Mohon tunggu...
Latatu Nandemar
Latatu Nandemar Mohon Tunggu... Relawan - lahir di Pandeglang Banten

Lahir di Pandeglang, Banten. seorang introvert yang bisa menjadi extrovert ketika situasi mengharuskan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Angkot Dulu dan Angkot Sekarang

11 Februari 2023   19:56 Diperbarui: 11 Februari 2023   20:07 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mogoknya Si Merah, motor matic kesayangan saya, mengharuskan saya untuk kembali menggunakan jasa angkot yang rasanya sudah lebih dari belasan tahun tidak saya gunakan.

Dalam kurun waktu tersebut, ternyata banyak perubahan yang saya dapati ketika merasakan kembali kursi kendaraan umum roda empat dengan kapasitas kanan enam, kiri empat dan depan dua itu.

Angkot merupakan kendaraan komersil yang sempat menjadi kendaraan favorit bagi saya pada dekade 90an. Setidaknya pada masa itulah saya bisa mengingat manakala masih duduk di kursi sekolah dulu. Meskipun hingga masa kini angkot masih beroperasi, tetapi kehadirannya lebih dianggap sebagai pengganggu pengguna jalan raya daripada membantu mobilitas masyarakat.

Itu terlihat dan terasa oleh saya ketika saya naik angkot dan berulang kali angkot yang saya tumpangi terus-menerus di klakson dengan intonasi yang begitu penuh emosi agar menyingkir dari jalur yang sedang ramai karena berjalan terlalu lambat. Sepertinya, dengan memperlambat laju roda empatnya, sang sopir berharap ada penumpang setidaknya 5, 4, 3, 2, bahkan 1 penumpang yang mau naik angkotnya untuk dijadikan teman duet melengkapi keberadaan saya di dalamnya yang hanya satu orang saja.

Selain mengenyam kursi sekolah, bisa dikatakan saya juga mengenyam kursi angkot. Karena memang untuk bisa sampai ke lokasi sekolah, saya benar-benar menggantungkan nasib pada kehadiran angkot, dikarenakan wilayah kabupaten tempat saya tinggal tidak menyediakan trayek biskota, tetapi lebih pada angkot yang notaben sangat efisien untuk penumpang yang tujuan jarak tempuhnya tidak terlalu jauh.

Ongkosnya yang lebih murah daripada ojek membuat angkot selalu menjadi pilihan utama oleh warga masyarakat. Bahkan, saking banyaknya konsumen angkot, para pelajar yang membayar ongkos hanya setengah dari warga umum selalu di nomer duakan oleh para sopir angkot ini. Terkadang dengan sangat tega sang sopir hanya memberi tempat bergelantungan di pintu, sementara kursi di bagian dalam diberikan kepada penumpang non-pelajar yang membayar penuh, bahkan sering pula para pelajar dilewat begitu saja ketika menyetop angkot karena dianggap hanya menambah semarak bagian dalam tetapi tidak menghasilkan income yang maksimal.

Hebatnya lagi, dulu kehadiran angkot selalu didampingi oleh asisten yang di daerah saya biasa disebut kendek setiap kali beroperasi. Itu menggambarkan betapa makmurnya sang sopir sampai-sampai membayar orang kedua untuk menarik ongkos pada para penumpang kendaraan umum yang sebenarnya minimalis tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa beroperasinya angkot juga telah menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi angka pengangguran dengan adanya asisten sang sopir ini.

Seiring berjalannya waktu, roda nasib berputar. Hanya saja perputaran roda nasib tidak selalu melancarkan perputaran roda angkot tersebut. Angkot kini kehilangan pamornya sejak dimudahkannya sistem pembelian kredit untuk kendaraan bermotor. Sejak saat itu kehidupan angkot jadi berubah dari yang tadinya sangat baik-baik saja menjadi sangat tidak baik-baik saja. Memang tidak hanya angkot saja yang terkena imbasnya, tetapi usaha-usaha di bidang transportasi lainnya pun terkena dampak buruknya. Hanya saja, sepengamatan saya, efek terbesar jatuh kepada angkot.

Kini jalanan didominasi oleh kendaraan roda dua. Angkot kini tersingkirkan oleh motor-motor yang bisa didapat dengan sangat mudah melalui cara pembelian kredit. Akhirnya anak sekolah yang dahulu tidak dilirik, kini menjadi target utama para sopir angkot agar setoran mereka bisa terpenuhi. Tetapi, para anak sekolah yang dahulu selalu dimarjinalkan oleh para sopir angkot semasa jayanya itu kini juga difasilitasi motor oleh orangtua-orangtua mereka. Maka, jadilah angkot harus merampingkan pengeluaran mereka, salah satunya dengan tidak lagi memakai jasa kendek sebagai asisten mereka untuk menarik uang kepada para penumpang.

Oleh sebab itu, banyak pemilik angkot atau juragan angkot yang memilih menjual aset-aset mereka dan banting stir yang tadinya usaha angkot beralih ke usaha yang masih sejenis, odong-odong misalnya. Atau beralih ke usaha yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan transportasi, menjadi agen gas LPG 3kg dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun