Mohon tunggu...
Eloi StephaniSumarno
Eloi StephaniSumarno Mohon Tunggu... Guru - Education is Life

Education is Life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kepingan Hati yang Dipulihkan (Coretan Seorang Guru)

7 April 2019   14:14 Diperbarui: 7 April 2019   15:59 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekolah merupakan tempat anak-anak belajar dan bermain. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada salah satu anak yang bersekolah di salah satu sekolah Jawa Barat. Anak ini bernama Elva.

"Tidak ada sepatah kata pun dari anak itu ketika dia berkumpul bersama teman-temannya di sekolah. Sejak pertama kali dia masuk kelas 3 hingga kenaikan kelas, tidak pernah saya melihat dia bermain maupun bercanda dengan kami." ungkap salah seorang dari temannya.

Hal ini berlawanan dengan teori yang saya pelajari dalam kelas psikologi. Dalam kelas tersebut dijelaskan bahwa pada usia ini biasanya seorang anak begitu aktif dan senang bergaul dengan teman sebaya mereka (teori perkembangan anak pada tahap Middle Childhood). Beberapa guru berusaha memperhatikan anak ini, mereka berusaha bertanya dan mendekati dirinya.

Biarpun begitu, tidak pernah ada guru yang berhasil mendapatkan jawaban dari anak ini dan mereka menyerah serta membiarkan Elva bertumbuh dalam keadaan tersebut. Teman-teman yang mendekati dirinya juga mengatakan bahwa mereka tidak senang bermain dan berbicara dengan Elva. Terkadang ketika teman-temannya menghina, menjahili dan melakukan banyak hal lain untuk membuat anak ini berbicara, para guru membiarkan hal itu.

Inilah salah satu permasalahan yang akan ditemukan oleh para guru. Terkadang mereka akan menemukan anak yang sangat aktif. Mereka juga akan menemukan anak yang sangat pendiam.

Karakter dan perilaku seorang anak dalam kelas yang berbeda dengan teman sebayanya merupakan suatu hal yang sering terjadi. Namun, tidak semua guru menyadari hal tersebut. Terkadang para guru menganggap hal tersebut merupakan hal yang biasa terjadi.

Kebanyakan guru lebih mementingkan pertumbuhan dan perkembangan anak dalam hal materi yang mereka sampaikan. Walaupun ada beberapa guru yang terkadang berusaha untuk menyelesaikan masalah itu. Hal ini juga terjadi dalam kasus Elva. Ketika beberapa guru yang mendekatinya menyerah begitu saja dan membiarkan dirinya, hadirlah seorang guru bernama Endang.

Guru ini merupakan guru senior disekolah tersebut. Pada saat itu anak ini sudah duduk di kelas 5 dan Bu Endang menjadi wali kelas Elva. Ketika dikelas 5 ini, Elva mulai berubah ia sudah mulai bergaul dengan teman-temannya.

Dia menjadi anak yang lebih percaya diri didalam kelas tersebut. Semua ini berkat Bu Endang dengan penuh kasih terus berusaha mendekati Elva dan mencari tahu tentang diri Elva. Hingga akhirnya Bu Endang tahu bahwa ada kepingan hati yang patah dalam diri Elva.

Kepingan hati yang patah ini merupakan kerinduan akan cinta. Hal ini dapat menyebabkan karakter seseorang tidak sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan seharusnya. Saya setuju dengan teori psikodinamika yang menjelaskan bahwa emosi, motivasi, dan perkembangan kepribadian seorang anak disebabkan oleh konflik-konflik yang pada umumnya terjadi pada usia anak-anak.

Menurut seminar yang pernah saya ikuti (2017), memulihkan kepingan hati yang patah ini memang bukanlah sesuatu perkara yang mudah. Ketika hati telah disakiti dia akan seperti tembok yang ditancapkan paku. Ketika paku tersebut dicabut akan tetap meninggalkan bekas lubang pada tembok tersebut demikian pula dengan hati. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak bisa dipulihkan.Hati yang telah terluka ini dapat dipulihkan ketika dia mendapat cinta yang tulus.

Cinta yang tulus ini seharusnya pertama kali diterima dari orangtua. Orangtua merupakan orang yang pertama kali mereka kenal sejak mereka lahir dan lingkungan yang pertama kali mereka kenal (Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN). Sayangnya pada era disrupsi saat ini dimana perkembangan media masa semakin maju, orangtua tidak lagi memperhatikan anak mereka.

Orangtua seringkali lebih sibuk dengan gadget mereka. Bahkan untuk beberapa anak, mereka diberikan gadget oleh orangtuanya. Orangtua tidak menyadari dampak dari memberi gadget kepada anak mereka.

Beberapa diantaranya yaitu anak akan sulit untuk bersosialisasi, sulit untuk berkonsentrasi dan bahkan terjadinya pelecehan seksual pada anak. Hal ini pulalah yang dialami oleh Elva, dia sulit untuk bersosialisasi dengan anak lainnya dikarenakan Elva memiliki kebiasaan bermain gadget di rumahnya.

Tidak pernah ada komunikasi yang ia lakukan dengan orangtuanya, karena orangtuanya yang begitu sibuk. Pada kasus ini saya setuju dengan Behaviorism Theory yang menjelaskan bahwa perilaku seorang anak dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Ketika tidak pernah ada komunikasi yang dilakukan anak cenderung menjadi pendiam.

Dalam kasus ini kita bisa melihat bahwa peran guru sangatlah penting untuk mendidik seorang anak. Ketika orangtua tidak memberikan pendidikan kepada mereka disinilah guru berperan. Akan tetapi, apakah hanya mendidik secara teori atau ilmu pengetahuan saja?

Ketika saya belajar, beberapa dosen saya mengatakan bahwa peran seorang guru tidak hanya mendidik anak dalam hal ilmu pengetahuan. Akan tetapi, seorang guru juga memiliki peran dalam memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan dalam diri seorang anak.

Pertama, seorang guru mengajar murid dengan penuh kasih. Guru bukanlah orang tua yang melahirkan mereka, tetapi kasih yang diberikan kepada seorang murid dapat memberikan dampak kepada seorang murid. Ketika murid tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtua mereka dirumah, murid dapat mendapatkan kasih sayang di sekolah.

Kasih sayang yang guru berikan kepada murid mereka dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan mereka (Jean Piaget dalam teori kognitif). Kedua, menurut kelas filsafat opendidikan dosen saya menjelaskan bahwa guru harus memandang setiap murid sebagai ciptaan yang berharga. Ketika ada perbedaan dalam kelas antara anak yang satu dengan yang lain, guru tidak membandingkan. Namun, guru memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang unik, dimana murid yang satu dengan lainnya memiliki talenta, karakter, kebiasaan dan hal lain dalam bidang masing-masing.

Ketiga, guru menjadikan kelas sebagai suatu komunitas belajar. Kelas tidak hanya sebagai tempat belajar ilmu pengetahuan saja, tetapi juga pertumbuhan karakter. Guru berperan menjadi orang tua mereka. Ketika seorang murid memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dengan murid lainnya, guru membantu murid. Sampai akhirnya murid tersebut dapat bertumbuh seperti seharusnya.

Terakhir, guru tidak membiarkan seorang murid menghina ataupun mengejek temannya. Hal ini akan menolong seorang murid merasa bahwa dirinya berharga. Jika guru membiarkan seorang murid dihina temannya, hal ini akan menyebabkan anak tidak percaya. Dalam teori perkembangan psiko-sosial (Erik Erikson) menjelaskan bahwa pada usia 6 -12 tahun merupakan tahap seorang anak membaangun rasa percaya dirinya.

Eloi Stephani Sumarno- Universitas Kristen Petra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun