap masyarakat Karo adalah raja sehingga antar satu dengan yang lainnya harus saling menghormati. Pada rangkuman Daliken Si telu posisi Kalimbubu dan Anak beru hanya berlaku pada saat upacara adat dan hajatan tersebut saja, keluarga atau kelompok marga yang berposisi sebagai Kalimbubu pada upcara adat tertentu bisa pula menjadi Anak beru atau sukut pada upacara adat yang lain.

Kalimbubu adalah tuan yang harus dilayani, sedangkan Anak beru adalah pekerja atau pelayanan bagi Kalimbubu. Pada upacara pernikahan misalnya Kalimbubu adalah golongan saudara lakilaki atau ayah dari pihak istri yang mempunyai hajat dan Anak berunya adalah pihak yang ingin menikahi saudara perempuan dari yang punya hajat atau pesta adat. Pihak Sukut yang ingin melaksankan suatu hajat atau upacara adat tertentu maka terlebih dahulu ia melakukan permusyawaratan yang dibantu oleh Senina. Senina tidak hanya berperan dalam membantu permusyawaratan tetapi juga sebagai mediator yang menghubungkan antara Kalimbubu dan Anak beru terkait hajatan atau upacara yang akan dilaksanakan.

Oleh karena itu Senina haruslah orang terpilih berdasarkan kesepakatan keluarga bersama karena ia juga ikut bertanggungjawab atas kelangsungan acara, diutamakan seorang yang memiliki pertalian saudara dan memiliki kedekatan emosional sehingga ia memahami situasi dan kondisi keluarga Sukut atau dari keluarga yang memiliki hajat (Tridah 1986; 104). Selain itu Senina juga sebagai timbal balik terhadap Sukut, jika pada upacara kali ini menjadi Senina dalam hajatan rumah baru yang dilakukan oleh keluarga A, maka dalam upacara lain bisa pula diseninain oleh keluarga A pada upacara pernikahannya.

Ketika Senina telah dipilih maka segala permusyawaratan terkait upacara atau hajatan harus menghadirkan Senina, keberadaan Senina sangat penting dalam permusyawaratan sekalipun pihak keluarga kandung telah hadir akan tetapi Senina yang paling berhak untuk berbicara menwakili Sukut. Anak beru yang bertugas sebagai pekerja atau pelayan dari Kalimbubu tidak diperkenankan melakukan dialog langsung dengan Sukut terkait acara, ia harus menyampaikannya lewat Senina yang selanjutnya diteruskan kepada Sukut. Misalnya, pada upacara "mengket rumah mbaru" (memasuki rumah baru), maka Anak beru perlu menanyakan apa saja yang perlu dipersiapkan. Begitu juga pada pesta pernikahan Anak beru selalu berkomunikasi dan menanyakan keinginan kepada Kalimbubu melalui Senina. Misalnya, keluarga Semibiring menikahkan anak perempuannya, maka keluarga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan langsung terkait biaya maharnya, ia berunding terlebih dahulu dengan keluarganya setelah ada kesepakatan di antara mereka barulah kemudian menyampaikan kepada senina.

Dalam suatu upacara adat tersebut masyarakat tidak memandang pangkat atau jabatan seseorang, Daliken Si Telu ini dipraktikkan secara terus menerus sejak zaman raja terdahulu, sekalipun ia merupakan bangsa raja jika posisinya dalam upacara adat adalah anak beru (pekerja dan pelayan) maka ia harusla mengurus segala upacara adat, baik dalam hal memasak maupun dalam permusyawaratan untuk keberlangsungan acara adat tersebut. Dan itu berlaku juga saat ini baik Jenderal maupun Gubernur maka ia harus mengikuti hal yang sama. Daliken Si Telu terus dilaksanakan melingkar secara turun temurun hingga saat ini setiap masyarakat Karo melakukannya berdasarkan ikatan kekeluargaan dan kesadaran bersam terhadap peraturan adat, dengan Daliken Si Telu maka setiap masyarakat Karo yang berasal dari kelompok keluarga dan marga yang berbeda akan bertemu dan berinteraksi secara aktif dalam upacara adat, sekalipun seseorang yang memiliki jabatan pemerintahan yang tinggi ketika ia dan kelompok keluarganya menempati posisi sebagai Anak beru dalam upacara adat maka ia tetap harus bekerja untuk melayani kalimbubunya sekalipun Kalimbubu seorang petani dan bukan pejabat negara. Karena Kalimbubu juga dianggap sebagai "Dibata Ni idah" (Tuhan yang kelihatan) sehingga harus dihormati dan dijunjung dalam batas kewajaran dan tidak berlebihan.

3. Upacara Adat

Dalam Adat Karo ada beberapa tahapan dalam penyelenggaraan perkawinan Adat Karo berdasarkan kebiasaan yang dilaksanakan dalam satu wilayah khususnya pada Suku Karo Langkat, antara lain:

  • Ngembah Belo Selambar

Secara etimologi, Ngembah Belo Selambar artinya membawa sirih selembar, memiliki makna simbol bahwa sirih, kapur, tembakau, pinang dan gambir terdapat didalam kampilnya atau yang dikenal dengan Kampil Kehamaten (kampil kehormatan). Seperti diketahui bahwa tembakau adalah simbol interaksi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Seperti yang dituturkan Bapak Bebas Ginting, Ngembah Belo Selambar artinya menanyai kesenangan hati Kalimbubu dan menentukan hari, kapan akan dilaksanakan pesta adat. Megiken (dalam Tarigan 2009:116) mengatakan "Dalam konteks ini sekapur sirih dan rokok adalah simbol kesantunan dan penghormatan dari pihak tamu terhadap tuan rumah atau penyampaian rasa hormat dari pihak calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita". Dalam proses Ngembah Belo Selambar menurut Bapak Ngaku Sitepu menuturkan kepada penulis bahwasanya ada enam Kampil Kehamaten (Kampil Kehormatan) yang akan dijalankan karena ada enam tegun yang akan ditanyai yaitu:

1). Tegun anak beru sinereh, 

2). Sukut (sembuyak-senina) orang tua sinereh, 

3). Kalimbubu singalo bere-bere, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun