Mohon tunggu...
Elmi Safridati
Elmi Safridati Mohon Tunggu... Guru - Guru
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan menorehkan sesuatu di medsos menjadi salah satu kesibukan saat ini, walaupun masih dalam tahap belajar. Semoga semuanya bermanfaat. Terima kasih untuk Omjay dan semua guru yang telah mengajarkan ku, semoga ilmu yang sudah diajarkan, berbalas pahala. aamiin...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati yang Berkabut

10 Agustus 2022   11:15 Diperbarui: 10 Agustus 2022   11:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Nina. Pagi itu aku melihat seorang ibu yang sudah separoh baya duduk termenung di depan jendelanya. Menatap jauh entah kemana. Saya melihat pandangan matanya kosong. Sekan memikirkan sesuatu yang teramat dalam. Hampir setiap pagi saya menyaksikan pemandangan itu. Tentu saja hal itu membuat saya penasaran.

Menurut keterangan tetangga kanan kiri, ibu itu orangnya kejam. Dia tidak bersahabat. Tapi saya dengan penuh keyakinan merasa kalau apa yang dikatakan orang - orang tentangnya itu belum tentu sepenuhnya benar. Saya ingin sekali bersahabat dengan ibu itu. Sepertinya dia sangat kesepian dan butuh seorang teman untuk cerita.

Pagi itu kebetulan saya lagi off. Karena memang kalender tanggal merah. Pulang maraton saya tidak langsung mampir ke rumah ibu itu. Nama ibu itu rupanya bu Lisna. Sebelum singgah tadi saya sudah beli beberapa jajanan basah, ada lemet, ada lemang, ada gorengan, ada juga bakwan dan lainnya. Pokoknya komplit. Dengan penuh keyakinan saya mengetuk pintu rumahnya.

Dari luar aku mendengar langkah kakinya agak terseot-seot membukakan pintu. Sebentar...katanya dari dalam rumah.  Kemudian tak berapa lama dia sudah sampai di depan pintu dan membukakan pintunya. "Ada apa nak. Kamu siapa", katanya begitu. "Ayo masuk kita bicara di dalam saja ya", kata beliau.

Sebenarnya dia sudah kenal sama aku, cuma belakangan ini matanya sudah mulai terganggu. Penglihatannya sudah agak kabur, jadi melihatku dia sudah ga jelas lagi. Akhirnya aku bilang, aku ini Nina. Tetangganya ibu gitu. "Oh, kamu ya nak Nina. Ada apa pagi-pagi datang ke rumah ibu. Kamu ada butuh sesuatu" katanya sama saya.

"Saya tidak butuh apa-apa bu, cuma saya lihat dari kemaren ibu selalu duduk termenung di depan jendela ini, memangnya ada apa Bu, kalau ibu ada masalah bolehlah cerita sama aku", saya bilang begitu. "Benar nak Nina mau mendengarkan cerita saya", kata ibu Lisna. "Iya Bu, betul. Ibu cerita saja, nanti saya dengarkan baik-baik".

"Begini nak Nina. Ibu kan sudah tua, anak ibu ada dua. Satu laki-laki satunya lagi perempuan. Akan tetapi keduanya kan sudah menikah. Mereka jarang sekali datang ke sini. Ibu kangen sama mereka. Tetapi setiap ibu hubungi jawabannya selalu dibilang sibuk kerus, apa memang begitu ya kedua anak ibu. Apa memang mereka tidak punya waktu untuk datang kesini walaupun hanya sebentar, kata ibu Lisna.

Mendengar hal itu, dada saya terasa sesak. Saya menahan air mata yang hampir menetes. Rasa kesal mulai muncul di hati saya terhadap kedua anaknya. Saya seka air mata saya. Saya sabarkan hati saya. Saya menarik nafas panjang. Kudian saya coba untuk berbicara.

"Bu..ibu yang sabar ya Bu, mungkin saja saat ini anak ibu itu mang lagi sibuk. Tapi saya janji nanti saya akan coba mendatangi anak ibu dan berbicara kepadanya kalau ibu sangat kangen sama mereka". Air mata saya meleleh lagi.

"Iya nak Nina, terimakasih banyak ya, nanti ibu kasih alamat anak ibu. Ibu minta dulu sama adik ibu", kata ibu Nina. "Tapi maaf ibu sudah merepotin nak Nina", kata Bu Lisna melanjutkan. "Tak apa-apa Bu, saya tidak merasa firepoton sama ibu. Saya ikhlas menolong ibu", saya jawab begitu.

Ternyata Bu Lisna sangat rindu sama anak-anaknya. Menurut keterangan adiknya Bu Lisna, mang anak-anaknya sudah lama tidak datang menjenguknya. Sementara Bu Lisna tinggal di rumah itu sendirian. Kashian sekali Bu Lisna. Dia harus menanggung rasa kangen yang begitu berat terhadap anak-anaknya. Sementara anak-anaknya tidak peduli kepadanya. Kenapa ya, kok Setega itu. Semoga kita semua tidak seperti anaknya Bu Lisna. Kasihan orang tua kita kalau seperti ini. Apalagi dia sudah mulai buta. Kan bahaya kalau dia tidak ada yang menemani. Sepertinya hati Bu Lisna seakan dibalut kabut, sangat terhalang untuk melepas kerinduannya kepada anak-anaknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun