Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teror Jenazah Nomor 11

8 Juli 2021   19:52 Diperbarui: 30 Desember 2021   20:23 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Rizal; seorang perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit di Kota Purwongso, yang merupakan salah satu kota di provinsi Jawa Tengah. Pekerjaanku tidak ada yang spesial, selain mengikuti petunjuk dokter untuk mengurus pasien dalam memeriksa kesehatan, sekaligus memberi perawatan medis. Namun, semua itu telah berubah sepenuhnya, setelah aku mengalami sebuah peristiwa yang mencekam.
 
Tatkala menjelang tengah malam yang tenang, seketika pecah saat aku mendapat panggilan dari telepon selulerku. Panggilan itu berasal dari rekan kerjaku yang bernama Arya yang sedang mendapat shift malam.
 
“Hallo Zal, tolong cepat datang ke kantor!" ujarnya panik.
 
"Loh... ada apa?" tanyaku
 
"Sudah! Kamu cepat datang kesini!" jawabnya, lalu menutup telepon.
 
Aku merasa ada yang salah dengannya. Arya adalah salah satu perawat baru di tempatku bekerja; dia memiliki sikap yang tenang, meskipun sedang berada di dalam situasi yang serius. Tapi kali ini dia terlihat panik, seakan sedang terjadi sebuah peristiwa besar. Alhasil aku langsung berpakaian dan bergegas pergi ke rumah sakit - yang terletak di Barat Daya kotaku - dengan mengendarai sepeda motorku.
 
****
 
Setibanya di rumah sakit yang berbentuk bangunan besar, bagaikan sebuah puri di antara bangunan kecil di sekelilingnya - berwarna putih lusuh, berarsitektur Belanda, serta minim penerangan di sekitar bangunan - telah menciptakan kesan yang mengintimidasi di waktu malam hari. Secara samar aku melihat seorang pria muda berpakaian perawat, yang sedang berdiri di depan pintu pagar rumah sakit yang terbentuk dari besi hitam. Pria muda itu adalah Arya. Dia terlihat sangat gelisah sembari mengisap puntung rokoknya, dengan wajah yang melukiskan sebuah ketakutan yang tidak dapat dijelaskan.
 
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
 
"Kayaknya ada maling di ruang darah, Zal!" jawabnya.
 
"Beneran?"
 
"Iya. Soalnya aku dengar ada suara berisik dari dalam ruangan itu. Suaranya seperti ada orang yang sedang mengubrak-ngabrik barang." ujarnya sambil mengisap puntung rokoknya. "Aku sangat takut dan tidak tahu harus berbuat apa. Jadi aku sengaja menghubungimu lebih dahulu."
 
Setelah mendengar penjelasan Arya, lantas aku langsung memarkirkan motorku di dekat pos jaga - yang terletak di bagian kanan gerbang masuk rumah sakit - dan menyuruhnya untuk memanggil satpam untuk menemani kami memeriksa ruang darah. Waktu itu satpam yang sedang berjaga tidak lebih dari 10 orang jumlahnya, dan sebagian besar tidak berani masuk ke dalam rumah sakit. Tapi untungnya, salah satu dari mereka ada yang bersedia menemani kami; dia adalah Pak Supri, seorang satpam lama di rumah sakit ini. Meskipun secara fisik dia terlihat tua - karena sudah berkepala lima - tapi dia masih terlihat gagah.
 
Kemudian aku dan Pak Supri mengikuti Arya masuk ke dalam rumah sakit. Setibanya di dalam, kami disambut oleh suasana yang hening. Sangat sedikit perawat dan dokter yang terlihat berlalu lalang. Ditambah dengan lampu penerang yang redup membuat suasana semakin misterius. Lalu kami mengikuti Arya yang melaju ke arah sayap kiri rumah sakit, sampai akhirnya kami tiba di depan ruang penyimpanan darah. Arya terlihat gugup ketika berada di depan ruangan itu. Lantas Pak Supri bergegas mengambil alih posisi Arya, serta membuka pintu ruangan tersebut. Tiba-tiba tersembur aroma bau amis yang menusuk dari dalam ruangan yang diselimuti oleh kegelapan. Kemudian Pak Supri meraba dinding untuk mencari saklar dan menekannya. Ketika lampu ruangan sudah menyala, serentak kami melihat sebuah pemandangan yang mengguncangkan.
 
Banyak sekali darah berceceran dimana-mana. Di lantai, di dinding, bahkan sampai di langit ruangan. Darah itu seakan mewarnai ruangan tersebut menjadi merah. Semua loker penyimpanan darah dalam keadaan terbuka, dengan pintu yang telah dirusak secara paksa. Sedangkan kotak dan kantong darah sudah berceceran dimana-mana, dalam keadaan sudah dirobek dan meninggalkan bekas gigitan.
 
Pak Supri yang melihat kejadian ini langsung menghubungi rekan sesama satpam melalui woki-tokinya. Dia menyuruh mereka untuk segera mengecek cctv dan semua tempat yang ada; karena dia takut terjadi hal serupa di tempat lain. Arkian, aku melihat jejak kaki dan tangan manusia dari darah; keluar melalui pintu belakang ruang darah. Aku bergidik ngeri saat melihat ukuran tangan dan kakinya yang lebih besar daripada ukuran manusia pada umumnya, serta memiliki jari yang panjang. Apabila dilihat dari jejaknya, dia berjalan dengan merangkak.
 
"Ayo kita ikuti jejak itu!" ujar Pak Supri.
 
Sebetulnya nyali kami telah ciut; tapi untuk memastikan kekacauan belum menyebar ke tempat lain, jadi kami mengiyakan ajakan Pak Supri. Kemudian kami mengikuti arah jejak darah itu pergi, sambil bertanya-tanya di dalam hati. Jejak darah itu tidak hanya mengotori lantai, tapi juga dinding dan langit; seolah-olah dia dapat berjalan merayap seperti laba-laba. Hal ini membuat kami semakin yakin bahwa pelakunya bukan manusia.
 
Jejak darah itu masuk ke sebuah ruangan yang tak lain adalah ruang jenazah. Melihat itu kami yakin bahwa dia sedang berada di dalam ruangan tersebut, karena tidak ada pintu keluar lain selain pintu masuk. Jendela-pun juga tidak ada, sehingga tidak ada celah sekecil-pun untuk kabur dari ruang jenazah.
 
Pak Supri langsung menyiapkan tongkat pemukulnya, serta memanggil rekan kerjanya melalui woki-toki untuk segera datang ke ruang jenazah. Lalu dia memberi isyarat kepada kami untuk berdiri di belakangnya, sekaligus bersiap diri untuk suatu hal buruk yang akan terjadi. Sebab kami tidak tahu apa yang akan kami hadapi di dalam ruangan tersebut. Meskipun Pak Supri sudah berpengalaman, tapi aku masih dapat melihat rasa kengerian di wajahnya. Lantas Pak Supri menggenggam gagang pintu ruang jenazah yang tidak terkunci dan mendorongnya secara perlahan. Aku dan Arya menatap ke dalam ruangan itu dengan bergidik ngeri.
 
Kemudian Pak Supri mulai masuk ke dalam dan kami mengikutinya dari belakang. Ruang jenazah itu berada dalam keadaan yang kosong, alias tidak ada penjaganya. Di dalam sana, kami melihat jejak tersebut melaju ke arah lemari pendingin jenazah yang berbentuk seperti loker logam dan berjumlah 12, yang terletak di sisi kanan ruangan dari arah pintu masuk. Jejak itu mengarah ke sebuah loker yang terletak di ujung ruangan, dengan tertulis nomor 11 di pintunya. Pintu loker itu terlihat rusak seperti didobrak kuat dari dalam - beberapa bagian di sisi pintu terlihat melekuk - dan banyak darah yang mengalir keluar dari sela-sela loker tersebut.
 
Ekspresi takut, serius, dan ragu telah bercampur di wajah Pak Supri. Namun dia tetap memeriksa loker tersebut. Dia meminta kami untuk membantunya membuka loker itu. Sebetulnya aku dan Arya sudah sangat takut dan berniat untuk menolak; tapi karena ini bagian dari tanggung jawab kami sebagai perawat, jadi kami harus mengikuti perintahnya.
 
Ketika loker itu kami buka; darah mengalir keluar dengan deras, hingga menciptakan genangan kecil di lantai. Lantas Arya langsung berlari keluar ruangan dan muntah; sedangkan aku masih berusaha untuk bertahan dan membantu Pak Supri. Kemudian aku dan Pak Supri menarik keluar jenazah yang ada di dalamnya dan kami terkejut tidak main.
 
Jenazah itu berjenis kelamin lak-laki, dengan usia sekitar kepala lima atau enam. Rambutnya panjang berantakan, namun bagian kepala depannya sudah gundul. Tinggi badannya sekitar dua meter dengan badan yang kurus dan berkulit pucat. Mulutnya masih menyeringai mengerikan, dengan dilumuri darah segar; memperlihatkan empat taring yang menjulur keluar dari mulutnya. Matanya sangat besar - sebesar bola tenis - serta terlihat sedang melotot tajam, meskipun dalam keadaan terpejam. Dagunya lancip dan hidungnya mancung seperti paruh burung elang. Jenazah itu memiliki empat tangan; sepasang terletak di punggung, tepatnya di otot latissimus dorsi. Ukuran telapak tangan dan kakinya besar, dengan dihiasi kuku hitam yang panjang dan tajam. Sedangkan kedua lutut kakinya menekuk ke depan dan telapak kakinya menghadap ke belakang; berbeda dengan lutut kaki manusia pada umumnya. Pak Supri dan aku yang melihatnya hanya bisa mengucapkan "Istighfar".
 
Tidak lama kemudian, datanglah beberapa orang satpam ke dalam ruangan itu, bersama seorang perawat yang bertugas menjaga ruang jenazah. Lantas mereka semua terkejut melihat keadaan di dalam ruangan. Arkian, Pak Supri langsung menyuruh si perawat penjaga ruang jenazah untuk pergi ke meja administrasi, untuk mengecek identitas jenazah tersebut, sekaligus waktu pengirimannya ke rumah sakit. Perawat itu mengiyakan perintah Pak Supri dan langsung bergegas ke sana.
 
****
 
Menurut informasi yang didapat dari meja administrasi; mayat tersebut tidak memiliki identitas, dan dikirim oleh polisi ke rumah sakit pada jam enam sore untuk dilakukan autopsi. Rencananya pihak rumah sakit akan melakukan autopsi di hari esok, karena dokter yang bekerja di bidang autopsi sudah pulang.
 
Berdasarkan catatan keterangan dari polisi; mayat itu ditemukan di tepi sungai yang berada di tengah sawah oleh warga. Dia hanya menggunakan sehelai kain cokelat yang menutupi area kemaluannya, selayaknya celana dalam. Para warga yang melihat rupa dari jenazah tersebut, beranggapan bahwa itu adalah pertanda buruk. Walhasil, para warga meminta polisi untuk segera menyingkirkannya dari desa mereka.
 
****
 
Pak Supri memintaku untuk menghubungi petugas kebersihan yang sedang berjaga saat itu - seorang pria paruh baya, bernama Pak Asman - untuk membersihkan semua noda darah. Awalnya Pak Asman agak rongseng, karena jam kerjanya baru berakhir dan hendak pulang. Walakin, setelah dia melihat keadaan sekitar - terutama kondisi di ruang penyimpanan darah - dia menjadi terperangah pucat. Untungnya dia segera menyadari, bahwa kejadian ini harus segera dibereskan sebelum ada orang luar mengetahuinya.
 
Tetapi aku merasa ragu, bahwa Pak Asman yang sudah tua itu mampu membersihkan semua noda darah dari ruang penyimpanan darah, lorong, hingga ruang jenazah, dengan seorang diri. Lantas aku langsung meminta Arya untuk menghubungi para perawat yang sedang menganggur untuk berkumpul di depan ruang jenazah.
 
Berapa waktu berselang, sudah ada 10 perawat - termasuk si penjaga ruang jenazah - terkumpul bersama lima orang satpam, termasuk Pak Supri yang sudah ada dari awal di ruang jenazah. Lantas aku membagi tugas kepada mereka yaitu delapan orang perawat kutugaskan untuk membantu Pak Asman membersihkan semua darah - bersama aku dan Arya - dengan dua di antaranya membersihkan genangan darah yang ada di ruang jenazah. Sedangkan sisanya, kutugaskan untuk memandikan jenazah tersebut. Untuk para satpam, mereka ditugaskan oleh Pak Supri untuk mengawasi sekitaran lorong yang akan dibersihkan.
 
Mereka semua diambil sumpah untuk merahasiakan peristiwa ini dan harus segera menyelesaikannya sebelum orang lain - terutama pasien atau pengunjung rumah sakit - melihatnya. Selain itu, Pak Supri juga meminta salah seorang satpam yang bertugas di ruang cctv, untuk segera mengamankan rekaman yang menangkap gambar makhluk itu. Karena kalau sampai bocor ke publik, itu dapat mencoreng nama baik rumah sakit.
 
****
 
Selama membersihkan darah yang berceceran di lantai, dinding, dan langit lorong, semua perawat terlihat pucat pasi. Tidak sekali-kali mereka menyebut "Istigfar". Tidak jarang mereka merasa mual dan muntah, terutama bagi mereka yang bertugas di ruang penyimpanan darah. Pak Asman juga hanya bisa menyebut "Istigfar" sembari melihat ember, yang kini telah berubah menjadi warna merah pekat.
 
Tiba-tiba ada dua orang perawat berhamburan keluar dari ruang jenazah dengan ekspresi takut.
 
"MAYATNYA! MAYATNYA HIDUP!" teriak salah satu dari mereka.
 
Aku sangat terkejut mendengarnya dan bergegas masuk ke dalam ruang jenazah. Sedangkan perawat lainnya berusaha menangkap para perawat yang kabur, untuk mencegah terjadinya keributan.
 
Setibanya di dalam, aku mendapati dua perawat perempuan yang sedang duduk ketakutan di lantai. Seorang perawat perempuan berambut pendek, sedang menggenggam tangan perawat di sebelahnya dengan tubuh menggeligis, sambil menundukkan kepala karena takut melihat sekitarnya, seperti orang mengidap shell shock. Sedangkan temannya - seorang perawat perempuan yang menggenakan hijab - juga berada dikondisi yang tidak jauh berbeda.
 
Jenazah itu telah hilang; meninggalkan sebuah meja pemandian jenazah yang basah, dengan selang air yang masih mengalir deras membasahi lantai di bawahnya. Aku langsung panik dan mencarinya di segala sudut ruangan; tapi aku tidak menemukannya.
 
Seketika perawat yang berhijab berusaha berbicara kepadaku dengan suara yang terbata-bata, sambil menunjuk ke arahku dengan tubuh bergetar.
 
"Di... di... dia..." ujarnya.
 
Aku yang semakin panik langsung mendekatinya.
 
"Di... dia... di... ssa... ssann..." ujarnya sambil meneteskan air mata.
 
Seketika tubuhku bergidik. Aku mulai merasakan kehadiran sesuatu di belakangku. Lalu aku mulai menoleh secara perlahan-lahan ke arah belakangku. Terlihat sebuah pintu ruang jenazah yang terbuka lebar, hingga menyentuh dinding di belakangnya. Kemudian pintu itu mulai menutup secara perlahan-lahan. Itu adalah sebuah adegan yang menakutkan dalam hidupku. Tapi yang lebih menakutkan bukan karena pintu itu menutup dengan sendirinya, melainkan sosok di belakang pintu yang tidak lain adalah si jenazah itu. Dia berdiri di belakang pintu; bersembunyi di dalam kegelapan; menatapku dengan kedua matanya yang besar dan berwarna paduan merah, oranye, dan kuning. Mulutnya menyeringai lebar dari telinga hingga ke telinga satunya; memperlihatkan taringnya, sambil menjulurkan lidahnya yang panjang dan berwarna merah. Melihat itu aku mulai kehilangan keseimbangan dan jatuh duduk dengan ekspresi yang diselimuti oleh kengerian tidak ternilai. Kemudian dia merangkak ke arahku seperti belalang. Aku mulai berteriak meminta tolong; berharap orang di luar mendengarku dan segera masuk ke dalam ruangan. Seketika makhluk itu mulai melompat ke arahku. Untungnya aku masih bisa mengendalikan tubuhku dan menghindar darinya, sehingga makhluk itu mendarat di meja pemandian mayat dan menjatuhkannya.
 
Aku terus mengawasi makhluk itu dengan penuh kewaskitaan. Dia merangkak dari balik pemandian mayat, lalu naik ke dinding ruangan sembari melihat ke arahku dengan tatapan durjana. Sedangkan dua perawat perempuan yang berada di dekat pemandian mayat, hanya bisa menangis ketakutan sambil membaca doa.
 
Suasana yang mencekam tersebut, seketika terhenti oleh kedatangan Arya, Pak Supri bersama beberapa orang satpam, dan beberapa orang perawat. Mereka semua telah dipersenjatai oleh tongkat pemukul dan benda seadanya. Aku berteriak ke mereka untuk berwaspada; namun aku mulai sadar bahwa makhluk itu sudah menghilang. Aku berusaha mencarinya di sekitarku, untuk memastikan bahwa dia masih ada di dalam ruangan ini.
 
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Pak Supri dengan cemas.
 
Kepanikan masih menguasai diriku, sehingga aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya bisa menoleh ke arahnya dan memberi isyarat bahwa keadaan belum aman.
 
"Dimana jenazah i..." tanya Pak Supri terputus, dengan diakhiri oleh jeritannya yang memilukan.
 
Seketika ada dua tangan besar menggenggam kepala Pak Supri dari atas langit ruangan dan menusukkan kuku-kuku di mukanya. Arya bersama para satpam dan perawat sontak terkejut dan lompat menjauh, sembari menatap ke arah tangan itu datang. Tangan itu tidak lain adalah tangan si jenazah. Dia menyeringai menikmati jerit pilu Pak Supri. Lalu tangan itu mengangkat Pak Supri secara perlahan-lahan, hingga membuatnya semakin menjerit kesakitan dan meronta-ronta tak berdaya. Darah segar bercucur dari mukanya, hingga membasahi seragamnya. Lalu dia menjulurkan lidahnya yang panjang; kalakian menjilati darah yang ada di muka Pak Supri dengan penuh nafsu.
 
Di tengah ketegangan yang mengerikan, seketika terdengar suara orang mengumandangkan doa. Orang itu tidak lain adalah Arya. Meskipun tubuhnya bergetar takut, terlihat dia berusaha memberanikan diri untuk menghadapi makhluk itu. Seketika makhluk itu menoleh ke arahnya - dengan kedua tangan yang masih mencengkeram kepala Pak Supri - dan menatap tajam. Arya yang melihatnya langsung mengeraskan suaranya dan terus berkumandang. Tiba-tiba dengan cepat tangan makhluk itu menggenggam muka Arya, lalu diayunkannya ke dinding di belakangnya secara berkali-kali, hingga kepalanya hancur bagaikan buah semangka yang dibanting ke aspal. Darah menciprat kemana-mana. Tubuh Arya seketika roboh ke lantai. Dia tewas seketika. Tampaknya makhluk itu tidak mempan dengan doa, atau - mungkin - Arya yang salah melafalkannya akibat terlalu takut.
 
Aroma bau amis darah yang keluar dari kepala Arya yang remuk, telah membuat makhluk itu menjadi terangsang. Lalu dia melempar tubuh Pak Supri yang sudah tidak sadarkan diri, ke arah kerumunan satpam hingga mereka semua terjatuh. Kalakian makhluk itu merangkak ke tubuh Arya dan menjilati, sekaligus meminum darahnya dengan penuh nafsu. Adegan itu diakhiri oleh jerit histeris para perawat perempuan dan teriakan "Allahu Akbar" dari para perawat dan satpam lainnya yang hendak melancarkan perlawanan. Mereka menyerang makhluk itu dari berbagai arah dengan benda seadanya. Tetapi makhluk itu dengan gesit mampu menghindar dan menyerang balik, serta mencabik-cabiknya hingga mereka semua terluka.
 
Aku yang masih dikuasai oleh kengerian, dan hanya bisa menyaksikan adegan berdarah itu; tiba-tiba terlintas di pikiranku akan sebuah cara untuk menghentikannya. Arkian, aku melihat seorang perawat muda - bernama Gamya - yang sedang berdiri mematung ketakutan, sambil melihat makhluk itu mencabik-cabik rekan kerjanya. Sontak aku berteriak kepadanya untuk pergi ke sebuah ruang penyimpanan zat kimia yang terletak di ujung lorong, untuk mengambil sebuah zat kimia senyawa kloroform atau obat bius. Dia hanya mengangguk dan langsung berlari keluar ruangan. Aku tidak tahu apakah dia akan kembali atau tidak; karena yang aku tahu makhluk itu mulai menoleh ke arahku dan menyeringai bengis. Semua perawat dan satpam sudah tidak sadarkan diri dalam keadaan berantakan dan berlumuran darah, sehingga menyisakan aku seorang diri bersama dua perawat perempuan yang sudah terjatuh pingsan. Lantas dia mulai mendekati diriku yang panik dan tak berdaya.
 
Lalu aku mengambil sebuah tongkat pel dan kuayunkan ke arahnya. Tapi makhluk itu berhasil menangkisnya dan langsung meraih leherku. Dia mencekik dan mengangkatku ke udara. Kemudian tangan lainnya mulai memegang kedua tangan dan kepalaku, lalu ditariknya dengan kasar. Aku hanya bisa meronta-ronta sambil membaca doa. Namun makhluk itu tidak memberikan respon terhadap doa yang kuucapkan.
 
Akan tetapi, pertolongan Tuhan tiba pada waktunya. Aku mendengar suara gemercik air di punggung makhluk itu, yang dilanjutkan oleh suara jerit melengking kesakitan. Lalu dia melepaskan tubuhku dan meronta-ronta kesakitan. Ternyata Gamya sudah kembali bersama dua orang perawat dan seorang satpam. Dia baru saja melempar cairan asam ke punggung makhluk itu, sehingga membuatnya melepuh kesakitan. Walakin, cairan asam itu hanya membuat kulitnya memerah.
 
Makhluk itu mulai menatap beringas ke arah Gamya. Lalu dia mulai berlari dan melompat ke arahnya. Sontak Gamya melempar kembali sebuah botol kaca ke arah makhluk itu, tapi berhasil ditangkisnya. Tangkisannya yang kuat telah membuat botol kaca itu pecah dan mengeluarkan asap kecil yang membuat makhluk itu kehilangan keseimbangan, sehingga dia mendarat tidak stabil ke lantai. Ternyata botol kaca yang dilempar oleh Gamya berisi cairan kloroform.
 
Cairan itu berhasil membuat gayang makhluk itu. Dia kehilangan keseimbangan dan tidak mampu menyerang. Gerakannya-pun mulai melemah. Melihat momen tersebut, aku langsung menguatkan diri untuk berlari ke arah Gamya dan merebut sebotol kaca - tertulis kloroform - lainnya, lalu kulemparkan ke arah muka makhluk itu. Alhasil lemparanku berhasil mengenai sasaran, karena dia tidak mampu menghindar atau menangkis akibat efek dari kloroform. Botol itu mendarat dan pecah di hidungnya. Cairan di dalamnya berceceran di muka makhluk itu dan sebagian masuk melalui mulut dan lubang hidungnya. Makhluk itu mulai berkelojotan; kalakian perlahan-lahan tubuhnya menjadi lemas, hingga akhirnya dia jatuh tak sadarkan diri. Kami yang melihatnya langsung mengucapkan tahmid.
 
****
 
Keadaan sudah terkendali; kami juga telah mengikat semua tangan dan kaki makhluk tersebut; tapi rasa takut masih menghantui kami, seakan makhluk itu akan segera kembali pulih dan mengamuk. Alhasil, aku bersepakat dengan beberapa orang perawat dan satpam lainnya untuk melakukan sebuah tindakan. Awalnya kami berencana untuk melaporkan hal ini kepada polisi. Tetapi setelah dipikirkan ulang; kedatangan polisi dapat mencuri perhatian para warga sekitar, termasuk orang-orang di dalam rumah sakit yang tidak mengetahui kejadian ini. Akhirnya aku mengambil sebuah keputusan yang sangat berisiko, yaitu mengubur langsung jenazah tersebut di sebuah tempat pemakaman umum yang terletak di belakang rumah sakit. Tempat pemakaman umum itu dibangun untuk para jenazah yang tidak memiliki identitas, sekaligus tidak diurus oleh keluarganya. Pada awalnya para perawat dan satpam tidak setuju dengan ideku; karena itu melanggar protokol rumah sakit, serta pihak rumah sakitlah yang berwenang atas persetujuan untuk penguburan jenazah di tempat pemakaman umum tersebut. Apabila ketahuan; mereka akan menjatuhkan hukuman dalam bentuk skors, potong gaji, hingga pemecatan. Tetapi setelah menyadari akan risiko mengerikan jika makhluk itu pulih, serta tidak adanya ide lain yang lebih baik dan bijak, akhirnya kami semua sepakat untuk menguburnya.
 
Melihat waktu telah mendekati adzan subuh, kami langsung bergegas memasukan tubuh makhluk itu ke dalam sebuah kantong jenazah. Karena tinggi badannya sekitar dua meter, akhirnya kami menggunakan dua kantong jenazah yang dimodifikasi menjadi satu. Setelah tubuhnya sudah masuk ke dalam kantong jenazah, kami mengikatnya lagi guna mencegah makhluk itu dapat keluar dengan mudah dari kantong, apabila dia sudah kembali pulih.
 
Kemudian kami bergegas keluar menuju pintu belakang rumah sakit. Perawat yang ikut bersamaku kira-kira berjumlah tiga orang; mereka bernama Hattala, Idhang, dan - termasuk - Gamya. Selain itu, kami juga dibantu oleh seorang satpam - bernama Pak Yono - yang membantu membukakan pintu untuk kami dan mengantarkannya ke tempat pemakaman umum. Ketika kami baru saja keluar, terlihat dua orang perawat dan Pak Asman yang kebetulan sedang jalan di ujung lorong, melaju ke arah kami. Lantas aku memberi sebuah isyarat kepada mereka, untuk segera membereskan ruang jenazah dengan segara. Mereka menangkap perintahku dan langsung bergegas masuk ke ruang jenazah. Arkian, aku kembali fokus membawa tubuh makhluk ini ke tempat pemakaman umum.
 
****
 
Ketika kami telah keluar dari pintu belakang rumah sakit; terlihat sebuah area pemakaman yang luas dan gelap - bila dilihat sekilas, terlihat seperti pekarangan kosong - yang dipagari oleh pagar besi hitam yang berbentuk seperti tombak yang dibuat berjajar dengan dihiasi oleh tumbuhan kering yang merambat. Pemakaman itu terpisah oleh sebuah area parkir rumah sakit. Melihat itu kami langsung bergegas menuju ke sebuah pintu pemakaman yang terbuat dari besi bergaya Jugendstil. Disana Pak Yono sudah membukakan pintu besi itu, bersama seorang penjaga makam yang bernama Mas Syurif. Dia sudah diberitahu oleh Pak Yono, sehingga dia telah menyiapkan satu lahan kubur untuk kami. Lahan itu terletak di deretan depan, dekat tempat parkir dan hanya dipisahkan oleh pagar besi. Selain itu terdapat juga sebuah pohon mangga besar yang terletak di samping kanan lahan tersebut, dengan hanya dipisahkan oleh dua makam yang telah terisi. Kalakian kami langsung menggali lahan kubur itu, dengan ditemani oleh Mas Syurif dan Pak Yono.
 
Belum lama kami menggali liang kubur, seketika Mas Syurif berteriak sambil mengarahkan jarinya ke arah kantong jenazah.
 
"Kantong jenazahnya... kok bergerak?" ujarnya panik.
 
Sontak kami semua terkejut. Hattala dan Idhang langsung mendekati kantong jenazah itu dan memeriksanya. Walakin, mereka tidak menemukan kejanggalan. Makhluk itu masih tertidur. Walhasil, kami hanya menganggap Mas Syurif salah lihat dan kembali melanjutkan penggalian.
 
Setelah beberapa menit kami menggali; tiba-tiba terdengar suara orang yang menggerakan kantong jenazah dari dalam. Kami yang mendengar itu langsung melihat ke arah kantong jenazah tersebut, tapi kami tidak menemukan adanya pergerakan; masih terdiam seperti tadi dan tidak ada yang janggal. Alhasil, kami masih bisa berpikir positif, bahwa itu hanyalah suara angin. Lalu kami kembali menggali liang kubur, tapi dengan perasaan yang mulai gelisah.
 
Tidak lama kemudian, suara dari kantong jenazah itu kembali terdengar. Kali ini suaranya lebih jelas dan diikuti oleh jeritan Gamya, yang kebetulan dia berdiri menghadap ke arah kantong jenazah.
 
"Makhluk itu! Dia bergerak!" ujarnya panik.
 
Sontak kami langsung menoleh ke arah kantong jenazah itu dan terpaku. Kantong jenazah itu mulai bergerak; meskipun hanya terlihat sekilas, tapi itu telah membuktikan bahwa makhluk itu mulai terbangun. Tanpa menunggu lebih lama lagi, kami langsung bergegas menggali liang kubur. Mas Syurif yang ketakutan terus melontarkan pertanyaan kepada kami, tapi kami menghiraukannya.
 
Tidak lama kemudian, suara kumandang adzan subuh mulai terdengar, yang menandakan bahwa matahari sebentar lagi akan terbit. Tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan suara rintihan yang menakutkan, membaur bersama suara adzan, dan mewarnai suasana menjadi semakin mencekam.
 
Setelah liang kubur sudah cukup dalam, kami langsung memasukan tubuh makhluk itu yang mulai meronta-ronta. Karena liang kubur cukup dalam dan diselimuti kegelapan yang mengaburkan, akhirnya aku bersama Hattala dan Idhang masuk ke dalam liang kubur tersebut untuk menopang tubuh makhluk itu; untuk memastikan agar makhluk itu dapat mendarat ke dasar liang. Keadaan semakin gentar dan para perawat mulai kehilangan nyali. Tetapi untungnya Mas Syurif dan Pak Yono bergegas membantu kami; mereka mendorong tubuh makhluk itu masuk ke dalam liang kubur.
 
Arkian, kami bergegas keluar dari liang kubur. Ketika aku sedang memanjat keluar, seketika sebuah tangan besar menggenggam kakiku dengan kencang. Sontak aku menoleh ke arah kakiku dan melihat tangan makhluk itu yang telah keluar dari kantong jenazah. Semua orang menjerit histeris dan bergegas lari meninggalkanku seorang diri yang hanya bisa menjerit ketakutan.
 
Tangan makhluk itu menahanku dengan keras, seakan dia hendak meremukan tulangku. Aku meronta-ronta dan berusaha menendang tangan itu. Arkian, kepala makhluk itu mulai keluar dari kantong jenazah dan menyeringai dengan tatapan mata yang penuh dengan amarah dan dendam. Lalu dia langsung menarik kakiku.
 
Aku bergegas meraih sebuah pagar yang terletak di depan liang kubur itu, dan berharap pagar itu dapat menopangku. Tapi pagar tua itu mulai goyang dan lepas, sehingga menyisakan sebuah batang besi yang kupegang. Sekilas aku melihat ujung batang pagar itu berbentuk seperti sebuah anak panah. Kemudian makhluk itu menarik kakiku dengan kuat, hingga aku terjatuh masuk ke dalam liang kubur. Seketika dengan spontan, kuarahkan anak panah itu ke dadanya, sehingga menusuk makhluk itu hingga menembus tubuhnya dan tertancap ke tanah. Makhluk itu meronta-ronta sembari meraung kesakitan.
 
Dia berusaha menarik batang pagar yang tertancap di dadanya, tapi benda itu telah tertanam di tanah. Aku yang melihat itu langsung menggunakan kesempatan untuk melarikan diri. Meskipun tangan-tangan makhluk itu berusaha meraih dan menahanku; tapi kali ini aku mampu menangkisnya dan keluar dari dalam liang kubur itu. Lalu dengan segera aku mengambil sekop dan mulai melemparkan tanah ke dalam liang kubur tersebut. Makhluk itu meronta-ronta dan terus meraung kesakitan, bercampur dengan amarah kepadaku. Dia mulai terkubur hidup-hidup secara perlahan, sampai akhirnya aku berhasil menutup liang kubur tersebut dengan tanah. Kini, makhluk itu telah terkubur dan raungannya sudah tidak terdengar lagi. Arkian, matahari mulai terbit, menyinari langit-langit dan menghapus malam yang kelam. Akhirnya aku dapat bernafas lega.
 
****
 
Suasana di rumah sakit menjadi heboh akibat kejadian semalam. Dimulai dari pasokan darah yang tiba-tiba berkurang drastis. Banyaknya perawat dan satpam yang terluka parah; sebagian besar tidak sadarkan diri, seperti Pak Supri. Seorang perawat yang tewas dalam keadaan mengenaskan. Suara raungan binatang yang ganjil dan mengerikan, sehingga menghantui semua orang - terutama yang tidak mengetahui peristiwa ini - di dalam rumah sakit. Hingga hilangnya kiriman jenazah yang datang kemarin sore.
 
Pihak rumah sakit berusaha mencari keterangan dari kami. Akan tetapi, tidak ada satu-pun yang dapat menjawabnya termasuk aku. Entah karena kami merasa pihak rumah sakit tidak akan percaya, atau - mungkin - masih trauma akibat kejadian tersebut. Akhirnya pihak rumah sakit mengangkat kasus ini ke pihak yang berwajib. Setelah itu, aku tidak tahu bagaimana dari kelanjutannya.
 
Peristiwa itu telah membuat semua perawat dan satpam - yang pernah berhadapan dengan makhluk itu - memutuskan untuk mengundurkan diri, termasuk Mas Syurif si penjaga makam. Kebanyakan dari mereka tidak dapat hidup dengan normal. Mereka menjadi paranoid, cemas berlebihan, nosocomephobia, sering berhalusinasi mengerikan, mengalami mimpi buruk yang menyiksa, dan sebagainya. Sedangkan mereka yang terluka telah menjadi cacat atau mendapat luka permanen; seperti Pak Supri yang wajahnya telah hancur, akibat dari tusukan kuku-kuku makhluk itu, sehingga sekarang dia harus di rehabilitasi secara fisik maupun psikologis.
 
Setelah seminggu dari peristiwa itu, aku mengundurkan diri sebagai perawat. Semenjak itu juga, aku mulai lebih sering mengaji dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun rasa takut masih terus menghantuiku. Alhasil, aku menjadi seorang yang penyendiri dan selalu mengurung diri di dalam rumah. Selain itu, aku lebih sering bermimpi buruk; bermimpi makhluk itu sedang mengejarku dengan penuh murka. Bahkan tidak jarang - di dalam mimpiku - dia mencabik dan memakanku hidup-hidup. Aku tahu itu hanyalah mimpi; tapi - entah mengapa - rasa sakit yang kurasakan terasa sangat nyata, hingga ikut meninggalkan luka di sekujur tubuhku. Seakan-akan itu bukan mimpi, sekaligus mengisyaratkan bahwa makhluk itu belum mati. Setiap kali dia menyiksaku di dalam mimpi, dia selalu mengeluarkan suara raungan yang semakin hari mulai membentuk sebuah kalimat yang berbunyi;
 
"Ing daleme Angkaramerta. Raja ijo sing turu, ngenteni wektu (Di rumahnya Angkaramerta. Raja Hijau yang tertidur, menunggu tiba waktunya)."
 
****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun