Mohon tunggu...
Elmi Safridati
Elmi Safridati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah hobi yang tak bisa dipungkiri. Semoga apa yang tertulis bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalanmu Terlambat

28 September 2023   06:41 Diperbarui: 28 September 2023   06:50 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ra, kamu sudah pulang", tanya ibu padaku saat aku masuk ke dalam rumah. "Ya Bu, Rara baru aja sampe rumah," jawabku sama ibuku yang duduk di kursi roda, akibat kecelakaan beberapa bulan yang lalu.

"Ra, ibu mau makan sup ayam dong, tolong bikinin ya, sekalian nanti biar dimakan sama anak abangmu juga. Kan katanya mereka mau pulang hari ini," kata ibu padaku.

"Owh, iya Bu. Nanti Rara bikinin. Sekarang Rara mandi dl ya Bu," jawabku.

Di dadaku ada rasa sesak yang tak bisa aku katakan entah sama siapa. Ibuku yang dari dahulu duduk dikursi roda tak pernah dilihat sama Abang dan kakakku yang kini tinggal di kota. Mereka di sana sangat bahagia bersama anak-anaknya, dan melupakan ibuku begitu saja. Padahal ibuku sangat merindukannya. 

Berhari-hari ibuku hanya bisa duduk termenung di atas kursi roda. Menatap dengan sayu ke halaman rumah. Setiap hari dia merindukan anak cucunya agar pulang menjenguknya. Namun apa daya, semua itu hanya harapan palsu yang tak tahu entah kapan akan berakhirnya.

Aku bergegas ke kamar mandi, sedikit ada rasa bahagia di hatiku, karena ibuku mau makan dengan sup ayam. Selama ini susah sekali dia makan karena ingin sekali makan bersama anak-anaknya.

Tapi setiap kali aku hubungi kakak-kakakku mereka selalu beralasan sibuk kerja. Tak ada jadwal libur. Waktu selalu penuh. Ada aja alasannya untuk tidak pulang.

Ibuku tinggal bersamaku. Kami hidup berdua saja setelah ayahku meninggal. Aku bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Dengan uang inilah kami hidup sehari-hari. 

Terkadang aku sangat khawatir ketika ibuku droop. Entah dengan apa mau ku biayai pengobatannya. Kucoba minta berkali-kali sama kakak-kakakku malah mereka cuek. Kadang ada dikirim tapi begitu lama baru datang kirimannya. Itupun tak seberapa.

Terkadang aku berkata dalam hati, "ya Tuhan apakah memang harus seperti ini ketika kita sudah berumah tangga. Apakah harus melupakan ibu yang telah menbesarkan kira. Apa harus mengabaikannya ketika ia rindu untuk bersama kita walau hanya sekejap saja. Apakah pekerjaan begitu penting dan harus di nomor satukan selain ibu?"

Banyak sekali pertanyaan bemunculan di benakku. Namun aku tak tahu jawabannya apa, karena aku belum pernah menikah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun