Mohon tunggu...
Ela Istiqomah
Ela Istiqomah Mohon Tunggu... Freelancer - bukan penulis tapi kadang ingin menulis tulisan walau tidak jago menulis..

mahasiswa aktif Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Jakarta 2014

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Daffodil

1 Mei 2020   19:00 Diperbarui: 1 Mei 2020   19:01 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Bisa ga, ga usah dikit-dikit bilang gua betean, gua ga sebaper elu ya, lu tau kan gua lagi dalam kondisi yang unmood, jadi ga usah dikit-dikit lu bilang gua bete-bete terus deh." Bentaknya di depan wajahku. Wajahnya yang ditekuk dengan dahi mengernyit dan nada emosinya yang sudah aku hafal itu, malah membuatku semakin ingin memeluknya.


Tanpa banyak kata, aku langsung peluk ia dalam diam. Aku dengarkan perlahan suara nafasnya yang naik turun karena masih terbawa emosi. Aku cium wangi aroma tubuhnya yang juga sudah aku hafal aromanya hampir 2 tahun ini. Dalam diam aku coba memeluknya, berharap emosinya mereda.

Tak lama, aku lepas tubuhku dari tubuhnya, dan aku mulai amati ia pelan-pelan. Aku temukan wajah lesu yang sudah mulai lelah dan sedang memikirkan banyak hal itu. Bukan raut wajah seperti ini sebenarnya yang aku inginkan. Perlahan aku goda laki-laki ini berharap ia bisa sedikit tersenyum.


"Udah sih senyum jangan begitu mukanya kek, jelek tau." Ucap aku padanya. Berharap ia mau tersenyum, sambil ku elus pipinya yang mulai berminyak itu.


Masih dengan ekspresi wajah yang sama, ia malah berusaha menyingkirkan tanganku dari pipinya.

"Udah gih masuk sana, ambilin hp sekalian, buru!" Pinta nya seperti nada laki-laki yang bergengsi besar. Sungguh menyebalkan rasanya. Sambil menahan kesal, akhirnya aku masuk untuk memngambilkan handphone miliknya.

Tak berapa lama, aku keluar sambil membawakan handphone miliknya dan langsung ku taruh handphone itu di atas meja. Perlahan, aku duduk dihadapannya. Sambil kulihat setiap detail raut wajah yang selalu buatku rindu itu. Kupegang tangannya dan ku usap sepenuh hati, karena aku pikir saat ini yang ia butuhkan hanyalah dukungan dan tempat untuk bersandar, bukan untuk kembali bertengkar. Entah karena apa, ia mulai luluh dan akhirnya menyandarkan kepalanya di pelukanku. Dengan lembut aku usap setiap helai rambutnya sambil berusaha menyemangatinya lagi.

"Udah dong, senyum dulu dong sebelum pulang, kan tadi kita udah ketawa-tawa udah seneng-seneng, masa pulangnya mukanya begitu sih." Tanpa jawaban ia masih menundukkan kepala dan tanganku masih mengusap rambutnya dengan pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun