Mohon tunggu...
Elly Suryani
Elly Suryani Mohon Tunggu... Human Resources - Dulu Pekerja Kantoran, sekarang manusia bebas yang terus berkaya

Membaca, menulis hasil merenung sambil ngopi itu makjleb, apalagi sambil menikmati sunrise dan sunset

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Belajar dari Boedi Oetomo dan Belajar "Kegagalan"Nauru, Kita Bisa Bangkit Kalau Kita Mau

20 Mei 2020   15:08 Diperbarui: 23 Mei 2020   03:15 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Kebangkitan Nasional kita jatuh pada hari ini, 20 Mei. Sebuah tonggak  yang berawal dari berdirinya Boedi Oetomo yang disebut-sebut sebagai organisasi modern yang pertama di Indonesia. Saya sih setuju dengan sebutan itu, Bagi saya baru Boedi Oetomo yang memiliki gagasan dan perjuangan modern dengan etos juang yang progresif. Pendirinya sendiri bukan seroang ahli hukum atau ekonom, malah seorang dokter tamatan Stovia, dr.Wahidin Soediro Hoesodo. 

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

Suatu saat dr. Wahidin berangkat ke Jakarta dan bertemu dengan 3 (tiga) orang mahasiswa kedokteran Stovia yaitu Soetomo, Goenawan Mangoenkoesumo dan Soeradji. Ketiga mahasiswa itu sudah lama mengagumi dr.Wahidin yang lebih dulu bergerak memajukan pemuda di bidang pendidikan lewat majalah Retno Dumilak. Mereka meminta agar dr.Wahidin meluaskan menggerakan pemuda melalui bidang pendidikan, tapi juga ke bidang pertanian, peternakan, perniagaan, industri dan kesenian. 

Agar lebih mudah menggerakkan pemuda dan mengelola perjuangan tersebut  mereka mengusulkan agar mendidrikan organisasi atau perkumpulan. Usulan yang akhirnya diterima dr.Wahidin sehingga dibentuklah Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Pembentukannya sendiri lengkap dengan peraturan-peraturan dasarnya seperti tujuan, rancangan kegiatan, anggota serta pengurus. 

Buat saya organisasi ini keren dan punya visi besar untuk zaman tersebut. Terlebih mereka rela membiayai sendiri pertemuan besar untuk pembentukan Organisasi Boedi Oetomo. Konon sampai ada yang nekat berjualan sarung plekat. Ada yang sorban. Ada yang menyumbang uang jajan dan uang sakunya. Bayangkan, tanpa ada tendensi khusus mereka rela berjuang. Tak ada kepentingan politik (apalagi partai politik ketika itu), pikiran mereka besar, perjuangan mereka besar demi memajukan pemuda yang adalah salah satu tolok ukur meliat kemajuan sebuah bangsa kata saya. 

Kebangkitan Kita Saat Ini

Kini setelah 112 (seratus duabelas) tahun apa yang bisa kita mengenai kebangkitan kita, kebangkitan bangsa ini ? Kalau boleh jujur dari banyak sisi kita mengalami banyak kemajuan. Kita maju barngakali dari sisi demokrasi. Pertumbuhan ekonomi kita terus meningkat. Angka Kemiskinan menurun. Tetapi, dari sisi semangat kebersamaan, semangat berjuang bersama, kita jauh menyusut dibanding dengan  masa perjuangan dr.Wahidin dan kawan-kawannya dalam Boedi Oetomo. 

Saya agak malu juga dengan diri sendiri jika membandingkan kondisi kita dengan dr.Wahidin dan para kawannya yang mendirikan Boedi Oetomo itu. Di zaman yang serba modern ini, kebanyakan pemuda bahkan yang tidak muda lagi, bergerak jika ada sponsor dan mengharap bantuan pemerintah. Bahkan kita menjadi terpecah belah atas nama kekuasaan. 

Tanda-tanda Kebangkitan kita sedang Terpuruk

Sportivitas kita menghilang entah kemana. Ketika pilihan tak menjadi Pimpinan, maka seolah perjuangan membangun negara, membangun rakyat hanya urusan pemerintah. Kelompok sisanya, harus menjadi pecundang. Mengkritik yang tak membangun, mencela dan menghujat. Tak hanya itu, supaya makin heboh dan bila perlu chaos, bagaimana caranya agar rakyat tidak berpihak ke pada pemerintah maka hasutan dan sentimen negatif dengan narasi negatif dibangun, wew. Oposisi tidak salah, hanya mbok ya dilakukan dengan elegan dan dengan tujuan positif. 

Ditambah lagi dua kelompok tersebut, pembela dan pengkritik sering tidak proporsional dan sama-sama berjuang dengan kepentingan masing-masing. Apa sih susahnya kompak....? Ya susah kalau pikiran sudah dipenuhi kepentingan masing-masing, katanya. Sepertinya kita memang harus belajar banyak.

Pelajaran dari Negara Nauru

Jika media kita banyak membahas kegagalan Nauru tahun 2014 sampai dengan Tahun 2017, saya sudah mendengar cerita kegagalan Nauru dari seorang dosen saya, ahli anthropologi (saya masih ingat nama beliau) pada Tahun 2000. Saat itu saya sedang sekolah lagi, tepatnya disekolahkan lagi oleh negara. Profesor dosen saya itu berkata, bagaimana sebuah negara bisa bangkrut dan pailit karena ketidaktepatan pengelolaan. Masih menurut beliau, Nauru yang tadinya kaya karena sumberdaya alamnya tinggi dari Fosfor yang berasal dari kotoran burung migran yang "eek" di Pulau tempat negara itu berada kini (beliau mengatakannya Tahun 2000) mulai bangkrut. Saya sampai browsing mencari negara itu di internet ketika itu.

Karena bangsa itu tidak mengambil ancang-ancang bagaimana pengelolaan tambang yang renewable dan lestari. Mereka tidak membuat rencana apa yang harus dilakukan, komoditi apa yang akan dioah lagi jika tambang fosfor habis. Tentu tak terpikir oleh mereka karena berharap Burung Guano terus-terusan datang dan numpang "eek" di pulau itu dan akan menghasilkan fosfor terus menerus. 

Maka mereka jor-joran. Semua hajat penduduk difasilitasi secara gratis. Sekolah gratis bahkan beasiswa ke luar negeri. Konon jika fasilitas pengobatan terbatas di Nauru, Pemerintah bersedia membawa penduduknya berobat ke Luar Negeri, yaitu Australia. Bagus sih. Sayangnya tidak disertai upaya pengelolaan secara benar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun