Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perumahan di Tanah Terkutuk - Part 3: Kengerian di Depan Mata (Tamat)

16 September 2022   11:40 Diperbarui: 16 September 2022   11:44 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: YouTube Manggala Migi

(Klik ini untuk lihat part sebelumnya.)

Di malam yang semakin larut, dengan cahaya senter yang memancarkan bayangan-bayangan terkutuk, aku bersama beberapa warga dengan lugu mengikuti arahan dari Kapoer; orang yang baru kami temui dan mengetahui banyak hal. Perihal itulah yang tertanam di otakku, sehingga aku hanya bisa memikirkan sebuah pencarian mengerikan, yang kini mulai tumbuh menjadi sebuah bencana besar di dalam imajinasiku.
 
Adegan pencarian ini akan membuat orang waras merinding ngeri. Pohon-pohon dengan ukuran, usia, serta keanehan yang tidak suci sedang meratapi kami; seperti pilar-pilar neraka yang mendiamkan angin malam yang menderu, meredam guntur, sekaligus menutup serangkaian percik kilat di langit-langit gelap. Di tambah dengan perumahan reyot dan suram; semuanya tampak hidup serta menatap dingin yang melankolis.
 
Lebih-lebih dengan kegelapan pekat -- bahkan cahaya senter kami tidak mampu menerobos dengan baik -- kian menambah atmosfer horor. Apalagi di tiap lubang -- baik itu jendela, pintu, maupun dinding yang jebol -- telah memberi kesan akan suatu hal yang bersembunyi dan mengintai di balik sana.
 
Kami hanya bisa melaju dengan perasaan beragam. Kewaspadaan, ketakutan, dan terutama kecurigaan kami terhadap Kapoer yang masih belum sirna. Walhasil kami semua menjaga jarak dan berjalan di belakangnya. Kapoer menyadari hal itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk lebih meyakinkan kami.
 
****
 
Seusai kami masuk begitu dalam ke Perumahan Lili yang gelap; akhirnya kami menemukan rumah besar Keluarga Diederik. Rumah itu berdesain Suku Jermanik yang dipadukan dengan gaya Romantik serta penyesuaian geografis; memiliki sekiranya dua lantai; luas dan megah; beratap piramida; namun bobrok akibat terbengkalai seabad lebih. Kami begitu takjub dan merinding saat melihatnya. Sangat wajar jika sedikit orang yang tahu; sebab rumah itu terletak jauh di dalam Perumahan Lili; bahkan terpisah dengan rumah-rumah lainnya.
 
Kemudian Kapoer mengajak kami untuk pergi ke belakang rumah tersebut, yaitu ke arah pepohonan lebat. Menurutnya di sana ada sebuah sumur yang rangkap lorong rahasia bawah tanah, yang mengarah ke tempat persembunyian mereka. Setiba di belakang sana, tampak sebuah sumur tua yang sudah rusak akibat termakan usia.
 
Sumur itu hanya muat satu orang dewasa, sehingga kami segera membagi urutan untuk memasuki sumur itu. Setelah mendiskusikannya secara singkat; orang pertama yang akan masuk -- sudah jelas -- adalah Kapoer; lalu diikuti oleh Jester yang sedari tadi berwalang hati akan putrinya; terus diikuti oleh Pak RT; untuk sisanya antara aku atau Heru. Namun Heru yang sedari tadi tampak mamang, maka aku memutuskan masuk terlebih dulu. Sedangkan Heru akan menyusul dari belakang.
 
Kapoer menuruni sumur itu dengan cara merangkak di dinding sumur, yang terbuat dari susunan batu besar yang berantakan dan menonjol. Itu mungkin terkesan mustahil dan bodoh, namun memang demikian dalam objek dan metode yang terjadi. Lebih-lebih tinggi sumur itu hanya sekitar empat setengah meter, tapi terlihat sangat dalam akibat gelap dan tertutup oleh tumbuhan liar yang merambat. Alhasil itu tidak terlalu menakutkan saat menuruninya.
 
Setibanya Kapoer di dasar sumur, dia menemukan lorong tunggal yang tidak terlihat dari arah luar sumur dan lekas memasukinya. Lantas kami -- secara satu per satu -- mulai menyusul. Ketika aku mendapat giliran dan mendarat di dasar sumur, aku merasa tanah yang menjadi dasar sumur itu lembek dan berlumpur. Tampaknya dulu sumur ini memiliki kedalaman yang lebih rendah, tapi akibat distorsi alam dan tanah longsor, akhirnya menutup lebih dari setengah kedalaman sumur.
 
Kalakian aku melihat ke pintu terowongan kecil yang menuju ke suatu tempat dan mengarah ke bawah rumah Keluarga Diederik. Lorong itu cukup muat bagi pria dewasa untuk bisa merangkak masuk; meskipun hanya orang sinting atau bernyali tinggi yang mau mencobanya. Tetapi situasi yang mendesak dan keinginan untuk menyelamatkan anak-anak yang diculik; kami melupakan bahaya, alasan, ataupun kebersihan akan demam pikiran tunggal untuk melakukannya.
 
Lantas aku bergegas masuk ke dalam lorong itu, dan mengikuti rombongan di depanku yang sudah masuk begitu dalam. Aku melakukannya dengan cara merangkak secara membabi buta dan cepat, dengan dibantu oleh cahaya senterku.
 
Setiap kulihat tiap sisi lorong, aku bisa berasumsi bahwa lorong ini dibangun dengan cara primitif dan liar, yaitu digali dengan tangan kosong. Asumsi itu datang, karena aku melihat bentuk lorong ini sangat tidak beraturan, kasar, dan banyak sekali jejak cakaran. Jika dilihat lebih detail, itu akan menjadi penemuan mengerikan, bahwa tangan yang menciptakan lorong ini memiliki bentuk dan ukuran yang tidak wajar daripada tangan manusia pada umumnya.
 
****
 
Setelah merangkak masuk lebih dalam; akhirnya secara perlahan luas lorong mulai melebar; dan setidaknya muat dua hingga tiga orang dewasa, meski kami tetap harus merangkak. Suara-suara tangisan anak kecil mulai terdengar meski samar. Saat itulah, Kapoer berhenti sejenak dan meminta kami untuk memadamkan semua lampu senter. Dia beralasan bahwa kami sudah dekat dengan sarang sekaligus persembunyian para bayangan putih.
 
Kalakian kami kembali melaju secara mengendap-endap mendekati sumber suara tersebut. Jester tampak makin kalut, meski Kapoer memintanya untuk mengendalikan diri agar tidak mengacaukan proses penyelamatan. Walaupun begitu, aku bisa memahami perasaan Jester sebagai sesama pria, meskipun aku belum menikah apalagi memiliki anak.
 
Akhirnya kami tiba di ujung lorong, yang mengantarkan kami ke sebuah gua bawah tanah yang arkais dan berdinding bopeng. Dari balik kegelapan ujung lorong yang pekat, kami menyaksikan sebuah pemandangan neraka paling jahanam dan nyata. Di sana ada ledakan kehidupan abnormal dan penuh kusta, bagaikan manipulasi organik yang mengerikan daripada sihir paling hitam dari kegilaan fana. Jika Tuhan berbelas kasih, aku berharap Dia menghapus segala ingatanku dari pemandangan yang kulihat, dan membiarkanku menjalani hidup dengan damai.
 
Dari penglihatan yang samar, kami menyaksikan sekelompok setan putih atau sebuah karikatur yang paling mengerikan dan kejam dari bangsa primata. Mereka sangat dingin. Beberapa dari mereka tampak memiliki keterampilan dalam membuat sebuah makanan, dengan cara biasa yang berdampingan dengan yang lemah. Sedangkan yang lainnya mengambil daging-daging yang tersisa dan nikmat; dan daging-daging itu berasal dari dua jasad manusia yang sudah tidak utuh dan sulit diidentifikasi. Apabila dilihat dari sisa pakaiannya yang tercabik; dapat dikenali bahwa mereka adalah Adang dan Bagyo. Mereka berdua sudah mati dan dimakan oleh monster-monster terkutuk itu.
 
Kami bergidik ngeri saat menyaksikan adegan tersebut. Bahkan aku nyaris muntah, karena tidak kuasa menahan kengerian yang ada di depan mataku. Namun itu bukan kengerian tunggal. Jasad Adang dan Bagyo bukan satu-satunya yang ada di sana; tapi juga ada beberapa kerangka manusia yang tidak utuh; termasuk beberapa kerangka maupun bangkai hewan dari jenis mamalia dan unggas. Selang beberapa waktu kemudian, monster terakhir muncul sambil membawa tiga anak kecil -- dua anak perempuan serta satu anak laki-laki -- dan salah satunya adalah putri Jester.
 
Sontak Jester jadi histeris dan langsung melompat masuk sekaligus menyerang secara membabi buta; menghiraukan segala arahan dan peringatan Kapoer. Lantas dia langsung menabrakkan diri ke monster yang membawa tiga anak kecil tersebut. Kemudian, selepas dari ketakutan dan kejijikan yang linglung, kami semua segera mengikuti aksinya dari belakang. Kapoer yang tidak sepemikiran, akhirnya secara terpaksa ikut bergabung dengan kami.
 
Jeritan, hiruk-pikuk, dan bayangan-bayangan penuh kegilaan itu berlangsung dengan deras. Pada awalnya kami berhasil mengungguli monster-monster itu dan hendak mengevakuasi para anak-anak; tapi selang beberapa waktu kemudian, kawanannya mulai bermunculan dari balik lubang di berbagai arah.
 
Pak RT segera memberi perintah untuk meninggalkan gua. Namun ada dua monster yang melompat ke punggung Pak RT dan melumpuhkannya. Lalu mereka mencakar perut Pak RT dan mencungkil isinya. Terus beberapa dari mereka juga menyerang Jester -- yang terus membentengi putrinya -- dan salah satu dari mereka berhasil mengunyah separuh wajahnya, hingga dia tersungkur tak berdaya. Lantas aku segera menjauhkan putri Jester dari tubuh ayahnya, lalu menyatukannya dengan anak-anak lain.
 
Heru yang baru saja melumpuhkan tiga monster; seketika dia bergidik saat menyaksikan nasib Pak RT dan Jester; sehingga dia bergegas kabur dari gua; tapi segera dikejar oleh salah satu monster. Sedangkan Kapoer masih terus mengayunkan pisau belati ke monster-monster yang mengelilinginya dengan penuh amuk. Di tengah kebrutalan itu, Kapoer berteriak padaku untuk segera membawa keluar anak-anak, dan melarangku untuk melanjutkan perlawanan.
 
Aku segera melaksanakan perintahnya, dan membawa pergi anak-anak. Namun nahas, salah satu monster melompat dan membantingku ke dinding gua dengan beringas. Saat kondisi tidak siap dan lemah, beberapa monster mulai merebut kembali anak-anak yang kubawa.
 
Ketika aku hendak bangkit dan melawan balik, salah satu monster itu mencekik leherku dan mengangkatnya ke udara. Sontak aku segera melayangkan beberapa tikaman dan sayatan ke tubuh monster itu dengan pisau lipat miniku. Alhasil monster itu menjerit kesakitan dan melepas cekikannya. Tetapi salah satu kawanannya langsung mencakar wajahku, dan merobek retina mata kananku.
 
Akhirnya aku terjatuh ke atas tanah sambil menjerit kesakitan, dan para monster mulai mengepungku. Dalam sisa penglihatanku yang perih; aku melihat tiga anak itu dibawa ke suatu tempat yang tidak aku ketahui; karena letaknya terhalang oleh sekumpulan monster yang menyeringai jahat dan menyeramkan. Lalu bermunculan suara teriakan ketakutan dari anak-anak itu; terus diakhiri dengan jerit kepedihan yang terputus, dibarengi dengan suara kulit dan daging yang dirobek secara beringas.
 
Aku jadi geram dan bangkit melawan. Tetapi para monster segera menahan kedua tangan dan kakiku, terus mereka menariknya seperti hendak memecahkan tubuhku. Aku hanya bisa menjerit kesakitan, berdoa, dan melihat ke sekelilingku yang tidak memberiku sedikit harapan. Bahkan Kapoer yang masih melawan; kondisinya sudah sekarat, akibat para monster yang mencakar sekujur tubuhnya secara beringas, sehingga mewarnai baju dan tubuhnya jadi merah.
 
Di situlah aku mulai berpikir; bahwa ini adalah akhir dari segalanya; dan secara pasrah aku mulai menerima takdir yang mengerikan ini. Namun, secara mengejutkan, terdengar suara letusan senjata api dari arah lorong tempat kami memasuki gua. Sontak monster-monster itu menjadi panik dan berlarian secara acak. Beberapa di antaranya ada yang tersungkur kaku ke tanah.
 
Ternyata itu adalah tim kepolisian. Mereka berhasil tiba di gua bawah tanah dan segera mengamankan lokasi, mengejar, dan menembaki tiap monster yang ada di sana. Sedangkan beberapa dari mereka bergegas mengevakuasi orang-orang yang sekarat. Itu adalah pemandangan terakhir yang kulihat, sebelum aku jatuh tidak sadarkan diri.
 
****
 
Beberapa hari telah berlalu; aku sudah siuman dan sekarang sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Serpong. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan; bahwa aku masih bisa selamat dan melanjutkan hidup; meski aku harus kehilangan mata kananku, sekaligus mendapat luka cakar yang dahsyat di wajahku. Namun tidak dengan Pak RT, yang tewas saat kejadian itu berlangsung. Sedangkan Kapoer dan Jester; mereka berdua selamat, tapi masih dalam keadaan koma sekaligus membutuhkan perawatan intensif.
 
Kapoer menerima banyak cakaran kronis di sekujur tubuhnya, dan setiap cakaran membutuhkan sekitar tujuh hingga delapan jahitan. Lalu Jester, dia telah kehilangan separuh wajahnya. Untuk ketiga anak yang diculik; sayangnya hanya satu yang berhasil selamat dan kembali utuh; dan anak itu adalah putrinya Jester.
 
Selama aku dirawat; ada banyak sekali keluarga, kerabat, hingga tetangga yang datang menjenguk, tidak terkecuali Heru. Para warga sangat berduka atas kematian Pak RT yang tragis. Sedangkan para orang tua dari kedua anak yang tidak selamat, mereka sangat menderita dalam trauma, kesedihan, dan terus menyalahkan kami yang selamat. Yang terparah adalah ibu dari seorang anak laki-laki. Dia telah kehilangan suami sekaligus putranya akibat monster tersebut, sehingga aku tidak bisa membayangkan perasaan frustrasi dan depresinya.
 
Di waktu yang bersamaan, aku juga mendapat kronologi singkat, bagaimana tim kepolisian bisa mengetahui dan tiba di lokasi kami berada. Semua diawali saat polisi tiba di perumahan kami, dan terkejut melihat kondisi para korban yang mengenaskan. Ditambah dengan desakan para warga untuk segera mengejar si pelaku di Perumahan Lili. Walhasil mereka segera memanggil tim khusus kepolisian dan langsung melakukan pengejaran ke Perumahan Lili.
 
Cara mereka bisa mengetahui lokasi keberadaan kami di gua bawah tanah; itu adalah berkat Heru. Ketika Heru baru keluar dari dalam sumur, secara mengejutkan dia diserang dan nyaris terbunuh oleh monster yang mengejarnya. Tetapi beruntung, di waktu bersamaan, ada beberapa tim kepolisian yang kebetulan ada di lokasi sumur, sehingga mereka segera menyelamatkan Heru dan menembak mati monster itu. Lantas Heru segera meminta tolong ke mereka, agar ikut menyelamatkan kami yang berada di dalam gua bawah tanah. Singkat cerita, berkat keterangan dari Heru, tim kepolisian berhasil menemukan kami semua termasuk gua bawah tanah yang tersembunyi.
 
Kini kejadian mengerikan itu telah memenuhi pers dan menggemparkan publik; terlebih lagi dengan serangkaian penemuan yang mengerikan; di mulai dari eksistensi monster-monster penghuni gua, hingga beberapa kerangka maupun jasad dari para korbannya. Lantas kejadian itu mendapat respon dari banyak pihak; tapi yang paling menonjol adalah kecaman publik terhadap pihak pengembang; karena mereka berusaha menutupi kengerian yang ada di perumahan itu, sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Walhasil Perumahan Lili langsung disegel dan hendak diratakan. Bahkan ada kebijakan baru dari perumahanku, yaitu membangun pagar dinding pelindung di pinggir perumahan, demi mencegah hal serupa kembali terjadi.
 
Tidak sedikit wartawan dan penyelidik yang berusaha mengorek informasi lebih dalam. Namun aku hanya bisa menceritakan semampu dan seingatku. Walaupun begitu, pihak rumah sakit berusaha membatasi interaksi mereka, agar tidak mengganggu waktu istirahatku. Tetapi istirahat yang sebenarnya tidak pernah datang kepadaku, selama aku masih mengingat rahasia dari kengerian di Perumahan Lili.
 
Itu akan terus menghantuiku, karena aku tidak sepenuhnya yakin pihak kepolisian berhasil menumpas mereka secara menyeluruh. Semenjak itu; aku tidak bisa melihat lagi sumur, terowongan, tempat terbengkalai, kerimbunan tumbuhan liar, hingga lapangan kosong. Sampai-sampai aku berencana untuk pindah rumah ke tempat lain, yang sekiranya dapat memberiku rasa aman dan nyaman. Dokter yang menyadari hal itu, dia hanya memberiku obat tidur agar bisa beristirahat. Namun tetap! Itu sama sekali tidak membantuku!
 
Aku masih teringat ketika monster itu mencekik leherku, dan mata kami saling bertemu. Di tengah-tengah pencahayaan yang remang, aku dapat menyaksikan fisiknya secara samar dan cukup jelas. Mereka adalah sejenis gorila dari ras yang tidak biasa; bertubuh ramping dan berotot; bertaring panjang yang menjulur keluar; serta berambut putih kotor yang kusut. Itu semacam produk degenerasi mamalia yang paling mengerikan; hasil dari penghujatan terisolasi, paradoksal evolusi, sekaligus nutrisi kanibalisme dan nekrofagus; perwujudan dari segala kekacauan dan ketakutan yang menyeringai keji dari balik kehidupan.
 
Walakin, bagian yang paling mencolok adalah matanya yang berwarna biru langit. Butuh waktu cukup lama untuk bisa menyadari, bahwa itu adalah mata Keluarga Diederik. Sekarang aku mulai paham -- dalam suatu bencana terburuk yang tidak bersuara telah terjadi pada Keluarga Diederik yang hilang itu -- mereka telah dikutuk menjadi sosok iblis jahat dan mengerikan.
 
Mereka membangun gua bawah tanah dan hidup tersembunyi di sana; menjaga tanah Desa Untul Angkarama yang mereka rampas; memburu dan memangsa setiap makhluk hidup yang ada di tempat itu maupun di sekitarnya. Mereka telah melakukannya selama seabad lebih dan berkembang biak di dalam gua tersebut, sehingga menciptakan peradaban iblis yang merangkak di bawah tanah terkutuk.
 
****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun