Seringkali pikiran saya dipaksa mampir di quote ini, kuota perempuan di parlemen sebesar 30 %. Entah oleh apa dan siapa.Â
Beuh, iyalah memaksa muncul di pikiran wong poster poster perempuan yang rencana nyalon DPRD itu memenuhi pinggir jalan. Poster yang meriah. Ada yang sanggulan, ada yang jilbaban, dan rata-rata posenya sedang tersenyum.
Setelahnya, ada pikiran yang muncul begitu saja. Sebuah pertanyaan, sudahkah kepentingan perempuan terwakili oleh affirmative action dengan kalimat Kuota perempuan sebesar 30% di parlemen tersebut ?
Banyak cara untuk melihat apakah kepentingan perempuan sudah terwakili, ya lihat saja indikator gender pada Goals 5 Agenda Tujuan Pembangunan Berjelanjutan (SDGs). Indikator lain antara lain, bagaimana indikator tingkat partisipasi kerja perempuan. Bagaimana persentase upah pekerja perempuan yang tidak dibayar dibandingkan dengan laki-laki ?, dsb. Rata-rata lebih jelek pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Undang Undang Nomor 12 /2003, pasal 65 ayat (1) menyatakan,
Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Kelihatannya, affirmative action pada Undang Undang tersebut masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Maksudnya? Ya dikaitkan dengan tujuan munculnya pasal tersebut, maka pengawalan kepentingan perempuan belum optimal.Â
Alasannya banyak. Selain karena belum semua perempuan di Parlemen memahami esensi peran yang diharapkan oleh Undang Undang tersebut, ya karena kuota 30% itu sendiri masih jauh untuk disebut terpenuhi. Â
Meskipun Keterwakilan perempuan sudah cukup meningkat dibandingkan ketika belum adanya Undang Undang di atas, akan tetapi keterwakilan perempuan di politik baru separuhnya lebih sedikit. Â
Provinsi Sumatera Selatan saja baru 17,33% untuk keterwakikan perempuan di DPRD periode 2014-2019. Sedangkan angka Indonesia baru sebesar 17%. Angka tersebut menunjukkan bahwa kuota 30 % itu belum terpenuhi.
Jika kita kembali ke tujuan di balik kuota 30% tersebut sesungguhnya tidak lain untuk mengawal kepentingan perempuan. Dengan regulasi soal kuota 30% tersebut, setidaknya dari 100 orang anggota Parlemen, diharapkan 30 orangnya adalah perempuan. Nah 30 perempuan diantara 70 orang laki-laki di parlemen itu diharapkan membawa perubahan pada peningkatan peran dan kualitas hidup perempuan.Â