Pagi yang berembun seperti biasa. Matahari muncul dari dedauan pohon kelapa di samping rumah. Suara mama, ibuku terdengar dari kamarnya, sedang batuk kecil. Anak-anak panti di seberang rumah sedang tertawa riang. Di sisi tempat tidur, ponselku berdering. Mungkin ada pesan masuk, mungkin pula telpon atau WhatsApp. Dering yang tak membuatku tergerak menghampirinya. Burung-burung yang tak jelas jenis apa tak mau ketinggalan, mereka berkicau. Hanya aku yang belum bersuara.Â
Jika pagi adalah rasa yang ditumbuhi semangat menggegasi hari, maka tidak dengan hari ini. Entah kenapa, hari ini rasaku tertumbuk pada sesuatu yang selalu muncul tiap kali menjelang Idul Fitri tiba. Padahal setahuku Idul Fitri itu masih tigabelas hari lagi. Sebuah rasa yang sulit ditepis tiap Idul Fitri akan tiba. Akankah ia pulang Idul Fitri ini...? Bah
Namanya Mona. Entah kenapa namanya Mona. Perempuan muda yang usianya mungkin lebih muda 5 tahun dariku. Mona yang muncul pada Idul Fitri 2 tahun yang lalu dengan perubahan besar, ia berhijab. Perubahan yang tak jelas bagiku apakah aku suka atau tidak. Hanya, aku melihat ada sesuatu yang bagiku tidak berubah. Matanya. Mata Mona selalu tersenyum. Ia perempuan yang tersenyum tidak dengan bibirnya, tapi dengan matanya.
Pernahkah kau merasakan indahnya melihat senyum dari mata ...? Akulah penyuka senyum seperti itu. Sebab itulah senyum paling tulus dari seorang manusia. Jika mata sudah tersenyum, sadar atau tidak maka bibir akan bergerak sedikit mengiringi mata yang terenyum. Tanpa seorangpun tau, tidak juga Mona, aku suka senyumnya itu.
Maka entah kenapa pagi ini aku mengingat Mona. Akankah dia pulang ke kota ini Idul Fitri nanti....? Â Entahlah. Mona, mungkin itulah alasan kenapa aku Beberapa tahun terakhir aku selalu menanti Idul fitri. Sebab Mona yang merantau ke kota Jakarta akan selalu pulang ke kota ini setiap Idul Fitri. Biasanya 2 (dua) hari menjelang Idul Fitri ia tiba. Panti asuhan depan rumahku adalah tempat dia pulang. Panti asuhan itu dikelola bibinya.Â
"Hai koh Ded...." serunya sambil melambaikan tangan padaku, tahun lalu
"Wah balek ye Mon..."Â
"Iyolah, kangen koh Deddy..." jawabnya lagi sambil terkekeh.
Jawaban yang membuatku senang. Ya, senang biasa. Aku tau dia perempuan supel.Â
Kami ngobrol sebentar di teras panti asuhan Cahaya Ummi depan rumahku. Obrolan yang mulai kami lakukan setiap kali dia pulang sejak dia berhijab. he, dulu entah kenapa kami tak sempat berkenalan. Kukira kesibukan telah menelanku. Pergi pagi dan pulang ke rumah gelap. Idul Fitri, aku tetap sibuk juga. Biasa, pemuda milenial, kata abangku. Baru 2 tahun yang lalu aku berkenalan dengan Mona. Hoho, kenapa selama ini aku menyia-nyiakan Idul Fitri, sanjo jauh-jauh. Padahal di depan rumahku ada perempuan kece ini, ujarku dalam hati.