Hujan turun lembut di Kota Bandung sore itu, seperti melodi yang dimainkan oleh alam. Rintiknya jatuh di atas genting-genting tua dan jendela kaca sebuah rumah kolonial yang terletak di Jalan Braga, diapit pohon-pohon rindang yang menyimpan cerita puluhan tahun. Rumah itu, dengan dinding putih berlumut dan pagar besi berukir, adalah studio milik Arsyahid—arsitek muda dengan tangan ajaib yang mampu menciptakan keindahan dari goresan sederhana.
Di dalam studio, suara gramofon tua memenuhi ruangan dengan lantunan lagu La Vie En Rose. Cahaya dari lampu gantung antik menyebar hangat, menciptakan suasana romantis yang seolah membawa siapa pun kembali ke masa lalu. Arsyahid duduk di meja kerjanya, mengenakan kemeja putih lengan digulung hingga siku. Di hadapannya, sketsa sebuah rumah klasik mulai terbentuk, jendela-jendelanya besar dengan lengkungan elegan, taman kecil di depannya seperti potongan surga.
"Masih sibuk dengan rumah impian itu?"
Suara lembut Renatta membuyarkan konsentrasi Arsyahid. Ia berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun krem sederhana dengan cardigan rajut berwarna cokelat muda. Rambutnya disanggul rapi, menyisakan beberapa helai yang jatuh di pelipisnya, membuatnya tampak seperti sosok dari lukisan klasik.
Arsyahid menoleh dan tersenyum kecil. "Bukan hanya rumah impian. Ini rumah kita," jawabnya pelan, namun tegas.
Renatta melangkah mendekat, membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring kecil kue jahe. Ia meletakkannya di meja kecil dekat sofa, lalu berdiri di belakang Arsyahid, memperhatikan sketsa yang dibuatnya.
"Kamu selalu menggambar rumah dengan jendela besar," kata Renatta sambil menyandarkan dagunya di bahu Arsyahid. "Apa itu karena kamu suka cahaya?"
Arsyahid tersenyum, jemarinya berhenti menggenggam pensil. "Bukan hanya itu. Aku membayangkan kamu berdiri di jendela itu setiap pagi, menyapa matahari sambil membawa secangkir teh. Cahaya yang masuk dari jendela itu adalah kamu, Renatta."
Wajah Renatta merona. Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Arsyahid menggantung manis di udara. "Kamu tahu caranya membuat hatiku leleh, Syahid," bisiknya.
Arsyahid menatapnya, mata cokelatnya penuh ketulusan. "Itu karena kamu adalah bagian dari setiap desain yang kubuat. Tidak ada bangunan, tidak ada ruang, yang terasa hidup tanpa kamu di dalamnya."