Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senandung Malam

10 Agustus 2022   14:05 Diperbarui: 10 Agustus 2022   14:26 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Skitterphoto (Sumber Foto: www.pexels.com)

Di malamku yang tersiksa, tidak hentinya terdengar suara senandung yang merindingkan. Ini seperti mimpi buruk, sehingga menciptakan kengerian imajinatif yang akut. Semoga Tuhan mengampuni segala kebodohan yang telah kulakukan, sehingga membawa nasibku ke arah yang lebih mengerikan.
 
Semua bermula saat awal musim panas, di mana aku sedang berkunjung ke sebuah pasar hewan tradisional di kawasan Jakarta Timur. Tujuanku adalah membeli satu atau beberapa ekor burung, demi menemani hariku yang sepi di rumah kontrakan yang membosankan.
 
Sesampainya di gang keempat, di sanalah hewan berjenis-jenis burung mulai dijual bebas. Lantas aku segera memasuki gang itu dan memanjakan mataku. Saat tiba di tengah gang, aku mendapati seekor burung hantu yang tampak unik dan menawan.
 
Burung hantu itu berbulu perak sejuk dengan sedikit gradasi warna kopi; bermata kuning membara dan menatap tajam mempesona; bertubuh tidak terlalu besar maupun kecil; dan berkicau dengan suara yang istimewah. Aku tidak tahu jenis burung hantu itu, tapi hati dan jiwaku telah terpikat olehnya.
 
"Silahkan dibeli, mas. Itu burung hantu langkah."
 
Tiba-tiba seorang penjual dari burung hantu itu membuka percakapan kepadaku. Sontak aku menoleh ke arahnya dan terkejut. Dia tampak seperti seorang pria tua yang kurus dan pucat; berpakaian lusuh; memiliki tatapan lemah; sehingga tampak seperti mayat hidup yang tersiksa.
 
"Untuk harga, aku kasih tidak mahal. Asalkan mas mau membelinya." ujarnya sekali lagi.
 
Karena sudah tergoda oleh pesona burung hantu itu, maka aku segera melakukan tawar menawar harga. Namun perihal yang ganjil, si penjual itu tidak banyak berdebat soal harga. Dia tampak pasrah dan tidak acuh dengan jumlah harga yang kutawarkan.
 
Walhasil aku membeli burung hantu itu seharga Rp 150.000,00. Sebetulnya aku dapat menawar dengan harga yang lebih murah lagi, tapi aku masih menaruh belas kasihan kepadanya. Arkian, tidak lupa aku membeli sebuah kandang yang berukuran cukup besar khusus burung hantu; agar dia dapat beraktivitas dengan leluasa; sekaligus aman dari serangan kucing-kucing liar.
 
****
 
Berdasarkan informasi yang kudapat; aku meletakan kandang burung hantuku di halaman depan rumah kontrakanku -- sedikit lebih dalam agar tidak terkena pancaran sinar matahari -- dan berada di antara tanaman hias; agar tetap berada di tempat yang sejuk. Posisinya juga tidak terlalu jauh dari pintu utama, sehingga aku dapat berinteraksi dengannya saat pergi dan pulang kerja, maupun dalam aktivitas lainnya.
 
Selama tiga hari sejak aku membeli burung hantu, aku masih menjalani rutinitasku dengan normal dan lebih bergairah. Sebagian besar waktu luang kumanfaatkan untuk berinteraksi dengan burung hantuku, seperti memberi makan dan berkomunikasi selayaknya seorang teman. Tidak lupa juga aku mengabadikannya dengan ponselku, sebagai kenang-kenangan manis.
 
Tetapi di hari keempat, peristiwa aneh mulai terjadi. Sewaktu malam hari, ketika aku sedang membaca berita online di ruang tamu sambil menikmati suara kicau burung hantuku, secara perlahan tapi mengejutkan, suaranya berubah menjadi suara perempuan bersenandung.
 
Aku sangat terkejut saat mendengarnya, sehingga secara kontan aku bergegas keluar untuk memeriksa keadaan. Tetapi saat aku tiba di luar, aku tidak menemukan siapapun -- selain burung hantuku yang sedang beraktivitas di dalam kandang selayaknya hewan nokturnal -- dan suara senandung itu juga menghilang. Sedangkan kucing-kucing liar di sekitar halaman depan rumah kontrakanku, hanya menatap tidak nyaman ke arahku.
 
Awalnya aku berpikir itu hanyalah halusinasi, tapi hati kecilku berkata sebaliknya, sehingga kecemasan masih terus berlanjut. Hingga pada malam berikutnya, lagi-lagi aku mendengar suara perempuan bersenandung dari tempat yang sama. Kali ini aku mendengarnya dengan jelas; senandung itu memiliki irama yang sama sekali tidak bisa kukenali; sehingga terdengar asing dan merindingkan. Alhasil aku semakin yakin bahwa suara itu bukan halusinasi. Lantas aku bergegas mendatangi asal suara tersebut, namun aku tetap tidak menemukan apa-apa.
 
"Siapa di sana?" teriakku, "Keluarlah! Sebelum aku menemukanmu! Kalau sampai kutemukan, akan kulaporkan kamu ke hansip dan polisi!"
 
Tidak ada jawaban, selain suara kicau burung hantuku beserta hewan liar lainnya. Lalu aku segera memeriksa lokasi sekitar, demi memastikan keadaan. Namun setelah hampir setengah jam, aku masih tidak menemukan tanda-tanda kehadiran seseorang ataupun keganjilan visual. Seolah-olah memang tidak ada apa-apa di halaman depan rumah kontrakanku.
 
Keanehan ini membawaku ke hari-hari yang lebih menegangkan dan penuh misteri tanpa petunjuk, sehingga menciptakan sebuah kegelisahan akut di batinku. Sampai-sampai aku tidak bisa menjalani hariku dengan normal, karena pikiranku terus dihantui oleh kejadian-kejadian tersebut.
 
****
 
Saat petang hari; sehabis pulang kerja dan hendak memasuki halaman rumah kontrakanku; secara kebetulan aku berpapasan dengan seorang tetanggaku, bernama Bono, yang juga baru pulang kerja. Selain seorang tetangga, dia juga kerabatku. Terlebih lagi rumahnya berada tepat di depan rumah kontrakanku, sehingga membuat kami sering berinteraksi satu sama lain.
 
Walhasil terjadilah basa-basi yang intim di antara kami berdua. Namun saat di tengah keasyikan percakapan, secara mengejutkan Bono melempar sebuah pertanyaan yang membingungkan;
 
"Dua malam terakhir ini aku lihat ada perempuan di halaman depan rumah kontrakanmu. Kira-kira dia siapa?"
 
"Perempuan? Kamu tidak salah lihat? Kamu kan tahu kalau aku tinggal sendirian!"
 
"Tidak! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri! Ada perempuan berkeliaran di halaman depan rumah kontrakanmu, selama dua malam terakhir!" tegas Bono.
 
Lalu Bono mendeskripsikan bahwa perempuan itu memiliki penampilan yang tidak wajar, terutama -- paling mencolok -- di wajahnya yang tampak sedang memakai sebuah topeng kayu bertanduk rusa jantan. Bono tidak dapat mendeskripsikan lebih dari itu, karena dia tidak berani mengamatinya lebih lama.
 
Itu adalah cerita yang menggetarkan. Tetapi aku tidak menceritakan keganjilan yang kualami ke Bono, karena aku masih kurang yakin dengan itu semua. Walaupun begitu, kesaksian Bono sudah cukup membuatku waswas dan makin siaga.
 
****
 
Untuk malam ini, aku mempersiapkan segala cara untuk menangkap si pemilik suara senandung itu. Aku juga menyiapkan berbagai senjata -- baik itu benda tumpul maupun tajam -- demi menghindari suatu hal yang tidak diinginkan. Jika kesaksian Bono itu benar, maka ini akan menjadi malam yang panjang dan bersejarah bagiku.
 
Aku terus menunggu dan mengamati suara-suara yang berseliweran di sekitar rumah kontrakanku, dari dalam ruang tamu yang dingin dan remang. Baik itu suara kendaraan; pejalan kaki; penjual makanan keliling; gerombolan kucing kampung, beserta hewan-hewan liar lainnya; hingga kicauan burung hantuku.
 
Waktu hampir mendekati tengah malam. Aktivitas di luar rumah kontrakanku makin sepi, tapi aku masih belum menangkap tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan aku masih belum mendengar suara senandung itu. Alhasil aku mulai mengantuk, sehingga secara perlahan-lahan aku mulai tertidur di atas sofa ruang tamu.
 
Di saat itulah aku memimpikan sebuah tempat yang tidak pernah terpikirkan dan penuh ketakjuban eksotis. Dengan dihiasi oleh langit senja berwarna lapis lazuli, aku mendapati sebuah candi yang dipenuhi oleh barisan-barisan tiang besar dan unik, serta jembatan penghubung ke candi yang terbuat dari batuan beku berurat.
 
Aku tidak tahu candi apa yang sedang kusaksikan di dalam mimpiku. Secara garis besar candi itu memiliki kemiripan yang tipis dengan Candi Muara Takus, tapi memiliki konstruksi yang lebih kompleks, besar, megah, dan lebih kuno. Apabila dilihat dari desainnya, tampaknya itu adalah jenis candi yang ada di Pulau Sumatera.
 
Candi tersebut dikelilingi oleh tebing-tebing yang curam dan ditumbuhi oleh pepohonan. Sedangkan di kedua sisi candi itu terdapat air terjun paralel yang membawa air dari balik dinding candi, terus mengalir ke sungai berpola annular yang mengapit sebuah alun-alun di halaman candi yang berbentuk bundar. Sungai itulah yang menjadi pemisah antara candi dengan dunia luar, dan di tepi sungai itu juga terdapat pepohonan dan jalan-jalan lebar yang berbaris teratur. Sedangkan di alun-alun tersebut dihiasi oleh patung-patung abstrak, serta terdapat sebuah anak tangga yang mengarah ke pintu masuk candi.
 
Di sekitar candi itu dipenuhi oleh segala jenis hewan, dan beberapa di antaranya memiliki bentuk yang terasing. Seolah-olah mereka adalah hewan langkah atau mungkin telah punah. Hewan-hewan itu bertingkah sangat terstruktur dan beraktivitas selayaknya manusia. Itu adalah fragmen yang ganjil dan juga meresahkan.
 
Tidak lama kemudian, keluarlah sebuah entitas dari pintu masuk candi itu, dan semua hewan langsung bersujud menyembahnya. Aku sama sekali tidak paham dengan wujud dari entitas itu. Dia terlihat seperti sesosok perempuan berambut panjang; bertubuh penuh dengan banyak sekali elemen; sehingga tampak seperti makhluk ambigu yang menyeramkan. Namun entah bagaimana, aku bisa menangkap bahwa dia adalah dewi kuno dari suatu mitologi yang belum dikenal.
 
Dia memiliki sepasang sayap burung perak yang besar dan lebar; berkaki macan; bertangan elang yang lengkap dengan cakar-cakarnya; sekujur tubuhnya dipenuhi oleh manik-manik sikloid yang padat dan ada campuran elemen charophyta; serta bagian yang paling mencolok dan tidak asing adalah di wajahnya yang tampak sedang memakai sebuah topeng kayu bertanduk rusa jantan. Namun setelah kuamati secara seksama, ternyata itu adalah wajah yang sesungguhnya. Apabila dilihat secara garis besar, tampaknya dia adalah perempuan yang dilihat Bono di halaman depan rumah kontrakanku.
 
Aku sadar bahwa ini hanyalah mimpi. Tetapi entah bagaimana, ini terasa sangat nyata. Seolah-olah aku sedang berpindah ke dimensi lain. Jantungku berdetak kencang. Tubuhku berkeringat dingin dan mengalami katatonik. Nafasku terasa berat dan terengah-engah.
 
Sosok itu berjalan menuruni tiap anak tangga candi. Saat tiba di alun-alun; ada seekor burung hantu perak sejuk -- serupa dengan punyaku -- yang terbang ke arahnya; lalu hinggap secara mulus di tangannya. Kemudian dia mengelus kepala burung hantu itu dengan penuh kasih sayang, sambil bersenandung dengan irama yang akrab di telingaku.
 
Tampaknya adegan itu adalah jawaban dari semua misteri yang menghantuiku selama ini. Namun aku sama sekali tidak bahagia, melainkan aku merasakan sebuah kengerian akut yang menerkam batinku.
 
Arkian sosok itu menoleh ke arahku dan menatap murka dengan kedua matanya yang seperti onyx. Itu sungguh sebuah tatapan yang menakutkan, sampai-sampai membuatku bergidik setengah mati. Untungnya itu adalah adegan terakhir dari mimpiku, sebelum aku terbangun sambil menjerit kesetanan.
 
Aku mendapati tubuhku telah basah akan keringat dan masih berada di atas sofa ruang tamu. Kupikir mimpi aneh itu sudah berakhir, tapi ternyata aku kembali melihat sosok itu di salah satu sudut ruang tamu. Dia berdiri di balik selimut kegelapan tipis dan masih menatapku dengan tatapan murka yang menakutkan.
 
Tiba-tiba aku mengalami katatonik lagi. Aku tidak begitu yakin apakah aku sudah terbangun, atau sedang mengalami kelumpuhan tidur. Yang pasti aku hanya bisa menatap sosok itu dengan penuh ketakutan yang tidak terucap.
 
Kemudian sosok itu berbicara dengan nada seram yang tidak terbayangkan, dalam bahasa yang tidak kumengerti atau pernah kudengar. Sepertinya itu semacam bahasa peradaban kuno dari Sumatera. Tetapi secara ajaibnya, otakku dapat menangkap isi pesan dari sosok itu, bahwa dia menginginkan miliknya kembali.
 
Sesudah dari itu, aku terlepas dari katatonikku dan sosok tersebut menghilang secara gaib. Walhasil peristiwa ini membuatku bertanya-tanya, apakah kejadian yang kualami barusan adalah mimpi atau sebuah kenyataan yang mengerikan.
 
****
 
Keesokan harinya aku menceritakan semua kejadian yang kualami kepada Bono. Dimulai dari suara perempuan bersenandung yang misterius di setiap malam, mimpi aneh, hingga pertemuanku dengan entitas yang menyerupai sosok perempuan yang dilihat Bono. Awalnya aku mengira dia akan mencemooh ceritaku, tapi ternyata dia menanggapi dengan serius dan cemas.
 
Bono juga berinisiatif membantu dengan mempertemukanku dengan salah seorang kenalannya, yang paham dengan hal-hal spiritual. Kebetulan orang itu adalah teman Bono, meski sudah hampir setengah tahun mereka tidak berhubungan. Lantas aku menyetujuinya dan mengatur waktu untuk menemui orang tersebut.
 
Setelah kami mendiskusikan hari yang tepat, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi orang tersebut pada besok pagi. Karena kebetulan hari itu adalah akhir pekan, sehingga kami sedang libur. Selain itu, Bono juga menjadi pemimpin jalan menuju tempat orang tersebut yang berlokasi di luar kota, dengan mengendarai motor miliknya.
 
Alhasil kami melalui perjalanan yang panjang dan padat, sehingga kami baru tiba di lokasi saat petang. Di sanalah aku menyaksikan sebuah rumah kuno tanpa nama; gelap dan suram. Lantas Bono memarkirkan motornya di depan pagar bambu, lalu dia mendekati pintu rumah itu yang terkunci rapat.
 
"Permisi, Mbah Parjo." ujar Bono sambil mengetuk pintu kayu yang melapuk itu.
 
"Siapa itu?"
 
Tiba-tiba terdengar suara seorang pria; tampak seusia Bono atau mungkin lebih tua; dan terkesan tidak ramah.
 
"Ini aku, Jo! Bono!"
 
Orang itu tidak membalas selama beberapa detik, lalu mendadak terdengar suara kunci yang dilepas, dan pintu rumah itu terbuka secara perlahan. Kemudian keluarlah seorang pria berpenampilan eksentrik dan tampak lebih tua dari Bono. Orang itu tidak lain adalah Mbah Parjo, seorang ahli spiritual sekaligus teman Bono.
 
"Baiklah, masuk!" perintahnya.
 
Kemudian Bono masuk ke dalam rumah Mbah Parjo, sedangkan aku mengikutinya dari belakang.
 
Sesampainya di dalam, aku mendapati sebuah ruangan yang dipenuhi oleh benda-benda tidak lazim dan penuh penghujatan vulgar, sehingga menciptakan variabel kepribadian neurotik dalam diriku. Di ruang utama itu, terdapat berbagai jenis hewan yang telah diawetkan oleh ahli seni taksidermis. Di sekeliling dinding ruangan itu dihiasi oleh berbagai macam tengkorak yang heterogen. Beberapa di antaranya terdapat benda-benda antik yang kuduga itu semacam benda pusaka. Ada juga lukisan dan patung, semuanya memiliki subjek yang jahat dan telah dieksekusi sedemikian rupa oleh Mbah Parjo. Walhasil semua objek-objek itu membuatku sangat tidak nyaman. Belum lagi aroma bunga melati yang tercium erat di ruangan ini.
 
Aku sempat berbisik menanyakan asal dari benda-benda tersebut kepada Bono. Namun Bono menjawab singkat, bahwa Mbah Parjo memiliki kegemaran melakukan ekspedisi liar, demi memburu benda-benda aneh dan mengoleksinya.
 
Kalakian Mbah Parjo menyuruh kami duduk di atas tikar merah yang kersang di lantai ruang tamunya. Lalu dia bertanya;
 
"Ada keperluan apa kalian kemari?"
 
Lantas Bono menjelaskan maksud kedatangan kami. Terus aku lanjutkan dengan menceritakan semua peristiwa ganjil yang menimpaku, termasuk mimpi aneh yang berujung pada penampakan dari suatu entitas yang mengerikan. Tidak lupa juga aku memperlihatkan foto burung hantuku kepada Mbah Parjo. Lantas dia hanya terdiam dan mengangguk beberapa kali, sambil mengerutkan keningnya.
 
Sesudah aku menyelesaikan ceritaku; Mbah Parjo berpendapat bahwa burung hantu yang kubeli adalah akar permasalahannya. Dia menyarankanku untuk mencari tahu asal-usul burung hantu itu, karena dia belum bisa bertindak lebih jauh jika semua masih samar.
 
Mbah Parjo berpandangan, bahwa burung hantu adalah salah satu hewan sakral, sekaligus kesayangan para dewa dalam beberapa kepercayaan. Burung hantu sering dipakai para dewa sebagai pengantar pesan suci. Maka dari itulah, kita tidak boleh memperlakukan burung hantu dengan cara yang salah, karena itu dapat mengantarkan kita pada karma yang mengerikan.
 
Apabila dari cara bicaranya, kurasa Mbah Parjo bukan dukun, melainkan hanya seorang yang memiliki hobi aneh dan -- secara kebetulan -- memahami dan mempelajari hal-hal spiritual atau semacamnya. Aku tidak mendapatkan inovasi lebih dari itu, tapi setidaknya aku dapat petunjuk untuk langkah yang harus kulakukan.
 
****
 
Keesokan harinya dengan penuh keletihan -- akibat kurang tidur karena terus dihantui suara perempuan bersenandung terkutuk tiap malam -- aku mendatangi pasar hewan tradisional, tempat aku membeli burung hantu tersebut. Setibanya di sana, aku segera menelusuri gang demi gang, demi mencari si penjual burung hantu yang berpenampilan seperti mayat hidup tersiksa itu.
 
Namun setelah setengah jam aku menelusuri tiap sudut pasar seperti orang linglung, aku masih belum menemukannya. Sampai-sampai ada salah seorang penjual bertubuh gemuk yang menegurku;
 
"Mau cari apa, mas?"
 
Secara spontan aku menjawab bahwa aku ingin mencari penjual burung hantu yang kemarin kukunjungi. Tidak lupa juga, aku membeberkan ciri-cirinya. Lalu si penjual gemuk itu menjawab;
 
"Maaf mas, orangnya sudah meninggal."
 
"Me... Meninggal? Kapan? Kok bisa?"
 
"Kurang tahu sih mas. Dia ditemukan meninggal di rumahnya, sehari setelah mas beli burung hantunya. Sudah begitu, kondisinya sangat menyeramkan dan tidak wajar!"
 
"Ma... Maksudnya menyeramkan dan tidak wajar?" tanyaku gemetar.
 
"Yaahh... Separuh tubuhnya hancur. Kayak habis diserang binatang buas gitu. Sudah ya, mas! Aku ngeri jelasinnya." balas si penjual gemuk itu, "Jadi untuk sementara waktu, kami tidak menjual burung hantu. Tetapi jika mas mau burung yang lain, kami sedia kok."
 
Aku langsung menolaknya. Lalu mendinginkan kepalaku dan kembali bertanya sambil memperlihatkan foto burung hantuku;
 
"Mas, kalau aku boleh tahu, kira-kira burung hantu ini asalnya dari mana?"
 
"Kalau itu dari Sumatera, mas."
 
"Sumatera? Sumatera bagian mana?"
 
"Wah... Kurang tahu, mas. Orang yang lebih tahu itu cuman si penjualnya langsung. Tetapi sayangnya dia sudah meninggal. Kalau dari sepengetahuanku sih, kayaknya dari sebuah hutan yang berada di tengah Pulau Sumatera."
 
"Oh... Kalau begitu terima kasih atas infonya."
 
"Sama-sama mas. Tetapi kalau boleh tahu, mas tanya soal itu untuk apa ya?" tanya si penjual gemuk itu dengan tatapan gelisah.
 
Aku hanya membalas singkat bahwa aku hanya ingin tahu dan tertarik dengan burung hantu tersebut. Kemudian aku meninggalkan pasar dengan perasaan kurang nyaman, terutama setelah melihat tatapan si penjual gemuk itu. Seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal.
 
****
 
Setibanya di rumah kontrakanku, aku menerima delapan panggilan tidak terjawab dari Bono dan sebuah pesan singkat bahwa dia akan datang ke rumahku. Lantas aku duduk santai di halaman depan rumah sambil menunggu kedatangan Bono, dengan ditemani oleh secangkir kopi manis dan burung hantuku yang sedang tidur pulas di dalam kandangnya.
 
Sejam, dua jam, hingga beberapa jam telah berlalu. Hari makin gelap, dan burung hantuku mulai bangun untuk beraktivitas, tapi Bono belum kunjung datang. Sudah beberapa kali aku menghubunginya, namun tidak direspon. Secara perlahan aku mulai menaruh syak kepada Bono, dan perasaanku mulai cemas.
 
Tetapi aku berusaha untuk mengalihkan pikiran negatif, dengan bermain bersama burung hantuku. Sejujurnya aku masih belum percaya seutuhnya, jika burung hantu yang imut ini adalah sumber dari fenomena-fenomena ganjil yang terjadi belakangan ini.
 
Aku bersiul dan berbicara santai ke burung hantu itu. Aku juga bilang bahwa aku akan merawatnya dengan baik. Secara ajaib, burung hantu itu merespon tiap kalimat yang kuucapkan dengan kicauannya, sambil mengembangkan bulu dan sayap. Seolah-olah dia paham dengan apa yang kukatakan.
 
Itu adalah momen yang menyenangkan, sekaligus berhasil mengalihkan segala kekhawatiranku. Tetapi keasyikan itu berlangsung tidak lama, dan hilang sekejap saat burung hantuku secara mengejutkan berbicara seperti manusia.
 
"PULANGKAN! PULANGKAN AKU MANUSIA JAHANAM! PULANGKAN AKU KE TEMPAT ASALKU!" ujar burung hantu itu.
 
Aku sangat terkejut setengah mati. Sampai-sampai aku melompat menjauhinya dan hampir terjatuh. Sepengetahuanku; burung hantu tidak bisa menirukan suara manusia seperti seperti burung beo. Terlebih lagi suara yang keluar dari mulutnya terdengar seperti suara iblis yang menakutkan.
 
Di tengah kengerian itu, seketika terdengar suara yang kembali mengagetkanku dari arah luar halaman rumah kontrakanku. Ternyata itu adalah istri Bono. Dia tampak karut dan memintaku untuk mengantarnya ke rumah sakit, yang berlokasi tidak jauh dari rumah kami berada. Saat kutanya alasannya, ternyata Bono mengalami kecelakaan saat hendak memasuki komplek perumahan, dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sontak aku jadi ikut panik, dan bergegas pergi ke rumah sakit tersebut bersama istri Bono dengan mengendarai motorku.
 
****
 
Sesampainya kami di rumah sakit; kami mendapati tubuh Bono yang bobrok dan terbaring kaku di atas kasur; dan sudah diselimuti kain putih. Isak tangis sang istripun pecah dan mewarnai seisi ruangan. Aku hanya bisa terdiam dan menatap tidak percaya dengan apa yang kulihat. Perasaan sedih, keraguan, amarah, dan ketakutan mulai bercampur di dalam diriku, sehingga membuatku lumpuh dan terselap.
 
Menurut kesaksian warga, mereka melihat Bono sedang melaju masuk ke komplek perumahan dengan kecepatan tinggi. Namun dia terlihat tidak fokus dan secara tidak sengaja mengambil jalur yang salah. Walhasil ada sebuah mobil truk yang melaju cepat dari arah berlawanan dan langsung menghantamnya tanpa ampun. Tubuhnya terpental dan terseret sejauh 50 meter. Para warga yang menyaksikan itu segera menghentikan mobil truk itu dan bergegas mengevakuasi Bono. Untungnya si pengemudi truk mau bertanggung jawab dan membantu proses evakuasinya.
 
Dari kesaksian itu, aku merasa ada yang mengganjal. Tidak biasanya Bono melakukan kesalahan seperti itu. Dia adalah pengemudi yang baik dan jauh lebih baik daripadaku. Rasanya sangat aneh jika dia melakukan kesalahan fatal, hingga merenggut nyawanya dalam sekejap. Walakin, aku tidak dapat berargumentasi banyak soal itu dan menyimpannya dalam diriku sendiri.
 
Alhasil Bono dikebumikan pada keesokan pagi. Di pemakamannya yang singkat, banyak sekali orang yang berkunjung, kecuali Mbah Parjo. Hal itu tidak mengherankan. Karena Bono adalah orang yang baik, sehingga kabar kematiannya sangat mengejutkan, dan membuat banyak orang jatuh ke dalam duka.
 
Di hari yang sama, aku juga mengembalikan burung hantuku ke pasar hewan tradisional. Aku mengembalikannya kepada si penjual gemuk yang kutemui kemarin. Meski aku tidak balik modal, tapi aku merasa bahwa itu adalah pilihan yang tepat. Sebab aku merasa bahwa burung hantu itu telah membuat hari-hariku lebih kelam. Awalnya si penjual gemuk itu sempat menanyai alasanku, namun aku hanya menjawab bahwa aku tidak punya waktu untuk merawatnya.
 
Aku berpikir dengan mengembalikkan burung hantu itu ke pasar hewan tradisional dapat mengakhiri semua teror. Namun ternyata tidak! Kengerian makin mencapai klimaks saat selepas magrib, di mana secara mengejutkan Mbah Parjo datang ke rumahku. Dia terlihat kesetanan dan menyerangku dengan pertanyaan panik;
 
"Burung hantu itu! Di mana dia?"
 
"Sudah kukembalikan ke pasar hewan tradisional."
 
"APPAAA? Dasar bodoh! Kamu seharusnya tidak melakukan itu!" ujar Mbah Parjo, "Seharusnya kamu mengembalikan ke habitatnya langsung! Bukan ke pasar! Itu tidak menyelesaikan masalah! Sudah pasti burung hantu itu akan dijual lagi dan kutukannya akan terus berlanjut!"
 
"A... Apa maksudmu?" tanyaku gemetar.
 
Lantas Mbah Parjo menjelaskan secara detail kepadaku, bahwa dia telah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap permasalahanku. Ternyata memang benar bahwa burung hantuku adalah penyebabnya.
 
Sebab burung hantu itu adalah binatang langkah yang hidup di sebuah hutan terlarang, yang terletak di tengah-tengah Pulau Sumatera. Namun ada pemburu-pemburu liar yang nekat menangkap dan menjualnya secara ilegal. Penjelasan ini mengingatkanku pada si penjual gemuk yang tampak gelisah saat kutanyai asal muasal burung hantu itu. Aku menduga bahwa dia juga memahami hal itu, dan khawatir jika aku adalah petugas pelindung binatang atau akan melapor ke pihak berwajib.
 
Kemudian Mbah Parjo menambahkan, bahwa berdasarkan hasil penelitian singkatnya, di dalam hutan terlarang itu terdapat sebuah candi kuno yang belum terekspos. Di tempat itulah tinggal sebuah sosok gaib, yang diduga adalah dewi kuno, si penjaga hutan terlarang termasuk flora dan faunanya. Dewi itu adalah sosok yang tidak bisa disebutkan namanya oleh orang-orang awam seperti kita, dan tidak ada yang mengetahui nama aslinya. Alhasil Mbah Parjo hanya menyebut dewi itu sebagai Dewi Hutan Terlarang.
 
Secara kebetulan, burung hantu itu adalah hewan kesayangan Dewi Hutan Terlarang, dan dia sering memakainya sebagai perantara atau alat komunikasi kepada para pengikutnya maupun hewan-hewan di hutan terlarang. Jika hewan kesayangannya diambil secara tidak bertanggung jawab; maka dia akan murka, meneror, hingga mengutuk kepada siapapun yang bersangkutan. Entah itu si pemburu; si penjual; hingga si pembeli. Bahkan sosok itu tidak segan mencelakai orang-orang terdekat mereka, demi menanamkan benih teror. Kutukan itu tidak akan berhenti, sampai kita mengembalikannya langsung ke hutan terlarang.
 
Setelah mengetahui itu, Mbah Parjo segera memberitahu Bono, yang kebetulan sedang berkunjung ke rumahnya untuk mengantar kue basah. Mbah Parjo juga meminta Bono untuk segera memberitahuku. Namun aku tidak bisa dihubungi, sehingga Bono memutuskan untuk mendatangi langsung rumah kontrakanku.
 
Tampaknya Bono terlalu khawatir, sehingga dia kehilangan fokus saat berkendara dan berujung pada kecelakaan maut. Alhasil pesan penting itu gagal sampai tepat waktu kepadaku. Bahkan berita kematian Bono juga datang terlambat ke Mbah Parjo, sehingga dia melewatkan pemakamannya.
 
Setelah Mbah Parjo menyelesaikan ceritanya, dia memaksaku untuk segera kembali ke pasar hewan tradisional, dan mengambil kembali burung hantu itu. Alhasil aku segera berkemas-kemas, sedangkan Mbah Parjo menungguku di halaman depan rumah kontrakanku.
 
Di saat itulah, Mbah Parjo diserang oleh sesosok entitas yang menyeramkan dan merobek-robek tubuhnya secara brutal. Jeritannya sampai masuk ke dalam rumahku, sehingga aku segera lari keluar dan mendapatinya sudah tergeletak kaku di atas tanah dengan tubuh yang tercabik-cabik.
 
Di waktu yang bersamaan, aku mendengar suara deru sayap dan -- secara samar -- melihat bayangan hitam mendung, yang melawan sinar lampu jalanan dan cahaya bulan terbit. Lalu aku segera mengucapkan beberapa kalimat doa secara gemetar. Tiba-tiba aku mendengar suara senandung yang akrab, dan menyaksikan sebuah wujud perempuan bertubuh campuran yang mengerikan dan ambigu.
 
Aku langsung memejamkan kedua mataku dan menjatuhkan diri ke atas tanah. Alhasil aku hanya mendengar suara deru sayap besar, dengan diiringi oleh suara perempuan bersenandung terkutuk yang merindingkan. Senandung itu ditutup dengan kalimat berbahasa kuno dengan nada mengancam. Tetapi secara misterius, aku dapat memahami isi kalimat tersebut, bahwa dia meminta agar miliknya segera dikembalikan atau dia akan merenggut nyawaku.
 
Setelah beberapa waktu berlalu, suara deru sayap beserta suara senandung itu lenyap seketika. Aku memberanikan diri untuk membuka kedua mataku, dan tidak mendapati siapa-siapa di sekelilingku, selain tubuh kaku Mbah Parjo. Di waktu yang bersamaan, para tetangga mulai keluar untuk melihat keadaan dan menjadi heboh saat melihat tubuh hancur Mbah Parjo. Lantas mereka segera memenuhi jalan, dan menghujaniku berbagai macam pertanyaan akan peristiwa yang telah terjadi. Namun aku terlalu takut untuk menjawabnya dan memilih untuk tidak mengindahkan mereka.
 
Kalakian aku lekas mengeluarkan motorku dan bergegas pergi ke pasar hewan tradisional. Aku tahu bahwa pasar itu sudah tutup sejak sore. Namun teror yang mengerikan itu telah membuatku sangat kacau, sekaligus memaksaku untuk melakukan hal yang mustahil.
 
Sesampainya di sana, seperti dugaanku bahwa pasar itu sudah tutup. Hanya ada dua orang satpam yang sedang berjaga secara malas-malasan di gerbang pasar. Lantas aku segera melempar pertanyaan seperti orang kesetanan kepada mereka seputar si penjual gemuk, seperti nomor telepon dan alamat rumahnya. Tetapi nahas, mereka tidak mengetahuinya dan memintaku untuk datang kembali di hari esok. Setelah terjadi perdebatan sengit yang tidak berarti, akhirnya aku pulang dengan frustrasi.
 
Di tengah-tengah perjalanan itulah, aku kembali mendengar suara deru sayap beserta suara perempuan bersenandung mengerikan dari atas punggungku. Tampaknya dia sedang terbang mengikutiku dari belakang. Sontak aku menjerit histeris dan menaikan laju motorku.
 
Suara deru sayap itu makin terdengar keras dan dekat. Cakar-cakarnya hampir mengenai pundakku. Dia melakukannya sambil bersenandung terkutuk. Aku segera mengendarai motorku secara kelak-kelok, demi menghindari cakar-cakar dari entitas mengerikan yang tidak dapat disebutkan namanya. Walhasil keadaan yang kacau itu telah membawa pandanganku kepada sepasang cahaya lampu mobil, yang sedang melaju kencang ke arahku.
 
****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun