Mohon tunggu...
Elmy Bonafita Zahro
Elmy Bonafita Zahro Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Dosen Psikologi UNUSIA Jakarta/ Psikolog Klinis di UP3 UNUSIA dan LPT-UI

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Gangguan Mental dari Drama Korea It’s Okay To Not Be Okay

12 Oktober 2020   11:38 Diperbarui: 13 Oktober 2020   20:19 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) berdampak pada keterbatasan aktivitas di luar rumah. Berbagai kegiatan di dalam rumah menjadi pilihan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan akses internet untuk menonton televisi, streaming film, serial drama melalui netflix dan lainnya. 

Belakangan ini banyak juga yang mulai menonton drama korea. Varian drama serial korea ini tidak hanya menyuguhkan pemain yang menarik tapi juga videografi dan visual yang baik serta alur cerita yang bervariasi. Salah satu drama korea yang banyak diperbincangkan adalah Its Okay to Not be Okay. Serial ini menjadi satu-satunya drama dari Asia yang masuk 10 paling banyak ditonton di netflix per-Oktober 2020. Salah satu yang menarik adalah latar belakang cerita yang mengangkat tentang isu kesehatan mental, baik pada orang dengan gangguan jiwa maupun isu sehari-hari. 

Mengingat tanggal 10 Oktober 2020 adalah hari kesehatan mental sedunia maka penulis berminat untuk membahas kesehatan mental dari hal-hal yang ada di sekitar kita. Salah satunya adalah melalui drama korea agar lebih mudah memvisualisasikannya. Drama yang berlatar belakang rumah sakit jiwa ini memiliki beberapa tokoh yang didiagnosis gangguan psikologis. Kira-kira apa saja gangguan psikologis yang dapat dipelajari dalam drama tersebut, berikut penjelasannya. 

Salah satu tokoh yang menarik perhatian adalah Moon Sang tae (Oh Jung-Se) yang didiagnosis Autism Spectrum Syndrome (ASD). Dalam drama ini diceritakan bagaimana cara dia berinteraksi dengan minim tatap muka, tidak mampu mengenali emosi lawan bicara sehingga saat berkomunikasi juga tidak mampu berempati. Selain itu ia sensitif terhadap stimulus sensori tertentu, fokus terhadap pola-pola berulang, dan minat terhadap hal-hal spesifik. Sebagai seorang caregiver anak berkebutuhan khusus Moon Gang Tae (Kim Soo-Hyun) yang juga berprofesi sebagai perawat rumah sakit jiwa, dia mengajarkan cara mengidentifikasi emosi melalui observasi terhadap foto-foto emosi yang berbeda-beda. Hal ini menarik untuk dicermati tentang konflik yang berpotensi muncul dalam interaksi mereka. 

Kedua adalah Ko Moun Yeong (Seo Yea-Ji), perempuan yang cenderung tidak peduli terhadap peraturan dan tidak peka terhadap orang-orang di sekitarnya. Dia digambarkan sebagai seseorang dengan gangguan kepribadian antisosial yang agresif, impulsif dan manipulatif terutama untuk mendapatkan hal-hal yang ia inginkan tanpa mempedulikan keamanan diri sendiri dan orang lain. 

Gangguan kepribadian termasuk salah satu gangguan yang cenderung menantang karena bersifat menyatu dengan kepribadian yang bersangkutan (ego-syntonic) (APA, 2013). Berbeda dengan gangguan mood seperti depresi atau gangguan kecemasan yang mana pasien merasa terganggu dengan kesehatan mentalnya, pada pasien gangguan kepribadian ia kesulitan mendapatkan insight karena ia tidak merasa dirinya mengalami gangguan namun orang-orang terdekat dengannya yang merasa terganggu. Oleh karena itu, proses treatment juga cenderung memerlukan waktu lama dan berkelanjutan. 

Ketiga adalah gangguan mood yang tergambarkan pada tokoh Kwon Ki Do (Kwak Dong-Yeon) mengalami gangguan manik dan Lee Ah-Reum (Ji Hye-Won) mengalami gangguan depresi. Kisah Kwon Ki Do menarik untuk dicermati. Ia merupakan anak bungsu yang dianggap paling tidak berprestasi oleh orang tua yang berprofesi sebagai anggota dewan daerah. Orang tua yang memperhatikan penilaian publik terhadap nama baik keluarga mereka cenderung menutupi kehadiran anaknya yang dianggap aib keluarga. Ia cenderung melakukan hal-hal berlebihan dan hiperaktif sebagai bentuk cara mencari perhatian dari keluarga. 

Sedangkan kisah Lee Ah-Reum adalah seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dengan kondisi mood yang cenderung depresif dan low self-esteem. Setiap interaksi orang lain dengan dirinya diinternalisasi bahwa hal tersebut adalah salahnya.   

Keempat adalah salah satu pasien seorang kakek ex-tentara yang mengalami post-traumatic stress disorder. Ia adalah seorang mantan tentara yang pernah bertugas di Vietnam. Ia merasa bersalah dan tidak nyaman dengan pengalamannya di masa lalu. Ia bertugas membunuh anak-anak yang tidak berdosa. Apabila terdapat stimulus lingkungan yang mengingatkannya terhadap situasi peperangan di masa lalunya membuat ia mengalami serangan panik dan stres berat. 

Kelima adalah pasien rumah sakit jiwa Kang Eun-Ja (Bae Hae-seon) yang mengalami schizophrenia. Dari drama tersebut terlihat ia mengalami delusi bahwa dirinya adalah seorang ibu dan memiliki anak kaya raya. Ia juga mengalami halusinasi dengan merasa tubuhnya tidak nyaman sehingga menggaruk-garuk tubuhnya sampai berdarah padahal tidak terdapat stimulus apapun di kulitnya. Stres berat dan pengalaman traumatik kehilangan anak perempuannya akibat pertengkarannya sebelum kecelakaan yang menimpa anaknya membuat ia tidak bisa menerima kenyataan. 

Keenam adalah pasien perempuan yang merupakan seorang dukun atau cenayang. Ia mengalami gangguan disosiatif atau yang lebih dikenal berkepribadian ganda. Dalam kondisi stres berat ia mengalami disosiasi atau memisahkan diri dari pribadinya yang asli (Nevid, dkk, 2018). Hal ini merupakan bentuk mekanisme pertahanan yang ia lakukan untuk menyelamatkan ego dirinya yang asli. 

Dengan adanya pengalaman kekerasan di masa kecilnya oleh orang tua secara terus menerus membuat ia menjadi kehilangan fungsi memori, identitas atau bahkan persepsi. Ia menjadi pribadi dengan identitas yang lain sebagai upaya perlindungan diri yang terjadi secara tidak sadar (Hooley, dkk, 2018). Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar kita dan dianggap seperti semacam “kesurupan”. Meski begitu perlu pemeriksaan lebih lanjut dari psikiater dan psikolog untuk dapat menegakkan diagnosis lebih lanjut. 

Dari seriap drama ini kita bisa melihat bahwa kemunculan gangguan psikologis sendiri tidak serta merta karena kesalahan orang ybs. Penyebabnya bisa multifaktor, ada yang berasal dari genetik ada juga yang berasal dari lingkungan terdekat, khususnya pola asuh orang tua yang membentuk pola tingkah laku secara terus menerus atau yang disebut kepribadian. Setiap kali mengamati orang-orang di sekitar kita yang mengalami gangguan psikologis, kita perlu mengamati dari berbagai sisi dan belajar berempati terhadap kondisi mereka. 

Momen ini penting bagi kita untuk menghilangkan stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Hal ini dikarenakan mereka sendiri sebenarnya memerlukan bantuan dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat. Sekalipun kita tidak bisa banyak memberikan bantuan tapi minimal kita tidak memberikan label dan menjauhi atau bahkan berespon agresif terhadap mereka. 

Sebelum kita berbicara bahwa orang tersebut memiliki gangguan jiwa atau memberikan label tertentu akan lebih baik jika kita belajar tentang kesehatan mental. Lalu seberapa jauh Anda saat ini memahami tentang kesehatan mental Anda pribadi? Apakah Anda mengetahui kondisi kesehatan mental orang-orang terdekat Anda? Mari kita menuju pribadi yang sehat mental dan menghilangkan stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun