Mohon tunggu...
Claudya Elleossa
Claudya Elleossa Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pencerita

Seorang ASN dan ibu, yang sesekali mengisi pelatihan menulis dan ragam topik lainnya. Bisa diajak berinteraksi melalui IG @disiniclau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Jebakan dalam Memandang Isu Disabilitas "The Cult of Normalcy"

10 September 2018   21:20 Diperbarui: 4 Desember 2021   06:38 2163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iilustrasi (Pixabay)

Orang-orang yang lahir dengan keterbatasan tertentu dapat bernafas lebih lega di zaman ini, mengingat tingkat awareness yang lebih terbentuk dan banyaknya pihak yang turut memperjuangkan. Singkatnya, orang dengan disabilitas kini lebih diterima. Fakta melegakan ini tak berarti masyarakat sudah nihil tugas untuk membuat lingkungan yang aman dan nyaman bagi mereka. 

Misalnya dengan masih maraknya sebutan-sebutan yang mencuat dalam interaksi sehari-hari dengan tendensi mengejek atau merendahkan. Misalnya "Autis lu!" yang ditujukan pada mereka yang terus-terus sibuk pada satu hal. 

Atau kata "cacat" yang dilontarkan dengan nada bercanda namun sepenuhnya tidak tepat. Jelas mereka tidak sengaja untuk melukai, namun itupun lahir dari ketiadaan empati kepada mereka yang  berjuang di berbagai keterbatasan.

Lantas jika ditanyakan hal apa yang pertama dapat kita upayakan, maka jawabannya adalah dengan menegur orang-orang yang masih sembarangan menggunakan kata-kata yang identik dengan kondisi disabilitas sebagai bahan bercanda atau merendahkan.

Solusi yang lebih jauh

Menilik "apa yang bisa kita lakukan" harus dimulai dari mengoreksi akar cara pikir kita. Banyak orang terjebak dalam pikiran mendevaluasi (mengurangi nilai) diri seorang penyandang disabilitas karena terjebak dengan yang disebut The cult of normalcy atau kecenderungan mengkultuskan kondisi normal. Kita kerap tergoda untuk merendahkan atau tidak berempati tak lain karena jurang antara normal dan tidak yang kita buat sendiri.

 Satu contoh yang menurut saya paling menohok adalah ketika pembicara kelas kemarin mengatakan bahwa jika berpacu pada definisi yang awal disinggung, maka kita (sebab saya juga!) yang menggunakan kacamata adalah kaum dengan disabilitas sebab kita membutuhkan alat khusus untuk menunjang kemampuan dasar kita. 

Sayangnya, fakta ini tidak diperhitungkan signifikan sebab jumlah pengguna kacamata yang sangat banyak. Muncul pemikiran bahwa "menggunakan kacamata itu normal-normal saja."

Betul, masyarakat sering menggunakan standar ganda, termasuk pada isu ini. Namun pada intinya semua berakar pada pengkultusan kenormalan.

Saya jadi ingat, setahun lalu untuk membahas topik ini, saya mengenalkan sebuah film The Road Within ke murid saya. Film itu mengisahkan tiga orang dengan 'kelainan' masing-masing. Penderita Tourette Syndrome, OCD, dan Anorexia. 

Ketika saya tanyakan apa kesimpulan yang murid saya dapatkan, seorang murid menjawab "mereka juga istimewa namun dengan cara yang berbeda." Seketika saya terharu dan agaknya kesimpulan serupa dapat kita padankan di kasus disabilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun