Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kondisi Problematik dari Konsep Self-love yang Sedang Marak Diperbincangkan

26 Maret 2021   10:15 Diperbarui: 28 Maret 2021   16:48 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi self love (www.pexel.com/@senivpetro)

Jika diamati lewat Google Trends, self-love mulai banyak jadi bahan perbincangan sejak Januari 2016 dan bertahan (dengan segala naik turunnya) hingga tahun ini. 

Definisi dari self-love tentu sudah sering kita baca. Bahkan sebagian dari kita mungkin sudah menginternalisasi konsep ini dan turut menyuarakannya. 

Memang patut diapresiasi bagaimana konsep self-love ini menggiring kita sedikit banyak pada kesadaran komunal terhadap isu kesehatan mental, lewat dukungan untuk merangkul kerapuhan alih-alih terus melanggengkan toxic positivity.

Namun, alih-alih membahas bagaimana konsep ini diwujudkan dalam kehidupan dan kegunaannya, saya lebih tertarik menyoroti glorifikasi arti self-love yang harusnya konstruktif menjadi berbalik arah, cenderung problematik. 

Mirip dengan apa yang terjadi kala "passion" menjadi sangat overrated beberapa tahun lalu. Pemaknaannya menjadi dangkal semata "senang-senang" sebab interpretasinya pun dibuat sesuka hati dari pelakunya.

Nah untuk self-love ini sendiri, saya mengamati ada dua kondisi yang membuat konsep ini berisiko ke arah yang tidak sehat.

Berhenti menjadi lebih baik

Ini adalah kegelisahan personal buat saya. Self-love digaungkan sedemikian sebagai pembenaran untuk menerima diri seapa-adanya itu dan menoleransi kekurangan, bahkan ekstrimnya menilai bahwa motivasi atau ajakan untuk berprogress (entah dalam wujud apa itu) adalah sebuah gagasan semu hanya untuk segelintir orang berprivilese.

Narasi yang sekitar 10 tahun lalu begitu populer digaungkan para motivator untuk mengubah nasib dan meraih kondisi hidup lebih baik, kini kerap dituduh sebagai sebuah bentuk ambisius semata. 

Saya bahkan sempat membaca cuitan seorang motivator terkenal tahun 2010-an, yang berkata bagaimana dulu "burn-out" dengan segala padanan diksi lainnya, tidak akan serta merta menjadi alasan untuk seseorang berhenti dan berpindah kerja. Berbeda dengan kondisi saat ini yang seakan menormalisasi pilihan-pilihan besar dalam hidup, beratasnamakan "mencintai diri".

Saya rasa setiap kita akan memiliki serangkai nilai dan kondisi masing-masing untuk menetapkan masing-masing condong ke mana. Antara bekerja-keras-bagai-quda atau menikmati hidup dan merasa nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun